Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Negeri Tulang Belulang (Pertemuan di Ngarai Kematian)

27 September 2019   23:01 Diperbarui: 27 September 2019   23:15 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Negeri Tulang Belulang (Silva Predonum)

Ran berpikir keras. Apa yang harus dilakukannya sekarang?

Hutan ini dipenuhi pemangsa. Binatang, tumbuhan, bahkan sungai! Pikiran Ran kembali dipenuhi kekhawatiran. Sudah beberapa hari mereka hilang kontak. Apalagi dia sekarang meninggalkan kapal tempat receiver komunikasi berada. Tapi Ran percaya teman-temannya adalah orang-orang tangguh yang bisa mengantisipasi segala macam rintangan. Lagipula mereka punya pengalaman yang sama dengan dirinya.

Ran mencoba berpikir positif sambil terus berjalan menembus hutan predator itu. Ran tidak mau terburu-buru. Dia bisa lengah. Dan itu sangat berbahaya.

Lagipula dia tidak membuta dalam mencari mereka. Trans locator di salah satu dari arloji mereka masih menyala. Ran bisa memantau dari arloji yang dia kenakan. Begitu pula sebaliknya. Ini standar safety bagi tim ekspedisi.

Trans locator itu memberi isyarat nyala lampu yang mengindikasikan jarak. Semakin terang nyala lampunya, maka jarak semakin dekat. Begitu pula sebaliknya. Ran terus mengamati lampu indikator itu sambil melanjutkan perjalanan.

Saat perjalanan mulai menanjak di sebuah bukit yang lumayan tinggi, Ran melihat lampu indikator sangat terang. Thanks God! Mereka dekat sekali! Dalam hati Ran bersorak kegirangan. Kegirangan yang yang hanya sebentar saja. Lampu indikator di arloji Ran mendadak redup lalu mati seketika. Astaga! Kemana mereka?

Setengah berlari Ran mendaki bukit itu. Tidak mau kehilangan jejak teman-temannya yang sudah sedemikian dekat.

Dengan terengah-engah Ran sampai di puncak bukit untuk mendapati pemandangan yang melemahkan jantungnya. Nampak tas-tas ransel yang dia yakin milik teman-temannya berhamburan di tanah. Mata Ran juga bertemu dengan benda berkilauan yang diterpa sinar matahari. Arloji!

Arloji milik Rabat yang hancur berantakan terinjak atau tertimpa sesuatu yang berat. Jejak kaki ada di mana-mana. Jejak kaki manusia dan juga jejak kaki....primata raksasa!

Ran jongkok untuk memastikan jejak dan jumlah orang-orang yang beredar di tempat ini. Jelas sekali ada jejak sepatu tiga orang dengan ukuran berbeda dan jejak primata yang berukuran nyaris tiga kali lipat ukuran kaki manusia. Duh, apalagi ini? Kenapa pulau ini dihuni banyak sekali makhluk aneh?

Ran terus memeriksa sekeliling dengan cermat. Jejak kaki tiga temannya menuju ke satu arah. Ran mengikuti dan sampai di tepi sebuah jurang!

Dari jejak mereka, nampak sekali kalau ketiganya berlarian tunggang langgang. Dan berakhir di tepi jurang. Ran melongok ke bawah. Jurang ini tidak terlalu tinggi. Ran juga melihat di ngarai bawah sebuah sungai besar mengalir dengan tenang. Ran menghela nafas lega. Kemungkinan besar mereka akan selamat.

Suara geraman di belakangnya membuat Ran berpaling cepat dengan kewaspadaan tinggi. My God! Makhluk apalagi ini?!

Sosok berbulu tinggi besar menyerupai gorila namun berdiri sangat tegak dengan tangan dan kaki yang proporsional seperti manusia menjulang tidak jauh di hadapannya. Mukanya yang dipenuhi rambut memang mirip primata tapi hidung dan mulut serta mata itu tak ubahnya seperti manusia. Astaga! Ran terpaku.

Ran baru tersadar saat makhluk raksasa itu kembali menggeram memperlihatkan giginya yang tajam serta mengangkat tangannya yang bercakar seperti pisau cukur. Bersiap untuk menyerang Ran.

Tanpa membuang waktu, Ran menggerakkan tubuh dan melompat ke sungai di bawahnya.

Seorang petualang seperti dirinya tahu bagaimana mendaratkan tubuh di permukaan air dengan baik. Ran meluncur dengan mulus ke sungai tenang yang dalam.

Ran tidak buru-buru memunculkan diri ke permukaan. Menyelam dan berenang di dalam air beberapa saat menuju hilir. Dia khawatir kingkong tadi membuntutinya dengan menceburkan diri ke sungai juga. Makhluk itu terlihat ganas dan mengancam.

Ran menepikan tubuhnya ke sebuah ngarai berpasir dengan banyak sekali rumpun bambu tumbuh di atasnya. Setidaknya ini cukup terlindung. Namun dia harus tetap waspada. Terlalu banyak hal tak terduga di hutan ini. Siapa sangka ada makhluk berbulu raksasa yang mirip sekali dengan manusia.

Sambil memeras bajunya yang basah kuyup, Ran memperhatikan sekitar. Ngarai ini memang datar. Tapi dikepung langsung oleh dinding terjal perbukitan. Tidak mungkin pergi ke sini jika tidak melalui jalur sungai. Tapi ada yang aneh rasanya di sini. Mata Ran yang tajam memperhatikan rumpun bambu yang ada di depannya.

Rumpun itu seperti rumpun bambu biasa. Berwarna hijau namun sama sekali tidak berdaun. Mungkin karena kemarau sehingga daunnya meranggas semua. Perlahan-lahan firasat Ran bekerja.

Raaannnn! Raaannn! Lariiiiiii!

Suara itu awalnya terdengar sayup di telinga Ran. Tapi Ran sangat mengenalnya. Ben!

Ran menoleh dan terperanjat gembira melihat ketiga temannya di seberang sungai melambai-lambaikan tangan dan baju memperingatkan akan sesuatu yang berbahaya. Mereka kenapa? Kenapa aku disuruh cepat lari? Ran ingin berpikir sejenak untuk menimbang keputusan. Tapi firasatnya membenarkan memang ada yang aneh dengan rumpun bambu itu.

Batang-batang bambu itu mencabut dirinya sendiri satu persatu dari tanah. Lalu melata beramai-ramai menuju Ran.

Hah! Itu bukan batang bambu. Itu ular! Ular yang sangat banyak!

Kembali Ran mengambil keputusan cepat. Menceburkan dirinya ke sungai dan kali ini mengerahkan kemampuan berenang sekuat-kuatnya. Mengerikan! Ular-ular itu ikut berenang mengejarnya.

Ben, Tet, dan Rabat di seberang memandang dengan cemas. Melihat Ran berpacu menyelamatkan diri dari ular-ular hijau sebesar batang bambu yang mengejarnya beramai-ramai.

Sebelum Ran tiba-tiba muncul di seberang mereka, ketiganya tadi sempat menyaksikan dari seberang saat kingkong yang mengejar mereka salah mendarat di ngarai kematian itu. Satu batang "bambu" sempat mematuknya meski bambu itu akhirnya putus lehernya digigit.

Tidak sampai hitungan menit kingkong raksasa itu menggelepar mati.  Ular-ular yang mirip rumpun bambu itu rupanya super berbisa. Dan mereka lalu beramai-ramai menyeret tubuh kingkong ke dalam rumpun bambu yang sebenarnya merupakan sekumpulan tubuh ular. Itulah sebabnya tadi Ran tidak bisa melihat mayat si kingkong karena rumpun "bambu" itu memang sangat lebat.

Kini Ran berpacu dengan waktu melarikan diri dari ular-ular paling berbisa di dunia. Disaksikan oleh ketiga temannya yang sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya.

------
Tanjung Redeb, 28 September 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun