Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Penjelajah Masa Lalu (Episode 5, Candi Laut Selatan)

30 September 2019   16:58 Diperbarui: 30 September 2019   17:09 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sampai di setengah jarak tempuh, keduanya berhenti secara serentak. Ada yang sesuatu yang ganjil di hadapan mereka. Situ ini ternyata tidak berasal dari aliran sungai manapun yang kemudian berkumpul di sini. Namun justru bermula dari air yang menetes secara terus menerus dari sebuah pohon besar dan terlihat sangat tua.

Entah ini pohon apa tapi yang jelas keanehannya sangat mencolok. Dari akar-akar udara yang bergelantungan, menetes air secara terus-terusan. Tanpa henti. Seolah akar-akar itu adalah ujung selang yang terbuka.

Tanpa menghitungpun, Mang Ujang bisa memastikan bahwa jumlah akar-akar udara ini ribuan. Dan semuanya mengalirkan air. Pantas saja air situ ini begitu melimpah dan segar.

Setelah mengamati dengan teliti, tidak ada satupun petunjuk di pohon ajaib ini, Mang Ujang dan Kang Maman melanjutkan pencarian.

Sudah tiga perempat jarak yang ditempuh. Sama sekali tidak ada apapun yang bisa dijadikan petunjuk orang hilang. Namun kali ini mereka harus berhenti lagi. Terdapat satu fenomena yang lebih aneh lagi dari pohon air.

Di hadapan mereka terdapat tebing tegak lurus yang semestinya mengharuskan mereka berputar atau melambung agar tetap bisa mengitari situ. Namun ternyata terdapat lubang seperti terowongan yang memudahkan meneruskan perjalanan tanpa harus memutar atau melambung. Terowongan itu tidak memanjang karena setiap beberapa puluh meter keluar ke dataran kecil, lalu masuk lagi terowongan berikutnya. Demikian berulang hingga mereka harus memasuki tiga terowongan.

Di dalam terowongan sendiri tidak ada satupun keanehan. Namun begitu keluar dari terowongan ketiga dan tak sampai 500 meter lagi sampai ke tempat semula, barulah mereka menemui sesuatu yang mendirikan bulu roma. Di sini ada bekas dua tiang tinggi dari batu berikut sebuah palang di atasnya yang juga dari batu. Ada tiga tiang berpalang serupa dan berjajar di sini.

Di palang itu terdapat sisa-sisa tali dari anyaman akar yang tergantung. Meskipun tidak memiliki latar belakang pendidikan tinggi dan juga menghabiskan hari-hari di desa terpencil tanpa listrik dan televisi, tetap saja Mang Ujang dan Kang Mamang bisa menduga bahwa ini adalah tiang gantungan.

“Euleeuuhh, euleeuuh, iyeu teh bekas gigi sareng kuku jalmi, Akang!” Kang Maman berseru saat berjongkok meneliti karena tertarik dengan tumpukan benda-benda kecil di bawah masing-masing tiang gantungan.

Mang Ujang ikut berjongkok lalu menganggukkan kepala membenarkan temuan Kang Maman. Keduanya saling pandang dan sama-sama bergidik. Berarti tiang gantungan ini tempat menghukum orang dengan cara digantung lalu mayatnya dibiarkan saja tergeletak di bawahnya. Setelah sekian lama, yang tertinggal hanya bagian yang paling awet dari tubuh manusia. Gigi dan kuku.

Tapi siapa yang menggantung dan siapa pula yang digantung ya? Terus tahun berapa ini kejadiannya? Pikiran sederhana Mang Ujang dan Kang Maman kelelahan memikirkan hal serumit itu sehingga keduanya memutuskan melanjutkan perjalanan mengelilingi situ yang tak lama lagi selesai. Lagipula tempat ini terlalu menyeramkan untuk tinggal berlama-lama. Hiiihh!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun