Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lapangan Kecil untuk Bahagia

23 Februari 2018   21:47 Diperbarui: 23 Februari 2018   22:09 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa anak tertawa di lapangan bola yang tak lebih dari sepersepuluh ukuran sebenarnya.  Menikmati peluh yang membanjiri muka.  Bahagia yang mereka rasakan murah dan sederhana.  Bermain bersama teman-teman sebaya dengan bola sepak seharga sepuluh ribuan.  Bolanya benjol di sana sini tapi sungguh berarti.

Gawang dibuat dari tiang seadanya dari bambu yang ditancapkan.  Bambu yang diperoleh pun berasal dari sisa-sisa potongan jembatan yang rubuh digerus banjir.

Lapangan itu persis berada di belakang sebuah mall megah dan besar di bilangan Jakarta Selatan.  Sisa-sisa tanah berumput yang sanggup dipertahankan Pak Haji Dulah untuk tidak dijual ke developer.  Keuntungannya, lapangan itu terlindungi dari sengatan matahari sepanjang waktu.  Siang hari bolong saja banyak anak-anak yang meramaikan lapangan itu.

Sayangnya, rumput di lapangan yang dinamakan "lapangan untuk bahagia" itu susah sekali untuk tumbuh.  Tidak heran, sinar matahari hanya mampu menjangkau ketika tepat di atas kepala.  Cahaya pagi yang paling bagus untuk pertumbuhan tidak bisa menembus belantara beton dan kaca di sekitarnya.  Alhasil, lapangan untuk bahagia lebih banyak botaknya daripada berumputnya.

Malam hari, lapangan untuk bahagia juga menjadi pusat keramaian kampung padat itu.  Banyak muda-mudi, ibu-ibu dan bapak-bapak berkumpul di sana.  Ada yang sekedar bercengkrama menghabiskan sepertiga awal malam.  Ada yang berlatih musik.  Hanya gitar dan ketipung sebenarnya, tapi bisa membuat ceria suasana. 

Sebuah kampung yang berbahagia.

------

Pukul 20.00,  lapangan itu lebih ramai dari biasanya.  Bapak-bapak dan ibu-ibu berkumpul di pinggir lapangan.  Muka-muka serius mereka menyiratkan bahwa malam ini jauh lebih serius dibanding biasanya.  Mungkin ada berita tentang kiamat mendekat atau pilkada yang makin menghangat.

"Ini serius?  Bukan hoax?" Wak Salman membuka percakapan.

"Iya Wak, A1.  Sahih,"  ujar Bik Suli menanggapi.  Sigap.  Takut orang lain mendahului.

"Ck ck ck, terus bagaimana anak-anak kita bermain bola nanti?" sungut Mang Pian kesal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun