Kampung padat di tengah ibukota itu memutuskan bahwa kali ini sudah tidak lagi berbahagia.
------
Pembangunan mesjid itu mendekati titik-titik akhir. Â Sudah terlihat megah dan wah. Â Tiga tingkat dengan basement beberapa tingkat di bawahnya. Tapi ada satu hal yang membuat orang-orang terperangah. Â Sekeliling mesjid mulai dibangun pondasi untuk pagar tinggi. Â Mall besar itu juga membuka tembok bagian belakang. Â Membangun akses jalan tembus ke halaman mesjid.
Pertanyaan itu tidak terlalu lama kemudian bisa dijawab. Â Mesjid dikelilingi tembok tinggi. Â Basement mesjid dijadikan tambahan bagi parkir mall. Â Mesjid megah yang wah itu ternyata jadi satu dengan mall. Â Kampung itu benar-benar terhimpit sekarang.Â
Pak Madun segera saja mendatangi rumah Haji Dulah. Â Di sana sudah berkumpul beberapa orang. Â Wak Salman, Mang Pian dan Bik Suli di antaranya.
"Pak Haji, apa yang terjadi? Â Bukankah dulu kesepakatannya tidak begitu?" Pak Madun nyerocos tak kenal ampun.
"Ini tidak benar Pak Haji. Â Apakah Pak Haji menjual tanah itu ke developer?" Bik Suli bertanya. Â Sigap.
"Kampung kita terjepit. Â Satu-satunya ruang terbuka hanyalah jalan dan gang yang padat," keluh Wak Mian sembari mengurut jidat.
Haji Dulah menghela nafas panjang. Â Mengelus jenggot abu-abunya. Â Nampak sekali bersedih hati.
"Aku dulu membolehkan Pak Lurah merubah peruntukan tanah itu karena dijanjikan untuk dibangun mesjid untuk mall tapi dengan syarat dibangun juga lapangan futsal untuk anak-anak kampung ini. Â Aku tidak menduga akhirnya seperti ini."Â
Semuanya terdiam. Â Tak sanggup berkata apa-apa. Â Alangkah susahnya sekarang mengembalikan bahagia.