Mohon tunggu...
Rinaldi Reza
Rinaldi Reza Mohon Tunggu... -

Hidup itu pilihan. Setiap pilihan mengandung konsekuensi. Pilihlah yang terbaik dan jalanilah dengan Ikhlas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Melihat Kembali "Fatwa (Kajian?) Haram (Tidak Sesuai Syariah?)" BPJS Oleh MUI

1 Agustus 2015   12:11 Diperbarui: 12 Agustus 2015   06:12 2120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Assalamualaikum. wr.wb

Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial atau BPJS berdasarkan UU nomor 24 tahun 2011. Tujuannya adalah mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap Peserta dan/atau anggota keluarganya. Siapa pesertanya? Merujuk pada pasal 1 ayat poin 4, peserta BPJS adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran.

BPJS ada 2, BPJS kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan. Secara umum, prinsip BPJS ini mirip dengan Serikat Tolong Menolong (STM) di kampung saya, namun dalam bentuk yang lebih kompleks. Dimana setiap anggota iuran rutin tiap bulan, uang iuran itu dipakai jikalau ada peserta yang kemalangan atau sakit. Kalau di STM, uang yang terkumpul biasanya di simpan di rekening bendahara. Umumnya, uangnya menganggur begitu saja. Di BPJS, iuran peserta dikelola dalam berbagai macam instrumen investasi.

Sekilas MUI

Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mewadahi ulama, zu’ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia.

Menjalankan islam secara menyeluruh (kaffah) adalah kewajiban (lih. Al Baqarah 208). Sehingga bagi kaum muslimin, perlu berhati-hati dalam menjalankan hidup agar tidak terjerumus kepada apa-apa yang dilarang oleh Allah Swt.

Tentang mitos Fatwa BPJS “haram”

hasil ijtima ulama tentang BPJS (lih. hal 56)

Beberapa hari terakhir ini pemberitaan tentang fatwa BPJS “haram” oleh MUI menjadi hangat. Walapun sudah dijelaskan dari pihak BPJS dan MUI bahwa tidak ada kata-kata “haram” tetapi yang ada adalah kata-kata “tidak sesuai dengan syariah”. Padahal kalau dipikir-pikir, kedua hal ini berbeda.

Bagi mereka yang buru-buru menyudutkan MUI terkait dengan fatwa BPJS “haram” ini. Mungkin belum membaca salinan hasil forum pertemuan ulama tersebut secara penuh, andaikan mereka sempat membaca secara menyeluruh, mungkin mereka bakal terkejut. Ketika saya membacanya, saya juga terkejut, “ini mah bukan fatwa”. Ya, itu bukan fatwa, fatwa itu ketetapan hukum atas suatu masalah. Yang dipermasalahkan diberita selama ini ternyata hanyalah hasil kajian bukan fatwa. Iya, kajian BPJS dari sisi syariah.

Dan hasil kajian itu menyimpulkan bahwa penyelenggaraannya tidak sesuai syariah dan direkomendasikan agar pemerintah menyelenggarakan sesuai syariah.

Kalau mau dibaca lagi latar belakang, dasar penetapan, dalil dalam hadist serta pendapat ulama dalam salinan tersebut. Maka secara prinsip, BPJS itu tidak bertentangan dengan islam, karena sifatnya gotong royong membantu sesama, yang sehat membantu yang sakit. Namun, memang dalam pelaksanaannya, ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan prinsip syariah, karena mengandung unsur ghahar, maisir dan riba. Namun letak tidak sesuai syariahnya secara spesifik tidak dijelaskan dalam salinan tersebut.

Tidak sesuai syariah itu bukan berarti haram. Ketika suatu hal dikatakan haram, maka dia akan diikuti oleh kewajiban untuk meninggalkan perbuatan tersebut. Judi haram, maka harus ditinggalkan/dijauhi. Berzina haram, maka kewajibannya untuk dijauhi/ditinggalkan. Kalau BPJS haram, harusnya anjuran atau seruan untuk seluruh kaum muslimin adalah meninggalkannya atau memboikotnya.

Membantu orang yang kesusahan itu kewajiban, mencuri itu haram. Apakah boleh mencuri untuk membantu orang yang kesusahan? Tentu saja tidak boleh. Lalu bagaimana solusinya? bantulah orang yang kesusahan tanpa harus merugikan orang lain, dengan uang, tenaga dan waktu sendiri. Kalau harus terpaksa mencuri? Itu namanya darurat. Begitu kira-kira analogi saya. Harap maklum saya bukan ahli agama, tapi saya berpendapat bahwa dalam islam itu kita harus melakukan yang benar dengan cara yang benar “do the right things in the right way”.

Pemerintah wajib mengikuti rekomendasi MUI terkait BPJS?

Menjawab pertanyaan ini, kembali lagi ke atas. Bahwa MUI ini adalah LSM, bukan organisasi pemerintah sehingga pemerintah tidak ada kewajiban mengikuti rekomendasi MUI terkait BPJS tersebut. Pemerintah mau mengabaikan ya silakan saja.

Namun, perlu di ingat, mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. MUI dibentuk oleh gabung ormas islam di Indonesia. Ada NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan al Ittihadiyyah. Sehingga bisa dikatakan MUI adalah representasi umat muslim di Indonesia. Bukankah dalam demokrasi, suara mayoritas sudah semestinya dipertimbangkan?

“oh, tidak semua orang islam sepakat dengan MUI terkait BPJS”. Oke, boleh saja tidak semua orang islam sepakat dengan MUI terkait masalah BPJS ini. Tapi mari kita coba pikirkan, bagi sebagian muslim, menjalankan islam secara menyeluruh bukan sekedar kewajiban, tapi menjadi jalan hidup. Sehingga dalam kehidupannya, dia benar-benar menjaga dirinya dan hartanya. Anda boleh tidak sepakat dengan mereka. Tapi sah-sah saja toh mereka menjalankan hidup mereka dengan prinsip seperti itu?

Di BPJS, semua orang adalah peserta. Dan hukumnya WAJIB. Sehingga bagi muslim seperti yang saya jelasakan di atas, akan menjadi dilema, disatu sisi mereka ingin menjalankan kewajiban mereka sebagai warga negara dengan mematuhi UU, namun disisi lain, pelaksanaan UU (pengelolaan BPJS) tidak sesuai dengan prinsip agama yang mereka pegang. Apakah negara dalam hal ini BPJS, akan mengabaikan rekomendasi MUI tersebut? Namun perlu juga dipertimbangkan, jika rekomendasi tersebut dijalankan akankah merugikan peserta yang lain?

Dan akhirnya…

Saya tidak tau darimana asal muasal kata “tidak sesuai prinsip syariah” dalam kajian (yang kemudian diartikan sebagai “fatwa”) ditafsirkan “haram”. Namun dari kejadian tersebut, saya ambil hikmahnya saja yaitu untuk banyak membaca.

Ya, paling tidak menafsirkan ‘tidak sesuai prinsip syariah” menjadi “fatwa haram” memberikan rejeki tersendiri bagi sebagian orang. Wallahualam.

 

“Jika ada yang bermanfaat, sudilah mendoakan. Jika ada yang salah, kepada Allah saya mohon ampun, kepada sesama saya memohon maaf.”

 

*saya bingung mau ditaruh kategori mana..heheh

*terpaksa saya tambahkan gambar salinan hasil Ijtima ulama,

 

 

 

referensi:

http://www.jkn.kemkes.go.id/attachment/unduhan/UU%20No%2024%20Tahun%202011%20tentang%20BPJS.pdf

terima kasih bung iskandar jet

http://mui.or.id/sekilas-mui

http://mui.or.id/wp-content/uploads/2014/11/29.-Hukum-Alkohol.pdf

http://mui.or.id/mui/tentang-mui/profil-mui/profil-mui.html

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun