Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tetralogi Air dan Api, Cinta Abadi Air dan Api

16 April 2019   06:48 Diperbarui: 16 April 2019   07:07 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kali ini dia lebih waspada.  Begitu dilihatnya ada orang yang memperhatikannya lama-lama, dia segera menyelinap pergi.  Arya Dahana memutar otak bagaimana caranya dia tidak menarik perhatian.  Dia tahu bahwa sebagian besar dari pelayan dan peladen adalah orang-orang dari dunia persilatan. Entah darimana.  Mereka bukan pelayan dan peladen yang sesungguhnya.

Arya Dahana melirik sekeliling saat dia membawa satu baki penuh jajanan untuk esok hari dan menyimpannya di ruangan khusus dapur istana. Matanya menangkap seorang prajurit yang berjaga di ruangan dalam istana.  Itu sepertinya juga bukan prajurit biasa.  Pemuda ini tersenyum senang. Rupanya menyamar jadi prajurit tidak akan menimbulkan banyak perhatian karena tidak harus mondar mandir kesana kemari.  Dia menemukan jalan!

Seorang prajurit yang sedang terkantuk-kantuk kelelahan karena berdiri lama sementara teman lainnya sedang berpatroli di ruangan lainnya tiba-tiba dikejutkan dengan kegelapan yang tiba-tiba menyelubungi matanya.  Dia tertidur. Dilumpuhkan dengan totokan Arya Dahana. Tidak terasa ketika badannya dipapah Arya Dahana ke sebuah ruangan kecil tempat istirahat para dayang dan abdi dalem.  Disembunyikan.  Tentu saja setelah Arya Dahana mempreteli semua baju prajuritnya.

Sekarang Arya Dahana yakin tidak akan begitu mudah ketahuan.  Seragam prajurit istana bagian dalam cukup ringkas namun nampak misterius. Termasuk sebuah saputangan yang dipakai menutupi leher, mulut dan hidung.  Mungkin karena mereka prajurit penjaga pilihan sehingga seragamnya terlihat berbeda. 

Pemuda ini berdiri menggantikan penjaga yang telah dia lumpuhkan.  Dari tempat Arya Dahana berdiri, sangat leluasa untuk melihat sekitar istana. Pemuda ini juga sudah mempelajari bagaimana pergerakan dan pergantian antar prajurit jaga dari satu pos ke pos lainnya.  Sehingga lebih mudah baginya menyesuaikan diri.

Saatnya berganti pos jaga.  Arya Dahana dengan tegap berpindah ke pos berikutnya.  Tidak di dalam istana lagi tapi dari tempat ini malah semua terlihat dengan lebih jelas karena ada di atas. 

Istana ini sangat luas.  Bangunannya banyak dan besar-besar.  Ratusan penjaga bersliweran di mana-mana.  Arya Dahana memperhatikan bahwa sebagian besar para penjaga di dalam istana ini terlihat tangguh.  Langkah kaki mereka sangat ringan.  Hanya saja tinggi badan para penjaga itu tidak terlalu seragam.  Ada yang tinggi sekali.  Ada yang pendek sekali.  Bahkan ada yang sangat cebol.

Awalnya Arya Dahana geli kenapa ada prajurit yang begitu pendek tubuhnya.  Namun kemudian pemuda itu menyadari sesuatu.  Mereka ini orang-orang yang juga sedang menyamar.  Pemuda ini harus mengakui betapa cerdiknya si pengatur rencana.  Dia yakin semua ini dikendalikan oleh Putri Anjani.  Orang-orang yang menyamar menjadi penjaga itu pastilah anggota persekutuan yang dipimpin Putri Anjani.  Tapi dimana gadis itu? 

Arya Dahana mengira-ngira besok seperti apa upacara perayaan diadakan ketika dia berganti tempat lagi berjaga di depan balairung istana.  Di depan balairung terdapat sebuah lapangan besar yang sudah dihias dengan umbul-umbul dan panggung upacara.  Lapangan itu dihias dengan sangat mewah.  Orang-orang masih belum selesai mempersiapkan semuanya.  Sekarangpun dilihatnya masih sibuk bekerja.

Arya Dahana meneliti dengan matanya setiap sudut lapangan yang luas sekali itu.  Jauh lebih luas dibandingkan lapangan bubat sekalipun.  Pemuda ini sedih sekali saat berpikir besok akan terjadi pertumpahan darah besar-besaran di sini.  Semoga itu tidak terjadi, Arya Dahana membatin dengan miris.

Dia teringat betapa gemparnya peperangan Bubat dulu.  Kacau, berantakan dan mengharu biru.  Teringat betapa gagahnya para prajurit Galuh Pakuan dalam mempertahankan harga diri.  Terutama sang Maharaja dan Putrinya yang cantik jelita.  Arya Dahana merinding begitu membayangkan saat itu langit dan cuaca berubah penuh amarah saat pertempuran usai.  Pemuda ini membayangkan juga seperti apa cuaca esok hari.  Pastilah akan mendung dan murung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun