Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lapangan Kecil untuk Bahagia

23 Februari 2018   21:47 Diperbarui: 23 Februari 2018   22:09 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kampung padat di tengah ibukota itu memutuskan bahwa kali ini sudah tidak lagi berbahagia.

------

Pembangunan mesjid itu mendekati titik-titik akhir.  Sudah terlihat megah dan wah.  Tiga tingkat dengan basement beberapa tingkat di bawahnya. Tapi ada satu hal yang membuat orang-orang terperangah.  Sekeliling mesjid mulai dibangun pondasi untuk pagar tinggi.  Mall besar itu juga membuka tembok bagian belakang.  Membangun akses jalan tembus ke halaman mesjid.

Pertanyaan itu tidak terlalu lama kemudian bisa dijawab.  Mesjid dikelilingi tembok tinggi.  Basement mesjid dijadikan tambahan bagi parkir mall.  Mesjid megah yang wah itu ternyata jadi satu dengan mall.   Kampung itu benar-benar terhimpit sekarang. 

Pak Madun segera saja mendatangi rumah Haji Dulah.  Di sana sudah berkumpul beberapa orang.  Wak Salman, Mang Pian dan Bik Suli di antaranya.

"Pak Haji, apa yang terjadi?  Bukankah dulu kesepakatannya tidak begitu?" Pak Madun nyerocos tak kenal ampun.

"Ini tidak benar Pak Haji.  Apakah Pak Haji menjual tanah itu ke developer?" Bik Suli bertanya.  Sigap.

"Kampung kita terjepit.  Satu-satunya ruang terbuka hanyalah jalan dan gang yang padat," keluh Wak Mian sembari mengurut jidat.

Haji Dulah menghela nafas panjang.  Mengelus jenggot abu-abunya.  Nampak sekali bersedih hati.

"Aku dulu membolehkan Pak Lurah merubah peruntukan tanah itu karena dijanjikan untuk dibangun mesjid untuk mall tapi dengan syarat dibangun juga lapangan futsal untuk anak-anak kampung ini.  Aku tidak menduga akhirnya seperti ini." 

Semuanya terdiam.  Tak sanggup berkata apa-apa.  Alangkah susahnya sekarang mengembalikan bahagia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun