Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hujan Luka

24 November 2018   14:09 Diperbarui: 24 November 2018   14:32 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Langit sudah terlalu lama sakit hati. Begitu seseorang berkata.

Benar. Juga terlalu banyak dilukai. Sambung yang lain tak mau kalah berteori.

Yang benar adalah karena langit terlalu banyak dijejali polusi. Kali ini yang bicara adalah ilmuwan. Ada benarnya. Tapi kenapa yang jatuh bukan hujan asam?

Orang-orang sudah menghentikan tawa dan juga stop mengirim bahagia. Menurut mereka semua sudah cukup.  Langit terlihat begitu penurut. Lagipula sudah 3 hari tak ada turun hujan. Proses pembersihan sembilu dan duri telah selesai. Sepertinya hari dan cuaca normal kembali. sudah saatnya kembali menjadi tidak peduli.

----

Beberapa hari kemudian. Saat semua situasi sudah kembali tenang. Hujan yang telah berjeda beberapa lama menghilang, kembali datang. Didahului suara gemuruh seolah langit hendak runtuh, hujan turun dengan deras. Orang-orang yang masih trauma sempat merasa cemas kalau akan terjadi hujan luka lagi. Tapi ternyata kecemasan mereka tak beralasan. Tak ada lagi hujan sembilu atau duri.

Orang-orang tak ada yang berlarian. Tak ada pula yang lintang pukang menghindar. Tak ada yang masuk berlindung ke dalam rumah, di bawah pohon rindang, atau tempat terdekat yang beratap. Meskipun pada akhirnya beberapa orang menyadari ada yang aneh pada hujan kali ini.

Tidak ada air yang diturunkan langit. Tapi daun, kertas, bunga, dan uang! Tak terhitung banyaknya benda-benda tersebut berjatuhan dari langit. Penduduk kota yang semula terpana dan takut-takut, tiba-tiba menjadi begitu bergembira. Hujan aneh itu membuat mereka tertawa bahagia. Tergelak-gelak. Tanpa henti. Mungkin langit balas budi. Pikir mereka sambil terus berebut mengumpulkan uang dalam pundi-pundi.

Aktifitas kota terhenti. Semua orang sibuk mengumpulkan hujan uang di halaman, di atap, di lorong-lorong, di semua tempat terbuka.

Semua orang menjadi begitu berbahagia. Tak henti-hentinya mereka tersenyum lebar dan tertawa-tawa. Ini luar biasa.

Dan itu terjadi berhari-hari. Keinginan untuk selalu tertawa tak bisa dihentikan! Mulut terbuka lebar tapi sorot mata dipenuhi kengerian. Tawa sudah tak bisa lagi dikendalikan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun