Pesan berantai itu diabaikannya saja. Â Hindari melewati bukit Serimpi. Â Ada mimpi di sana yang bisa memerangkapmu hingga tak bisa pulang.
Tak masuk akal! Â Masa sih bukit yang benda mati bisa berbuat seperti itu. Â Tahayul! Â Pikir Ronan gemas sekaligus geli.
Tapi tidak demikian dengan seisi desa lainnya. Â Semuanya seperti sepakat untuk lebih memilih berputar jalan jika mau menuju desa sebelah. Â Tidak ada lagi yang mau melalui jalan bukit Serimpi. Â Padahal lewat situ bisa menghemat waktu hingga separuhnya.
Ronan penasaran! Â Pagi itu dia memutuskan akan lewat bukit Serimpi. Â Kebetulan dia ada perlu ke rumah pamannya di desa sebelah.
Ronan menghidupkan motornya. Â Kalau lancar, tidak lebih dari 1 jam dia akan sampai. Â Jika harus memutar lewat lembah, paling tidak dia perlu 2 jam untuk tiba ke rumah pamannya.
-----
Pagi masih bersurai embun. Â Jalanan desa sudah ramai dengan lalu lalang orang. Â Sebagian besar hendak pergi ke sawah. Â Sebagian kecilnya berdagang, mengajar atau mengaji. Â Ronan menjalankan motornya dengan santai. Â Tidak perlu terburu-buru. Â Lagipula dia memang berniat menikmati suasana pedesaan yang asri. Â Kehidupannya di kota tak sesegar ini.
Jalanan mulai menanjak. Â Ronan agak sedikit berdebar. Â Sebelum berangkat tadi dia sedikit pongah mengatakan di depan cermin bahwa dia bukan orang yang percaya terhadap kutukan dan semacamnya. Â Bukit itu sekarang ada di hadapan. Â Ronan meronai keyakinannya tadi dengan keraguan.
Ronan berhenti sebentar. Â Tak lama lagi jalanan bukit Serimpi akan menyambutnya. Â Merapatkan jaket dan ikat kepala. Â Dingin. Â Ditambah lagi tengkuknya juga mulai mendingin.
Huufft! Apa-apaan sih ini. Â Pikir Ronan gemas kepada dirinya sendiri. Â Kenapa dia malah mulai merasakan ketakutan. Â Dia adalah pemuda modern yang jauh dari istilah klenik dan mistis. Â Urban legend sering dirutuknya sebagai cara murahan untuk membuat laris novel atau film.
Ronan menetapkan hatinya.
-----
Speedometer motor diusahakan Ronan tetap di angka 30 km/jam. Â Jalanan di bukit Serimpi dipenuhi oleh tanjakan dan turunan yang berliku-liku. Â Kehatian-hatian adalah kunci penting untuk selamat.Â
Sesampainya di puncak bukit. Â Kabut tebal menghadang Ronan. Â Bukit ini memang lumayan tinggi. Â Sekaligus juga dikepung pegunungan yang memanjang dari utara ke selatan. Â Tak heran bila kabut adalah sajian utama setiap harinya.
Ronan mau tak mau harus berhenti. Â Jalanan tidak nampak jelas. Â Bisa celaka kalau dia memaksa melanjutkan perjalanan.
Ronan memilih berhenti di bawah pohon besar yang tumbuh tegap di pinggir jalan. Â Mengeluarkan sebatang rokok sambil bersiul-siul mengusir sepi. Â Ini memang terlalu sepi. Â Ronan serasa memasuki sebuah areal pekuburan.
Sambil merokok Ronan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Â Indah! Kabut itu terhampar begitu luas seolah tanpa batas. Â Seandainya ada hujan, kabut itu akan menengggelamkannya seketika. Â Seandainya ada api yang menjulang, maka hamparan itu akan seperti surga dengan api unggun di antaranya. Â Ronan berdecak tak habis-habis.
Mata Ronan terantuk pada air terjun yang jatuh di antara lengkungan jurang. Â Nampak samar-samar dari sini. Â Tapi keajaibannya bisa terasa sampai ke jiwa. Â Apalagi suara gemuruh air terjun itu mampu mengairi hatinya yang terbiasa gersang oleh pongahnya kota. Â Ronan benar-benar terpesona.Â
Ronan memutuskan untuk duduk di sebuah batang rebah. Â Dia tidak akan berhenti menikmati apa yang tersaji. Â Dia mempertaruhkan keberaniannya untuk berjalan kesini. Â Sia-sia jika dia melewatkan semua hidangan dari surga ini.
Terdengar gemerisik lirih di balik semak tidak jauh dari Ronan duduk. Â Awalnya Ronan terperanjat. Â Bersiap-siap mendapatkan kejutan hebat. Â Matanya memperhatikan semak itu lekat-lekat.
Dua ekor kelinci hutan meluncur keluar berkejaran. Â Jantan dan betina. Â Ronan menebak dengan tepat karena kemudian mereka berhenti lalu bercinta. Â Aih! Â Hidangan ini makin lezat. Â Ronan diberikan anugerah untuk melihat langsung bagaimana aturan alam bekerja.
-----
Ronan sama sekali tidak menyadari kabut itu telah menghilang seluruhnya. Â Karena kali ini dia disuguhkan hal lain yang membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Â Bukan karena ketakutan. Â Namun karena takjub yang sampai kepada puncaknya.Â
Hamparan kabut tadi digantikan tajuk-tajuk pohon yang membentang luar biasa. Â Persis permadani persia yang dijahit menggunakan sutera. Â Warnanya hijau belaka. Â Ronan sedari dulu yakin bahwa warna hijau ditakdirkan dibuat untuk menyejukkan mata. Â Sekarang dia membuktikan keyakinannya.
Keramaian suara binatang sekarang lebih gaduh lagi. Â Lalu lintas burung beterbangan di angkasa memadat. Â Ronan bisa melihat berbagai macam jenis burung pemburu belalang hingga elang. Â Air terjun samar tadi terlihat jelas kini. Â Ternyata cukup tinggi sehingga nampak seperti air yang menari-nari. Â Barangkali menarikan Serimpi. Â Sesuai dengan nama bukit ini. Â Ronan tanpa sadar tersenyum selebar-lebarnya.Â
Hal yang jarang dilakukannya ketika di kota.
Ronan benar-benar enggan beranjak sedikitpun dari tempatnya berada. Â Semuanya begitu sempurna. Â Bahkan angin yang menerpa wajahnya seperti berkata-kata;
Kau diberi waktu untuk menikmati kelezatan ini. Â Agar kau tak lagi malas untuk bermimpi karena kau begitu sibuk mencederainya saat di kota. Â Yaitu keindahan dan kebaikan yang apa adanya.
Ronan mengangguk-anggukkan kepala. Â Dia tahu sekarang kenapa bukit Serimpi ini disebut memerangkap mimpi.Â
-----
Bogor, 16 Maret 2018
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI