Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Tak Boleh Lagi Bercadar

7 Maret 2018   21:26 Diperbarui: 7 Maret 2018   21:37 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku memilih memakai cadar bukan karena sekedar.  Bukan cuma karena aku berusaha patuh kepada Tuhan seperti yang dipikirkan orang-orang yang sealiran.  Tapi lebih dari itu.  Tak hanya sekedar itu.

Aku berasal dari sebuah keluarga petani ladang.  Bukan petani sawah yang selalu rutin menghasilkan gabah.  Bapakku bisa panen padi hanya jika ada hujan.  Tidak setiap saat lumbung kecil depan rumahku berisi ikatan padi yang belum digiling.  Seringnya malah menjadi rumah bagi para tikus yang hobi bercinta.  Sesudahnya, lumbungku terisi anak-anak tikus yang bebas berlarian.  Aman.

Aku pintar, kata guru-guru SD ku.  Rangkingku tak jauh dari rangking satu.  Kadang dua kadang tiga.  Cita-citaku setinggi angkasa.  Menjadi seorang yang berguna.  Untuk siapa saja.  Untuk apa saja. Aku selalu menjawab itu kalau ditanya guruku.  Dengan bangga.

Di SMP aku masih dianggap murid yang pintar.  Bahkan aku menambahkan kemahiran dengan kegiatan ekstrakurikuler yang tidak biasa.  Karate, tari dan gamelan.  Coba bayangkan.  Di umur segitu aku sudah mempunyai banyak keahlian.

Di SMA aku masih tak terpuaskan dengan mengikuti sekian banyak kegiatan.  Aku anggota Paskibraka tingkat kabupaten.  Aku terpilih karena aku rajin mengikuti kegiatan baris berbaris yang dilatih bapak-bapak tentara.  Aku suka.

Tapi ada satu kejadian yang cukup membingungkan aku, teman-temanku, guru-guruku, ibu bapakku.  Semenjak kelas tiga semester akhir.  Aku sering pingsan.  Tidak di dalam kelas tapi selalu di luar ruangan.  Ketika aku menjemur diriku di tengah siraman cahaya matahari saat berlatih upacara.  Ketika mengikuti pelajaran olahraga.  Ketika menanam pohon di pinggiran ladang membantu ayahku membuat ladangnya rindang.  Aku pasti pingsan.

Satu lagi yang mengherankan.  Pingsanku selalu cukup lama.  Tak kurang dari satu jam.  Seringnya malah lebih.  Aku takut.  Bapak ibuku juga takut.  Aku adalah anak yang digadang-gadang bisa membantu mereka mengentaskan pendidikan dua orang adikku yang jarak umurnya terpisah cukup jauh denganku.

Bapak ibuku sudah berumur lanjut.  Tak mungkin mereka kuat membiayai adik-adikku di usia segitu.  Akulah harapan mereka pada saatnya nanti.

------

Aku memang ditakdirkan pintar.  Aku diterima di perguruan tinggi negeri.  Aku pintar ngaji.  Jadi aku pilih masuk perguruan tinggi negeri yang berlabel agamaku di situ.  Selain punya banyak keahlian, aku juga ingin memperdalam ilmu agamaku yang aku rasa masih sangat kurang.  Aku bahagia diterima kuliah di sana.  Bapak ibuku juga.  Paling tidak yang ada di benak mereka, aku nanti bisa jadi guru bagi adik-adikku.

Aku mendapatkan beasiswa yang cukup sehingga tidak perlu terlalu banyak merepotkan bapak ibuku.  Aku tetap aktif di kampus.  Terutama di bidang keagamaan.  Bersama teman-teman yang tidak pernah mau aku seleksi sebelumnya.  Aku menyukai berteman dengan siapa saja.  Karena cita-cita terbesarku adalah berguna bagi siapa saja.  Sesederhana itu saja.

Aku bahkan punya tiga sahabat karib yang begitu akrab dan lekat.  Kami berempat saling berbeda suku.  Saling berbeda agama.  Lengkap.  Oleh karena itu aku selalu dengan bangga mengatakan bahwa aku adalah seorang pluralis.  Seperti tokoh idolaku yang dulu adalah presidenku.  Sampai akhirnya aku memutuskan untuk mengenakan cadar.

------

Ketiga sahabatku tidak meninggalkanku karena keputusanku.  Sebaliknya aku juga tidak mau meninggalkan mereka.  Cadar tak lebih dari sebuah identitas.  Paling utama adalah bagaimana sebenarnya rupa hati.  Kami berempat sepakat dengan itu.  Tak ada sedikitpun yang berubah dari persahabatan kami karena keputusanku.

Seperti geledek di siang hari yang sedang cerah-cerahnya.  Tanpa mendung tanpa hujan.  Kampusku mengeluarkan aturan tak boleh bercadar.  Aku tersentak kaget.  Teman-teman sekampus tersentak kaget.  Ketiga sahabatku tak kalah kaget.  Tidak terima.

Dengan didukung oleh ketiga sahabatku, aku memberanikan diri menghadap para petinggi kampus setelah keputusan yang mengejutkan itu.  Kami tak takut.  Seperti yang sudah aku katakan sebelumnya.  Cadar adalah sebuah identitas.  Bukan perangkat keras yang bisa menghancurkan kampus hingga sekecil bubuk-bubuk kertas.

Kami berempat duduk di ruang tamu.  Menunggu.  Bagaimanapun degup jantungku lebih kencang dibanding ketiga sahabatku.  Ini mengenai aku. 

Akhirnya kami dipersilahkan masuk ke dalam ruangan.  Ada rektor, dekan dan beberapa dewan kampus.  Aku semakin goyah.  Inilah para petinggi yang harus aku hadapi dalam perbincangan ini.  Aku segan.  Aku tak tahu mesti bagaimana.  Aku hanya bisa tergagap dan ternganga.

Rupanya para petinggi kampus itu seharian ini menerima protes yang sama bergiliran.  Karenanya mereka hanya menggelengkan kepala saat aku dengan terbata-bata mengajukan agar tetap boleh memakai cadar.  Begitupun ketika ketiga sahabatku mencoba menguatkan usulanku, mereka dengan sigap tetap menggelengkan kepala.  Walaupun salah satu sahabatku akhirnya mengeluarkan senjata terakhir dengan menyodorkan selembar kertas berstempel seorang dokter.  mereka tetap menggelengkan kepala.

Aku tiba-tiba sedih.  Di pelupuk mataku terbayang bagaimana kalau aku harus keluar dari kampus ini gara-gara aku harus mempertahankan cadarku.  Ini masalah prinsip.  Aku akan tetap bertahan.

Tapi apakah bapak ibuku bisa bertahan mendengar aku keluar atau dikeluarkan.  Di sini aku mendapatkan beasiswa yang menjaminku bisa menyelesaikan kuliahku tanpa menyulitkan mereka.  Bapakku sudah merancang perhitungan dengan cermat.  Ketika tiba masa kedua adikku masuk kuliah.  Aku sudah bekerja dengan stabil dan bisa menanggung biaya mereka.  Tapi dengan kejadian ini?  Apakah bapakku sanggup menerimanya.  Paling-paling aku disuruh pulang kampung dan menikahi orang kaya.  Agar perhitungan yang cermat tadi tidak meleset amat.  Duuhhh!

Dari sedih aku lalu menangis.  Airmataku jatuh bukan karena keputusan para petinggi itu.  Airmataku aku persembahkan untuk sebuah dinding penghalang yang tiba-tiba muncul di hadapanku yang bercita-cita setinggi angkasa.  Aku mendadak merasa sangat putus asa.

Para petinggi itu tetap pada keputusannya.  Aku tetap pada keputusanku.  Aku diberikan waktu untuk menimbang keputusanku.  Mereka juga memberi waktu bagi diri mereka untuk menimbang sangsi mengeluarkanku.

Di ujung hari penghakiman ini.  Aku kaku berdiri.  Sambil memegang surat keterangan dari dokter yang tadi disodorkan sahabatku kepada para petinggi.  Surat keterangan bahwa aku mengidap penyakit khusus dan tidak akan hidup lama jika selalu terpapar langsung cahaya matahari.

Jakarta, 7 Maret 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun