Kereta terakhir ke Surabaya sudah berangkat. Â Lelaki itu masih duduk di ruang tunggu peron jalur dua. Â Entah apa yang ditunggunya. Â Travel bagberukuran sedang tergeletak di sampingnya. Â Sebatang rokok terselip di bibirnya. Â Tidak dinyalakan. Â Semenjak 4 jam yang lalu. Â Begitu dia memutuskan duduk di situ.
Ruang tunggu kosong. Â Hanya lelaki misterius itu yang sepertinya masih menunggu sesuatu. Â Wajahnya tertutupi rambut panjang acak-acakan. Â Tidak nampak terlalu jelas. Â Sebuah handphone di tangan kanan dipandanginya sekejap. Â Lalu berdiam lagi. Â Tak beda dengan Stasiun Gambir tempatnya duduk yang memutuskan untuk terlelap sedari tadi.
Jam tua di dinding yang terkelupas berdentang sekali. Â Lelaki itu mengangkat muka. Â Meraih tasnya lalu beranjak menuju pintu keluar stasiun. Â Sudah pukul satu. Â Saatnya pulang ke rumah. Â Dia telah menepati waktu.
------
Di Surabaya. Â Kereta terakhir tiba. Â Seorang perempuan muda membetulkan posisi bayinya yang tertidur di gendongan. Â Begitu rangkaian gerbong terakhir berhenti. Â Perempuan itu menatap dengan harap-harap cemas kepada rombongan orang yang turun.Â
Pandangan matanya meredup waktu orang terakhir yang turun bukan orang yang diharapkannya. Â Pecahan kaca mengalir keluar dari matanya. Â Menelusuri pipinya yang cekung dan jatuh di dahi bayinya yang masih tertidur pulas.
Perempuan itu beranjak dengan letih. Â Tepat saat dentang jam sekali mengisi sunyi dinihari. Â Lelaki yang diharapkan menjemputnya belum juga datang. Â Tapi, paling tidak dia telah menepati waktu.Â
-----
"Aku akan menjemputmu ke Surabaya dik. Â Tunggulah kereta terakhir yang datang dari Jakarta di hari Minggu. Â Biasanya pukul satu dinihari."
Lelaki itu mengatakan hal yang sama berulang-ulang saat mereka berdua bertemu terakhir kali 3 tahun yang lalu di stasiun Tugu Yogyakarta. Â Setelahnya mereka berpisah. Â Lelaki itu menuju Jakarta. Â Perempuan itu naik kereta ke Surabaya.
Itu terjadi sebelum kejadian dramatis sesudahnya.