Pak Sarjo berdiri di puncak bukit kecil. Â Di sampingnya nampak Bayuni tunduk sambil memegangi ujung bajunya yang lusuh. Â Jilbabnya yang kebesaran berkibar-kibar ditiup angin. Â Gadis itu sudah diberitahu oleh mbahnya mengenai apa-apa yang harus dilakukannya untuk membantu Pak Sarjo. Â Bayuni hanya tinggal menunggu isyarat saja dari Pak Sarjo.
Orang-orang desa berkerumun tidak jauh di belakang mereka berdua. Â Penasaran apa yang akan dilakukan Pak Sarjo sekaligus berharap mendung aneh itu segera pergi dari atas desa.
Pak Sarjo meletakkan semua persyaratan di tempat yang sesuai dengan petunjuk dari primbon tuanya. Â Sepasang ayam hitam cemani diikat di sebuah tiang bambu kuning sementara 4 bambu kuning lainnya ditancapkan mengitari. Â Kemenyan 5 kilo dibakar sekaligus di tengah-tengah. Â Payung hitam dibuka dan ditempatkan masing-masing di samping setiap bambu kuning.
Mulut Pak Sarjo komat-kamit membaca jampi dan mantra. Â Tangannya diangkat di atas kepala. Â Sambil mengibas-ngibaskan asap kemenyan yang bergumpal-gumpal ke segala penjuru.
Begitu Pak Sarjo berhenti membaca mantra. Â Jawaban datang dari langit. Â Menggelegar dahsyat. Â Sebuah petir yang datang dari mendung itu menyambar sebuah payung hitam. Â Membakar dan menghanguskannya jadi abu. Â Berturut-turut empat petir lainnya juga datang dan membakar 4 payung lainnya.
Mendung yang miring itu malahan terlihat semakin miring. Â Barangkali kalau diukur sudah mencapai 30 derajat. Â Anehnya, mendadak sepasang ayam hitam itu berkaok-kaok keras lalu berkelojotan mati. Â Beberapa rintik kecil gerimis persis menjatuhi sepasang ayam itu. Â Namun tidak di tempat lainnya. Â Gerimis berbisa kobra.
Pak Sarjo pucat pasi. Â Tidak seharusnya ini terjadi. Â Lelaki dug deng ini kebingungan. Â Apalagi suara petir dan munculnya kilat saling sambung menyambung tiada henti. Gawat! Â Pak Sarjo tahu kali ini dia gagal total.
Orang-orang serempak ketakutan. Â Mereka sudah melihat bukti ayam-ayam itu mati mengenaskan hanya akibat tetes kecil gerimis dari mendung hitam itu. Â Mereka sadar sedang menunggu giliran. Â Ini kutukan!
Lutut dan kaki semua orang menjadi lemas tidak sanggup lagi untuk berlari. Â Pak Sarjo juga mengalami hal yang sama. Â Tinggal tunggu waktu penentuan tiba. Â Mendung hitam yang miring semakin bertambah miring. Â Sebentar lagi pasti tumpah. Â Satu desa ini pasti musnah.
------
Namun mendadak kilat dan petir berhenti. Â Mendung yang miring itu perlahan-lahan menegak kembali. Â Rata di permukaan langit. Â Selanjutnya datang angin yang cukup kencang menggiring mendung hitam itu pergi. Â Menuju desa pendosa berikutnya untuk diberi peringatan akan bala.