Aku bahkan punya tiga sahabat karib yang begitu akrab dan lekat. Â Kami berempat saling berbeda suku. Â Saling berbeda agama. Â Lengkap. Â Oleh karena itu aku selalu dengan bangga mengatakan bahwa aku adalah seorang pluralis. Â Seperti tokoh idolaku yang dulu adalah presidenku. Â Sampai akhirnya aku memutuskan untuk mengenakan cadar.
------
Ketiga sahabatku tidak meninggalkanku karena keputusanku. Â Sebaliknya aku juga tidak mau meninggalkan mereka. Â Cadar tak lebih dari sebuah identitas. Â Paling utama adalah bagaimana sebenarnya rupa hati. Â Kami berempat sepakat dengan itu. Â Tak ada sedikitpun yang berubah dari persahabatan kami karena keputusanku.
Seperti geledek di siang hari yang sedang cerah-cerahnya. Â Tanpa mendung tanpa hujan. Â Kampusku mengeluarkan aturan tak boleh bercadar. Â Aku tersentak kaget. Â Teman-teman sekampus tersentak kaget. Â Ketiga sahabatku tak kalah kaget. Â Tidak terima.
Dengan didukung oleh ketiga sahabatku, aku memberanikan diri menghadap para petinggi kampus setelah keputusan yang mengejutkan itu. Â Kami tak takut. Â Seperti yang sudah aku katakan sebelumnya. Â Cadar adalah sebuah identitas. Â Bukan perangkat keras yang bisa menghancurkan kampus hingga sekecil bubuk-bubuk kertas.
Kami berempat duduk di ruang tamu. Â Menunggu. Â Bagaimanapun degup jantungku lebih kencang dibanding ketiga sahabatku. Â Ini mengenai aku.Â
Akhirnya kami dipersilahkan masuk ke dalam ruangan. Â Ada rektor, dekan dan beberapa dewan kampus. Â Aku semakin goyah. Â Inilah para petinggi yang harus aku hadapi dalam perbincangan ini. Â Aku segan. Â Aku tak tahu mesti bagaimana. Â Aku hanya bisa tergagap dan ternganga.
Rupanya para petinggi kampus itu seharian ini menerima protes yang sama bergiliran. Â Karenanya mereka hanya menggelengkan kepala saat aku dengan terbata-bata mengajukan agar tetap boleh memakai cadar. Â Begitupun ketika ketiga sahabatku mencoba menguatkan usulanku, mereka dengan sigap tetap menggelengkan kepala. Â Walaupun salah satu sahabatku akhirnya mengeluarkan senjata terakhir dengan menyodorkan selembar kertas berstempel seorang dokter. Â mereka tetap menggelengkan kepala.
Aku tiba-tiba sedih. Â Di pelupuk mataku terbayang bagaimana kalau aku harus keluar dari kampus ini gara-gara aku harus mempertahankan cadarku. Â Ini masalah prinsip. Â Aku akan tetap bertahan.
Tapi apakah bapak ibuku bisa bertahan mendengar aku keluar atau dikeluarkan. Â Di sini aku mendapatkan beasiswa yang menjaminku bisa menyelesaikan kuliahku tanpa menyulitkan mereka. Â Bapakku sudah merancang perhitungan dengan cermat. Â Ketika tiba masa kedua adikku masuk kuliah. Â Aku sudah bekerja dengan stabil dan bisa menanggung biaya mereka. Â Tapi dengan kejadian ini? Â Apakah bapakku sanggup menerimanya. Â Paling-paling aku disuruh pulang kampung dan menikahi orang kaya. Â Agar perhitungan yang cermat tadi tidak meleset amat. Â Duuhhh!
Dari sedih aku lalu menangis. Â Airmataku jatuh bukan karena keputusan para petinggi itu. Â Airmataku aku persembahkan untuk sebuah dinding penghalang yang tiba-tiba muncul di hadapanku yang bercita-cita setinggi angkasa. Â Aku mendadak merasa sangat putus asa.