Rupanya angin cemburu kepadaku. Dia mencoba menghukumku dengan caranya. Sepertinya angin mencintai hal yang sama denganku.
Aku berpaling ke atas. Menguatkan tatapan yang tadi aku sengaja pudarkan. Pada puncak purnama. Minta sedikit kehangatan. Aku tak tahan dengan gigil yang terus menerus datang.
Seolah permintaanku didengarkan seketika. Badanku menghangat cepat. Aliran darahku kembali normal. Aku merasa menang.
Aku sebenarnya tidak yakin. Tapi sepertinya angin sudah pergi meninggalkanku. Dia cemburu, mencoba menghukumku, tapi aku bertahan sekuat tenagaku.
Aku kembali pada posisi semula. Duduk di taman kota sembari menikmati rasa. Bersama purnama.
Namun semua itu tak lama. Saat sedang menyerap kekuatan cinta sekuat-kuatnya dari setiap cahaya yang dijatuhkan purnama, segumpal kegelapan menutupi pandangan. Hah! Mendung itu seenaknya menghalangi. Hitam dan penuh ancaman.
"Pergilah wahai lelaki penyendiri! Tidak selayaknya kau mencintai purnama. kau adalah pungguk yang terkutuk. Sadar dirilah. Pulang dan merataplah di balik selimutmu yang dingin."
Hmm, mendung itu merutuk habis-habisan. Tetap menghalangi pandangan. Aku merasa tertantang. Rupanya mendung itu juga cemburu. Apa peduliku.
"Apa maumu mendung hitam. Menyingkirlah! Bukan hakmu melarangku kepada siapa jatuh cinta!"
Mendung tak menyahut. Tapi aku bisa mendengar dia terisak pelan. Makin lama makin keras. Airmatanya lalu tercurah deras. Aku kehujanan. Tapi aku kembali merasa menang. Bukankah habis gelap terbitlah terang? Itu artinya aku bisa melanjutkan menatap wajah purnama sepuas-puasnya.
Dan memang benar. Aku sekarang menikmati kemenanganku dengan utuh. Memandang purnama yang sedang tepat berada di puncak langit. Aku tersenyum. Tidak ada perihal yang sanggup menghalangi sebuah cinta. Aku ini contoh terbaiknya. Â