Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dug Deng

10 Maret 2018   14:12 Diperbarui: 10 Maret 2018   14:13 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah beberapa hari mendung menggantung miring.  Berat sebelah.  Pak Sarjo berniat membetulkannya.  Berulang-ulang dia mengatakan itu.  Dia meyakinkan orang-orang kampung bahwa itu berbahaya.  Bisa menyebar penyakit mematikan.  Hujan yang diturunkan dari mendung seperti itu, adalah hujan yang tidak berupa air.  Namun racun!  Setara dengan bisa raja kobra.  Bayangkan! Dengan jumlah ribuan liter!

Orang-orang kampung sangat percaya kepada Pak Sarjo.  Lelaki tua itu dug deng.  Orang sakti yang mengerti bagaimana mengobati orang sakit.  Mengusir dedemit. Meramal masa depan.  Bahkan bisa tahu pohon durian di pekarangan Mak Dinah akan berbuah berapa biji.

Pak Sarjo perlu bantuan untuk melaksanakan tugas membetulkan mendung hitam yang miring itu.  Ini tugas maha berat.  Dia tidak bisa sendirian.  Selain itu juga ada persyaratan lain yang harus dipenuhi.  Oleh karena itu Sarjo mengatakan kepada Pak Lurah untuk menyiapkan uba rampe yang rumit.  Sepasang ayam jantan-betina berwarna hitam cemani.  Bambu kuning lima bilah.  Kemenyan 5 kilo. Payung hitam 5 buah.  Syarat yang terakhir membuat Pak Lurah geleng-geleng kepala.  Seorang perawan dewasa yang tidak pernah disentuh laki-laki sekalipun itu ujung rambutnya.  Ini adalah syarat orang yang bisa membantunya.

Seisi desa yang membantu Pak Lurah menyiapkan ini itu kelimpungan.  Syarat yang terakhir menimbulkan kegaduhan.  Desa ini tidak terlalu jauh dari kota.  Sehingga peradaban sudah jelas terkontaminasi berat adab-adab modern yang kebablasan.  Mana ada gadis di desa itu yang masih perawan.  Apalagi sama sekali belum bersentuhan dengan laki-laki.

Saat pertunjukan bioskop misbar saja.  Penontonnya adalah pasangan-pasangan lelaki dan perempuan.  Berpegangan tangan.  Berpelukan.  Berciuman.  Saling meraba. Dan bla bla bla.

------

Tapi tunggu dulu!  Bayuni, Cucu mbah Surat yang tinggal di ujung kampung bukannya pilihan yang tepat?  Begitu kata seseorang mengusulkan kepada Pak Lurah.  Gadis itu nyaris tidak pernah keluar rumah.  Keluar sebentar saja ke warung untuk membeli beras, ikan atau bumbu dapur.  Usianya barangkali sudah 20 tahun sekarang. 

Dipastikan tidak seorang lelakipun telah menyentuhnya.  Pasti.  Tidak akan ada lelaki yang mau.  Tentu saja.  Bayuni gadis penyakitan.  Kurus kecil dengan tubuh dipenuhi koreng dan kudis.  Satu lagi, Bayuni tidak bisa bicara.  Bayuni gagu tuli.  Meski begitu, Bayuni juga terkenal sebagai gadis yang taat beribadah.  Tidak ada sepotong haripun yang tidak dipergunakannya untuk sholat wajib dan sunat serta membaca Al-qur'an dalam hati.  Gadis ini juga rajin berpuasa senin-kamis.  Dan itu dilakukannya semenjak kecil.  Semenjak ayah ibunya meninggal di perantauan karena kapal yang ditumpanginya terbalik.

Semua sepakat.  Toh persyaratannya adalah perawan.  Bukan perawan yang cantik.  Atau perawan berkulit mulus.  Pak Sarjo tidak keberatan.  Dalam primbon tuanya memang tidak disebutkan demikian.

------

Tibalah hari yang menentukan.  Mendung itu semakin miring.  Herannya sudah sehitam itu warnanya tapi tidak ada tanda-tanda akan turun hujan.  Orang-orang semakin percaya bahwa itu bukan mendung biasa.  Apalagi tidak ada satupun yang berharap hujan datang.  Itu sama saja menyiramkan bergalon-galon racun dari angkasa.

Pak Sarjo berdiri di puncak bukit kecil.  Di sampingnya nampak Bayuni tunduk sambil memegangi ujung bajunya yang lusuh.  Jilbabnya yang kebesaran berkibar-kibar ditiup angin.  Gadis itu sudah diberitahu oleh mbahnya mengenai apa-apa yang harus dilakukannya untuk membantu Pak Sarjo.  Bayuni hanya tinggal menunggu isyarat saja dari Pak Sarjo.

Orang-orang desa berkerumun tidak jauh di belakang mereka berdua.  Penasaran apa yang akan dilakukan Pak Sarjo sekaligus berharap mendung aneh itu segera pergi dari atas desa.

Pak Sarjo meletakkan semua persyaratan di tempat yang sesuai dengan petunjuk dari primbon tuanya.  Sepasang ayam hitam cemani diikat di sebuah tiang bambu kuning sementara 4 bambu kuning lainnya ditancapkan mengitari.  Kemenyan 5 kilo dibakar sekaligus di tengah-tengah.  Payung hitam dibuka dan ditempatkan masing-masing di samping setiap bambu kuning.

Mulut Pak Sarjo komat-kamit membaca jampi dan mantra.  Tangannya diangkat di atas kepala.  Sambil mengibas-ngibaskan asap kemenyan yang bergumpal-gumpal ke segala penjuru.

Begitu Pak Sarjo berhenti membaca mantra.  Jawaban datang dari langit.  Menggelegar dahsyat.  Sebuah petir yang datang dari mendung itu menyambar sebuah payung hitam.  Membakar dan menghanguskannya jadi abu.  Berturut-turut empat petir lainnya juga datang dan membakar 4 payung lainnya.

Mendung yang miring itu malahan terlihat semakin miring.  Barangkali kalau diukur sudah mencapai 30 derajat.  Anehnya, mendadak sepasang ayam hitam itu berkaok-kaok keras lalu berkelojotan mati.  Beberapa rintik kecil gerimis persis menjatuhi sepasang ayam itu.  Namun tidak di tempat lainnya.  Gerimis berbisa kobra.

Pak Sarjo pucat pasi.  Tidak seharusnya ini terjadi.  Lelaki dug deng ini kebingungan.  Apalagi suara petir dan munculnya kilat saling sambung menyambung tiada henti. Gawat!  Pak Sarjo tahu kali ini dia gagal total.

Orang-orang serempak ketakutan.  Mereka sudah melihat bukti ayam-ayam itu mati mengenaskan hanya akibat tetes kecil gerimis dari mendung hitam itu.  Mereka sadar sedang menunggu giliran.  Ini kutukan!

Lutut dan kaki semua orang menjadi lemas tidak sanggup lagi untuk berlari.  Pak Sarjo juga mengalami hal yang sama.  Tinggal tunggu waktu penentuan tiba.  Mendung hitam yang miring semakin bertambah miring.  Sebentar lagi pasti tumpah.  Satu desa ini pasti musnah.

------

Namun mendadak kilat dan petir berhenti.  Mendung yang miring itu perlahan-lahan menegak kembali.  Rata di permukaan langit.  Selanjutnya datang angin yang cukup kencang menggiring mendung hitam itu pergi.  Menuju desa pendosa berikutnya untuk diberi peringatan akan bala.

Mata semua orang bergerak mengikuti rasa keingintahuan sekaligus kekaguman.  Terlihat Bayuni bersimpuh di tanah sambil mengangkat tangan di depan dada.  Berdo'a. Perawan yang cacat dan berperawakan tidak menarik secara fisik ini berhasil mengusir mendung pergi dengan do'a-do'a yang dipanjatkan sepenuh hati.

Pak Sarjo hanya ternganga.  Dia tidak boleh lagi mengaku dug deng mulai sekarang.  Ada Penguasa Langit yang jauh lebih sakti di atas sana.  Tempat junjungan Bayuni sehari-harinya.  Di dalam setiap sholat, puasa dan mengajinya.

------

Bogor, 10 Maret 2018



Dug Deng; sakti mandraguna

Uba rampe; perlengkapan sesaji

Cemani; hitam legam

Misbar; gerimis bubar

Bala; musibah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun