Aku memudarkan tatapan. Terlalu lama memandanginya membuatku terus menambahkan hitungan cinta. Aku tak mau. Aku adalah lelaki pencemburu yang mudah jemu. Bagiku, mencintai adalah sebuah pertaruhan di meja judi. Kalah, maka aku akan menggelandang. Menang, maka aku membawa kekasih pulang.
Apakah itu dianggap prinsip lelaki gadungan, jalang atau bajingan, aku tak peduli. Hidupku adalah milikku. Tak ada siapapun yang boleh menggaduhi. Tak boleh satu orangpun yang memaksa aku agar berbuat seperti apa yang dikehendaki oleh lidahnya. Aku tidak hidup di ujung lidah seseorang.
"Kenapa melamun?" sebuah bisikan menghampiri telinga.
Aku terperanjat. Rasanya sedari tadi duduk di sini aku hanya sendirian. Ini bisikan darimana?
"Gak usah kaget begitu. Aku dari tadi memperhatikanmu melamun," kembali bisikan itu memasuki gendang telingaku.
Ya ampuun, setan darimana kah ini? Aku bersiap-siap. Siapa tahu aku harus bergulat. Atau lari. Dua-duanya membutuhkan energi.
"Tak usah coba menantangku berkelahi atau lari. Percuma. Aku selalu bisa membuntuti. Kemana saja kau pergi." Duh gawat. Siapa sih ini? Suaranya begitu jelas. Seolah bibir yang berucap persis di pinggir telinga. Aku tak lagi bersiap. Aku akan ikuti saja apa maunya.
Mungkin ini hanya setan yang ingin mengajak bercanda.
"Aku angin. Aku bisa melihat dengan jelas dari matamu kau sedang jatuh cinta sekaligus jatuh dalam cemburu. Aku bisa menebak kepada siapa. Tapi itu semua membuatku cemburu. Akulah yang pantas menjadi kekasihnya. Karena aku yang selalu mengusir pergi mendung yang membuat wajahnya murung"
Aku terhenyak. Angin cemburu? Kepadaku? Seolah tahu jalan pikiranku, angin meniupkan hawa dingin langsung ke hatiku. Melalui pori-pori di seluruh tubuhku. Aku lupa pakai jaket. Terang saja perbuatannya membuatku menggigil.
Aku berdiri. Mencoba menghangatkan tubuh dengan menggerak-gerakkan tangan dan kaki. Lumayan. Tapi aku masih kedinginan.