Para perantau yang datang dari berbagai penjuru desa dan pelosok itu turun dari terminal, stasiun dan bandara. Â Hanya untuk terperangah. Â Takjub dan sedikit ngeri. Â Kota yang mereka datangi ini berbeda dengan kota-kota lainnya.Â
Gedung dan menara tinggi memang berderet rapi. Â Jalanan lebar dan rata. Â Pohon-pohon perindang tumbuh subur di pinggiran jalan, taman-taman, perumahan dan pekarangan perkantoran. Â Stasiun, terminal dan bandara begitu megah dan mewah.
Tapi ada yang aneh. Â Dari setiap sudut bangunan, pojokan jalan, ujung gang, dan fasilitas umum, tumbuh lumut berwarna hijau. Â Lumut-lumut itu merambati dinding. Â Belum semua. Â Tapi terlihat bahwa ekspansi lumut itu tak akan berhenti.
Terlihat para petugas berpakaian khusus berusaha keras menghentikan pertumbuhan lumut itu. Dengan berbagai cara. Â Disemprot larutan khusus, dikerok manual, sampai dengan dipanasi menggunakan pemanas portabel.
Para perantau itu belum beranjak dari tempatnya. Â Menyaksikan kegaduhan di sana sini. Â Penduduk kota sepertinya bersiaga penuh. Â Seolah-olah ekspansi lumut itu seberbahaya serbuan zombi.
Para perantau itu tetap berdiam di tempat. Â Ragu-ragu. Â Mulai teringat pada sawah dan ladang di desa.
-----
Kejadian itu bermula belum lama. Â Semenjak kawasan industri dibangun di tengah kota. Â Pabrik-pabrik raksasa beroperasi 24 jam sehari. Â Memproduksi barang-barang kebutuhan manusia. Â Sabun, minyak wangi, makanan, pakaian, kendaraan, hingga barang elektronik.
Setiap hari ratusan bahkan ribuan cerobong pabrik itu menguarkan asap tebal bergumpal-gumpal ke angkasa. Â Pemandangan langit di pagi, siang dan malam hari sama saja. Â Kelabu hitam. Â Seakan warna biru dan putih sudah punah di kota ini.
Kota itu seperti ditelungkupi oleh kaca. Â Semakin hari cuaca semakin panas. Â Hujan tetap turun sesuai musim. Â Tapi warnanya tak lagi jernih. Â Kusam menghitam.
Tak lama kemudian hawa berubah total. Â Ketika suhu udara diperkirakan di atas 35 derajat cekcius, kota mendadak mendingin. Â Suhu terjun bebas menjadi di bawah 15 derajat celcius. Â Para ahli mengira semua itu fenomena alam biasa.
Tapi itu sama sekali tidak biasa. Â Suhu yang dingin secara terus menerus itu mempengaruhi apa saja. Â Peradaban manusia yang sebelumnya beradaptasi dengan suasana tropis, berbalik ke bagaimana menghadapi musim dingin yang abadi. Â Itulah sebabnya lumut mulai tumbuh subur.
Semua menyadari bahwa lumut adalah tumbuhan pionir. Â Lumut tumbuh apabila suhu rendah secara konstan melingkupi sebuah lingkungan. Â Kehidupan flora selalu didahului oleh pertumbuhan lumut. Â Lumut seperti ibu bapa. Â Mengawali semua.
Para perantau itu bergidik. Â Teringat pada bukit-bukit di desa mereka yang dipenuhi cemara dan angsana.
-----
Pabrik-pabrik tetap beroperasi dengan kecepatan tinggi. Â Produksi yang dominan sekarang adalah produksi massal konveksi. Â Wol-wol hangat, perlengkapan musim dingin dan batubara serta pelet kayu untuk bahan baku perapian.
Kendaraan dan barang elektronik tetap diproduksi. Â Namun menyesuaikan dengan situasi musim dingin. Â Pemandangan langit kota semakin kelabu. Â Musnah selamanya warna biru. Â Bahkan lautan yang ada di luar kota ini ikut berubah kelabu. Â Kota dan sekitarnya menjadi begitu sendu. Â Orang-orang lebih memilih tinggal di rumah. Â Di depan perapian. Â Cahaya matahari tak lagi menghangatkan. Â Sebab tak sampai ke permukaan.
Suhu semakin jatuh. Â Akibatnya kecepatan pertumbuhan lumut seperti dipacu. Â Nyaris semua penduduk kota bahu membahu berupaya menyingkirkan lumut. Â Bangunan berlumut. Â Pohon-pohon berlumut. Â Jalanan berlumut. Â Air tanah yang disedot untuk kebutuhan sehari-hari juga bercampur dengan lumut.
Para perantau sebagian memutuskan pulang ke desa-desa menumpang kereta. Â Pesawat tak bisa lagi mendarat. Â Runaway terlalu licin karena dipenuhi lumut. Â Bus dan mobil juga sudah kesulitan menapaki jalan raya. Â Lumut merajalela. Â Sementara rel kereta masih bisa dilewati karena setiap saat dipanasi.
Sebagiannya lagi masih bertahan. Â Berharap masalah lumut itu teratasi. Â Namun ingatan tentang sungai, pematang dan danau di desa makin menguat.
-----
Sampailah pada puncak peristiwa. Â Setelah lumut-lumut itu menguasai seluruh kota. Â Pabrik-pabrik raksasa itu terpaksa berhenti beroperasi. Â Semua mesin dan perlengkapan tak bisa berfungsi. Â Ditumbuhi lumut hingga ke bagian-bagian terkecilnya. Â Kota beranjak mati.
Terjadilah gelombang pengungsian besar-besaran. Â Namun tertahan. Â Tidak ada lagi alat transportasi yang memungkinkan untuk melakukan perjalanan. Â Satu-satunya jalan adalah berjalan kaki.Â
Para penduduk kota dan para perantau berduyun-duyun meninggalkan kota dengan berjalan kaki. Â Susah payah. Â Perlu perlengkapan khusus untuk berjalan di atas lumut. Â Apalagi pabrik yang memproduksi alat-alat tersebut sudah mati. Â Tak ayal kesulitan semakin menjadi.
Sebagian kecil saja yang bertahan dan berhasil sampai keluar kota. Â Menuju desa-desa dan akhirnya tinggal di sana. Sebagian besarnya terjebak di tempat-tempat yang berlumut. Â Tak bisa kemana-mana. Â Tubuh-tubuh kurus mereka akhirnya ditumbuhi lumut. Â Dari kepala hingga ujung kaki. Â Menjadi monumen-monumen kecil berwarna hijau. Â Saksi mati atas peradaban dan cuaca yang dirusak dan dikacau.
-----
Bogor, 17 Juni 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H