Aku memilih memakai cadar bukan karena sekedar. Â Bukan cuma karena aku berusaha patuh kepada Tuhan seperti yang dipikirkan orang-orang yang sealiran. Â Tapi lebih dari itu. Â Tak hanya sekedar itu.
Aku berasal dari sebuah keluarga petani ladang. Â Bukan petani sawah yang selalu rutin menghasilkan gabah. Â Bapakku bisa panen padi hanya jika ada hujan. Â Tidak setiap saat lumbung kecil depan rumahku berisi ikatan padi yang belum digiling. Â Seringnya malah menjadi rumah bagi para tikus yang hobi bercinta. Â Sesudahnya, lumbungku terisi anak-anak tikus yang bebas berlarian. Â Aman.
Aku pintar, kata guru-guru SD ku. Â Rangkingku tak jauh dari rangking satu. Â Kadang dua kadang tiga. Â Cita-citaku setinggi angkasa. Â Menjadi seorang yang berguna. Â Untuk siapa saja. Â Untuk apa saja. Aku selalu menjawab itu kalau ditanya guruku. Â Dengan bangga.
Di SMP aku masih dianggap murid yang pintar. Â Bahkan aku menambahkan kemahiran dengan kegiatan ekstrakurikuler yang tidak biasa. Â Karate, tari dan gamelan. Â Coba bayangkan. Â Di umur segitu aku sudah mempunyai banyak keahlian.
Di SMA aku masih tak terpuaskan dengan mengikuti sekian banyak kegiatan. Â Aku anggota Paskibraka tingkat kabupaten. Â Aku terpilih karena aku rajin mengikuti kegiatan baris berbaris yang dilatih bapak-bapak tentara. Â Aku suka.
Tapi ada satu kejadian yang cukup membingungkan aku, teman-temanku, guru-guruku, ibu bapakku. Â Semenjak kelas tiga semester akhir. Â Aku sering pingsan. Â Tidak di dalam kelas tapi selalu di luar ruangan. Â Ketika aku menjemur diriku di tengah siraman cahaya matahari saat berlatih upacara. Â Ketika mengikuti pelajaran olahraga. Â Ketika menanam pohon di pinggiran ladang membantu ayahku membuat ladangnya rindang. Â Aku pasti pingsan.
Satu lagi yang mengherankan. Â Pingsanku selalu cukup lama. Â Tak kurang dari satu jam. Â Seringnya malah lebih. Â Aku takut. Â Bapak ibuku juga takut. Â Aku adalah anak yang digadang-gadang bisa membantu mereka mengentaskan pendidikan dua orang adikku yang jarak umurnya terpisah cukup jauh denganku.
Bapak ibuku sudah berumur lanjut. Â Tak mungkin mereka kuat membiayai adik-adikku di usia segitu. Â Akulah harapan mereka pada saatnya nanti.
------
Aku memang ditakdirkan pintar. Â Aku diterima di perguruan tinggi negeri. Â Aku pintar ngaji. Â Jadi aku pilih masuk perguruan tinggi negeri yang berlabel agamaku di situ. Â Selain punya banyak keahlian, aku juga ingin memperdalam ilmu agamaku yang aku rasa masih sangat kurang. Â Aku bahagia diterima kuliah di sana. Â Bapak ibuku juga. Â Paling tidak yang ada di benak mereka, aku nanti bisa jadi guru bagi adik-adikku.
Aku mendapatkan beasiswa yang cukup sehingga tidak perlu terlalu banyak merepotkan bapak ibuku. Â Aku tetap aktif di kampus. Â Terutama di bidang keagamaan. Â Bersama teman-teman yang tidak pernah mau aku seleksi sebelumnya. Â Aku menyukai berteman dengan siapa saja. Â Karena cita-cita terbesarku adalah berguna bagi siapa saja. Â Sesederhana itu saja.
Aku bahkan punya tiga sahabat karib yang begitu akrab dan lekat. Â Kami berempat saling berbeda suku. Â Saling berbeda agama. Â Lengkap. Â Oleh karena itu aku selalu dengan bangga mengatakan bahwa aku adalah seorang pluralis. Â Seperti tokoh idolaku yang dulu adalah presidenku. Â Sampai akhirnya aku memutuskan untuk mengenakan cadar.
------
Ketiga sahabatku tidak meninggalkanku karena keputusanku. Â Sebaliknya aku juga tidak mau meninggalkan mereka. Â Cadar tak lebih dari sebuah identitas. Â Paling utama adalah bagaimana sebenarnya rupa hati. Â Kami berempat sepakat dengan itu. Â Tak ada sedikitpun yang berubah dari persahabatan kami karena keputusanku.
Seperti geledek di siang hari yang sedang cerah-cerahnya. Â Tanpa mendung tanpa hujan. Â Kampusku mengeluarkan aturan tak boleh bercadar. Â Aku tersentak kaget. Â Teman-teman sekampus tersentak kaget. Â Ketiga sahabatku tak kalah kaget. Â Tidak terima.
Dengan didukung oleh ketiga sahabatku, aku memberanikan diri menghadap para petinggi kampus setelah keputusan yang mengejutkan itu. Â Kami tak takut. Â Seperti yang sudah aku katakan sebelumnya. Â Cadar adalah sebuah identitas. Â Bukan perangkat keras yang bisa menghancurkan kampus hingga sekecil bubuk-bubuk kertas.
Kami berempat duduk di ruang tamu. Â Menunggu. Â Bagaimanapun degup jantungku lebih kencang dibanding ketiga sahabatku. Â Ini mengenai aku.Â
Akhirnya kami dipersilahkan masuk ke dalam ruangan. Â Ada rektor, dekan dan beberapa dewan kampus. Â Aku semakin goyah. Â Inilah para petinggi yang harus aku hadapi dalam perbincangan ini. Â Aku segan. Â Aku tak tahu mesti bagaimana. Â Aku hanya bisa tergagap dan ternganga.
Rupanya para petinggi kampus itu seharian ini menerima protes yang sama bergiliran. Â Karenanya mereka hanya menggelengkan kepala saat aku dengan terbata-bata mengajukan agar tetap boleh memakai cadar. Â Begitupun ketika ketiga sahabatku mencoba menguatkan usulanku, mereka dengan sigap tetap menggelengkan kepala. Â Walaupun salah satu sahabatku akhirnya mengeluarkan senjata terakhir dengan menyodorkan selembar kertas berstempel seorang dokter. Â mereka tetap menggelengkan kepala.
Aku tiba-tiba sedih. Â Di pelupuk mataku terbayang bagaimana kalau aku harus keluar dari kampus ini gara-gara aku harus mempertahankan cadarku. Â Ini masalah prinsip. Â Aku akan tetap bertahan.
Tapi apakah bapak ibuku bisa bertahan mendengar aku keluar atau dikeluarkan. Â Di sini aku mendapatkan beasiswa yang menjaminku bisa menyelesaikan kuliahku tanpa menyulitkan mereka. Â Bapakku sudah merancang perhitungan dengan cermat. Â Ketika tiba masa kedua adikku masuk kuliah. Â Aku sudah bekerja dengan stabil dan bisa menanggung biaya mereka. Â Tapi dengan kejadian ini? Â Apakah bapakku sanggup menerimanya. Â Paling-paling aku disuruh pulang kampung dan menikahi orang kaya. Â Agar perhitungan yang cermat tadi tidak meleset amat. Â Duuhhh!
Dari sedih aku lalu menangis. Â Airmataku jatuh bukan karena keputusan para petinggi itu. Â Airmataku aku persembahkan untuk sebuah dinding penghalang yang tiba-tiba muncul di hadapanku yang bercita-cita setinggi angkasa. Â Aku mendadak merasa sangat putus asa.
Para petinggi itu tetap pada keputusannya. Â Aku tetap pada keputusanku. Â Aku diberikan waktu untuk menimbang keputusanku. Â Mereka juga memberi waktu bagi diri mereka untuk menimbang sangsi mengeluarkanku.
Di ujung hari penghakiman ini. Â Aku kaku berdiri. Â Sambil memegang surat keterangan dari dokter yang tadi disodorkan sahabatku kepada para petinggi. Â Surat keterangan bahwa aku mengidap penyakit khusus dan tidak akan hidup lama jika selalu terpapar langsung cahaya matahari.
Jakarta, 7 Maret 2018