Bukti telah belajar dalam suatu fase yaitu dapat meramu hasil belajar yang telah dilalui dengan merangkai kata berupa tulisan. Ini sebagai eviden laluan dalam belajar yang pernah ada dalam diri seorang pembelajar sepanjang hayat. Baiklah maari kita membedah tentang pendidikan yang memerdekakan. Yuk disimak, berikut ulasannya:
MENUNTUN
Dalam filosofi Ki Hajar Dewantara (KHD), makna dari kata "menuntun" lebih luas dan lebih mendalam. Menurut KHD, "menuntun" mengacu pada tindakan membimbing seseorang untuk mencapai tujuan hidup yang sebenarnya (actualization). Dalam konteks ini, tujuan hidup yang sebenarnya merupakan kunci untuk mengembangkan potensi manusia secara maksimal dan menjadi manusia seutuhnya (fully human). KHD percaya bahwa setiap orang memiliki hak untuk mencapai tujuan hidup yang sebenarnya dan tugas pendidikan adalah membantu individu dalam proses pencapaian tujuan hidupnya tersebut.
Dalam konsep "menuntun" KHD, pendidikan harus memberikan kebebasan dan kesempatan kepada setiap individu untuk menentukan tujuan hidupnya sendiri. Tujuan hidup yang sebenarnya ini harus berdasarkan pada keunikan, bakat, dan potensi individu, serta mengakomodasi kebutuhan dan harapan dari lingkungan sosial tempat individu berada. Dalam konteks ini, pendidikan harus mampu membantu individu dalam mengenali diri sendiri dan lingkungan sosialnya, serta memberikan kesempatan untuk mengembangkan bakat dan potensi yang dimilikinya.
Selain itu, konsep "menuntun" KHD juga menekankan pada pentingnya memahami dan menghargai keragaman individu dan budaya, serta merawat alam dan lingkungan sekitar. Dalam hal ini, pendidikan harus mampu membimbing individu untuk mengembangkan rasa kemanusiaan yang tinggi, sehingga mampu berkontribusi dalam menciptakan dunia yang lebih baik dan berkeadilan.
Dengan demikian, dalam filosofi KHD, konsep "menuntun" lebih dari sekedar membimbing atau mengarahkan seseorang untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi juga mencakup proses pengembangan individu secara holistik dan memperhatikan konteks sosial dan lingkungan sekitarnya.
SISTEM AMONG
Dalam sistem pendidikan "Among" yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara, peran "menuntun" memiliki peran yang sangat penting. Dalam sistem Among, guru tidak hanya bertindak sebagai pemberi informasi atau pengetahuan, tetapi juga sebagai pembimbing atau fasilitator dalam proses pembelajaran.
Dalam sistem Among, peran "menuntun" dilakukan dengan memberikan kebebasan kepada siswa untuk belajar sesuai dengan kebutuhan dan minatnya sendiri. Guru tidak hanya memberikan materi pelajaran, tetapi juga membantu siswa dalam mengembangkan potensi yang dimilikinya secara maksimal. Guru juga membantu siswa dalam mengenali diri sendiri, lingkungan sekitar, dan memahami nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakatnya.
Peran "menuntun" dalam sistem Among juga mengacu pada konsep "belajar dari bawah". Dalam sistem ini, guru tidak hanya memberikan arahan, tetapi juga belajar dari siswa dan memperhatikan perkembangan individual siswa dalam proses pembelajaran. Dengan demikian, guru dan siswa saling berinteraksi dan saling belajar satu sama lain dalam proses pembelajaran.
Dalam filosofi Ki Hajar Dewantara, peran "menuntun" juga melibatkan aspek moral dan etika. Guru harus menjadi contoh yang baik bagi siswa dalam hal perilaku dan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi. Guru harus membimbing siswa dalam mengembangkan nilai-nilai moral yang baik, seperti kejujuran, tanggung jawab, saling menghargai, dan peduli terhadap lingkungan sekitar.
Dengan demikian, peran "menuntun" dalam sistem pendidikan Among yang berbasis pada filosofi Ki Hajar Dewantara melibatkan aspek holistik dan menghargai keunikan individu, serta memperhatikan konteks sosial dan lingkungan sekitarnya. Guru memiliki peran penting dalam membimbing dan membantu siswa dalam mencapai potensi terbaik mereka, serta mengembangkan nilai-nilai moral yang baik.
KONSEP BERMAIN ADALAH SAMA DENGAN BELAJAR
Konsep bahwa bermain adalah sama dengan belajar merupakan pemahaman yang mengakui kodrat anak sebagai makhluk yang secara alami senang dan membutuhkan aktivitas bermain untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan mereka. Dalam hal ini, bermain tidak hanya dianggap sebagai kegiatan yang menyenangkan semata, tetapi juga sebagai proses pembelajaran yang efektif.
Makna dari konsep ini adalah bahwa anak-anak pada dasarnya memiliki kemampuan belajar yang tidak terbatas dan memiliki rasa ingin tahu yang kuat. Oleh karena itu, saat bermain, anak-anak secara alami mengeksplorasi, menemukan, dan belajar melalui interaksi dengan lingkungan sekitar mereka. Dalam hal ini, bermain menjadi cara yang alami dan menyenangkan untuk memfasilitasi proses pembelajaran anak.
Dalam pendekatan seperti Montessori dan Taman Anak Froebel, peran guru atau orang dewasa adalah untuk memfasilitasi aktivitas bermain anak dan membantu mereka mengembangkan potensi mereka secara holistik. Dalam hal ini, guru tidak hanya memberikan pengetahuan kepada anak, tetapi juga membimbing anak dalam menemukan dan mengeksplorasi dunia sekitar mereka melalui bermain.
Dalam konteks kodrat anak, konsep ini menegaskan bahwa anak memiliki hak untuk belajar dan tumbuh melalui bermain. Oleh karena itu, dalam merancang sistem pendidikan dan pengasuhan anak, kita harus memperhatikan kodrat anak dan memberikan kesempatan dan lingkungan yang mendukung untuk bermain dan belajar secara alami.
KONSEP BUDI PEKERTI
KHD juga mengajarkan bahwa budi pekerti adalah konsep yang holistik, yang mencakup berbagai aspek kehidupan seperti agama, moral, etika, dan budaya. Dalam pandangan KHD, budi pekerti juga merupakan fondasi penting dalam menciptakan masyarakat yang lebih baik dan damai.
Konsep budi pekerti menurut KHD juga melibatkan pembentukan karakter melalui proses pendidikan yang berkesinambungan dan berkelanjutan. Pembentukan karakter yang baik tidak dapat dilakukan hanya dalam waktu singkat atau dalam bentuk pendidikan formal saja, tetapi juga membutuhkan peran orang tua, masyarakat, dan lingkungan sekitar.
Konsep tersebut sangat penting dalam membentuk karakter dan kepribadian yang baik, dan menjadi fondasi penting dalam menciptakan masyarakat yang lebih baik dan damai. Oleh karena itu, budi pekerti harus menjadi bagian integral dalam pendidikan dan pengajaran, serta diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
ANAK BUKAN TABULARASA
Dalam konteks pendidikan, konsep bahwa anak bukanlah tabula rasa menekankan pentingnya memperhatikan karakteristik dan potensi unik setiap anak dalam proses pembelajaran. Hal ini mengharuskan pendidik dan orang tua untuk memberikan lingkungan yang sesuai dengan karakteristik dan kecenderungan alami anak, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan potensi yang mereka miliki.
Dalam pendekatan pendidikan seperti Montessori dan Taman Anak Froebel, konsep ini diwujudkan melalui penggunaan metode yang menempatkan anak sebagai subjek pembelajaran dan memberikan kebebasan kepada mereka untuk mengeksplorasi dan mengembangkan minat mereka sendiri. Pendidik bertindak sebagai fasilitator, memberikan bimbingan dan dukungan untuk membantu anak belajar dan tumbuh sesuai dengan potensi mereka.
ANALOGI PETANI UNTUK MENJELASKAN KODRAT ANAK
Analogi petani juga menekankan bahwa setiap tanaman memiliki karakteristik yang unik, seperti halnya setiap anak memiliki karakteristik dan kecenderungan alami yang membentuk potensi mereka. Seorang petani perlu memahami karakteristik tanaman yang ia tanam agar dapat memberikan perawatan yang tepat, begitu pula seorang pendidik atau orang tua perlu memahami karakteristik dan kecenderungan alami anak untuk dapat memberikan lingkungan dan bimbingan yang sesuai.
Konsep kodrat anak mengajarkan bahwa anak memiliki potensi yang unik dan alamiah untuk tumbuh dan berkembang, dan sebagai pendidik atau orang tua, kita perlu memberikan perhatian dan dukungan yang tepat agar potensi anak dapat berkembang secara optimal. Analogi petani adalah salah satu cara yang dapat digunakan untuk menjelaskan konsep ini dengan cara yang mudah dipahami. Tidak mungkin menanam padi akan berharap memanen jagung, begitupun sebaliknya. Padi akan tumbuh menjadi padi, dan berhasil memanennya. Sehingga, tugas guru dan orang tua berupaya memeliharanya dari berbagai potensi gangguan.
Pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan yang memerdekakan merupakan filosofi yang selaras dengan pemikiran beberapa tokoh pendidikan lainnya, seperti Maria Montessori dan Friedrich Froebel.
Maria Montessori, seorang dokter dan pendidik asal Italia, mengembangkan metode pendidikan Montessori yang berfokus pada pengembangan potensi anak secara holistik, melalui pemberian kebebasan dan kemandirian pada anak dalam proses pembelajaran. Konsep kebebasan dan kemandirian ini juga merupakan bagian dari konsep pendidikan yang memerdekakan menurut Ki Hajar Dewantara. Montessori juga mengajarkan konsep belajar melalui pengalaman, yang serupa dengan prinsip pembelajaran melalui pengalaman dalam pendekatan KHD.
Sementara itu, Friedrich Froebel, seorang pendidik Jerman, menciptakan konsep Taman Anak (Kindergarten) yang memfokuskan pada pembelajaran melalui permainan dan kegiatan yang kreatif. Froebel mengajarkan pentingnya pengembangan bakat dan potensi anak, serta pengenalan nilai-nilai moral dan sosial dalam proses pembelajaran. Konsep ini juga sejalan dengan prinsip pendidikan yang memerdekakan menurut KHD, yang mengajarkan pentingnya pengembangan potensi individu dan memperhatikan aspek moral dan sosial dalam proses pendidikan.
Dalam keseluruhan, para tokoh pendidikan ini memiliki kesamaan dalam pandangan bahwa pendidikan seharusnya memperhatikan keunikan dan potensi individu, serta memberikan kebebasan dan kemandirian pada siswa dalam proses pembelajaran. Selain itu, mereka juga mengajarkan pentingnya pengembangan nilai-nilai moral dan sosial dalam proses pendidikan. Prinsip-prinsip ini kemudian menjadi acuan dalam pengembangan metode-metode pendidikan yang lebih holistik dan memerdekakan, termasuk dalam pendekatan Ki Hajar Dewantara.
Kaitan filosofi dan prinsip pendidikan yang memerdekakan dengan tujuan pendidikan untuk membentuk profil Pelajar Pancasila
Filosofi dan prinsip pendidikan yang memerdekakan sangat erat kaitannya dengan tujuan pendidikan untuk membentuk profil Pelajar Pancasila. Pelajar Pancasila adalah siswa yang memiliki pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai Pancasila, mampu mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat memperjuangkan nilai-nilai Pancasila di tengah-tengah masyarakat.
Pendidikan yang memerdekakan, seperti yang dianut oleh Ki Hajar Dewantara, Maria Montessori, dan Friedrich Froebel, memiliki tujuan untuk mengembangkan potensi individu secara holistik, termasuk dalam aspek moral dan sosial. Prinsip-prinsip ini kemudian menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan Pancasila yang memiliki tujuan untuk membentuk siswa yang memiliki pemahaman mendalam tentang nilai-nilai Pancasila, serta mampu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Konsep kebebasan dan kemandirian yang diajarkan dalam pendidikan yang memerdekakan juga dapat membantu siswa dalam memahami nilai-nilai Pancasila secara mandiri dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, pengembangan nilai-nilai moral dan sosial dalam proses pendidikan juga dapat membantu siswa dalam memahami dan memperjuangkan nilai-nilai Pancasila dalam masyarakat.
Oleh karena itu, filosofi dan prinsip pendidikan yang memerdekakan sangat relevan dalam pengembangan profil Pelajar Pancasila yang menjadi tujuan pendidikan di Indonesia. Melalui pendekatan yang holistik dan memperhatikan aspek moral dan sosial, siswa dapat menjadi individu yang berpotensi dan memiliki kesadaran yang mendalam terhadap nilai-nilai Pancasila. Dimana diyakini generasi yang sepertj ini akan mampu bersaing, berkarakter, dan bijaksana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H