Pada 2014, saat kampanye pasangan calon presiden dan wakilnya Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) berjanji menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi tingkat pengangguran. Janji Jokowi ihwal pengangguran kala itu adalah menyediakan 10 juta lapangan kerja baru selama 2014-2019.
Peneliti Lembaga Informasi Perburuhan Sedane Alfian Al Ayubby mengatakan tidak ada yang spesial dari penurunan angka pengangguran sepanjang 2014-2018. Alasannya, berkurangnya jumlah pengangguran dianggap tidak signifikan berjalan sepanjang periode itu. Angka pengangguran tidak pernah turun secara signifikan. Bahkan merujuk data BPS, angka terakhir yang tercatat pada Februari 2018, pengangguran 5,13%. Sementara pada Agustus 2018, pengangguran naik jadi 5,34%.
Berdasarkan data Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) yang dihimpun dari BPS, jumlah angkatan kerja berlatar belakang pendidikan SMK dan Perguruan Tinggi (PT) yang menganggur terus naik sepanjang 2012-2018. Jumlah penganggur lulusan SMK naik dari kisaran 1 juta orang pada 2012 menjadi sekitar 1,7 juta orang pada 2018. Adapun penganggur lulusan PT meningkat dari sekitar 400.000 orang menjadi 700.000 orang.
Lambannya laju penurunan pengangguran diduga akibat belum sesuainya sisi suplai dan permintaan tenaga kerja di Indonesia. Tingginya jumlah pencari kerja yang terus bertambah setiap tahunnya tidak diimbangi dengan bertambahnya lapangan pekerjaan secara signifikan.
Dari sisi pengusaha sebagai pembuka lapangan pekerjaan, Pengusaha Nasional Erwin Aksa membeberkan sejumlah keluhan dari pengusaha selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) 4,5 tahun terakhir. Dalam acara diskusi Aliansi Pengusaha Nasional (APNAS), Dirinya menyatakan  selama ini praktis sektor riil tidak bergerak. Karenanya, kini APNAS menyuarakan aspirasi dan jeritan para pengusaha, agar pemerintahan beritkutnya dapat menggandeng para pengusaha agar turut serta berpartisipasi dalam pembangunan negara.
Erwin merasa heran mengapa pemerintah tidak melihat secara makro inti dari persoalan ini. Justru pemerintah banyak intervensi kebijakan yang seharusnya diserahkan kepada mekanisme pasar. Seperti intervensi Presiden Jokowi terhadap harga semen di pasar, intervensi pemerintah terhadap industri sawit, hingga kebijakan BBM satu harga yang akhirnya membuat Pertamina rugi.
Erwin menduga, kurangnya perhatian pemerintah terhadap sektor riil dikarenakan presiden meng-"anak emas"-kan perusahaan perintis atau yang populer dengan istilah startup. Keberhasilan mendatangkan investasi yang diwartakan lebih banyak menyasar ke startup dibanding sektor riil. Padahal, startup-startup yang ada hanya melakukan aksi bakar uang. Tidak hanya masalah investasi, aturan pajak e-commerce yang sudah disusun juga tetiba dibatalkan pemerintah. Alhasil, negara kehilangan potensi pendapatan dari Pajak Pertambahan nilai (PPn).
Pemerintah seharusnya sadar, meskipun perusahaan rintisan menumbuh kembangkan wirausaha, namun tingkap penyerapan tenaga kerjanya sangat terbatas. Bandingkan dengan sektor ril yang bisa menyerap tenaga kerja ribuan hingga jutaan orang. Startup ketika baru memulai bisnisnya paling hanya diisi puluhan orang. Sementara pabrik yang baru buka minimal menyerap ratusan tenaga kerja.
Selain itu, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Suharso Monoarfa saja menyepakati jika hanya 5 persen peluang dari semua startup yang sukses. Dari 5 persen itu, hanya 25 persennya yang menghasilkan uang. Dengan demikian, hanya 1,25 persen startup yang berpeluang sukses dan menghasilkan di dunia. Maka seharusnya pemerintah jangan menghitung startup dapat mengurangi angka pengangguran. Dari 98,75% mereka yang gagal dalam merintis startup, tentunya tidak sedikit yang kembali menjadi pengangguran.
Kembali maju dalam Pemilihan Presiden 2019, Jokowi sadar akan masalah yang belum tuntas ini dan menjanjikan adanya sebuah kartu sakti untuk para pengangguran. Dalam sebuah rangkaian kampanye pemilihan presiden 2019, Jokowi berjanji akan menerbitkan Kartu Pra Kerja apabila dirinya kembali terpilih dalam Pemilihan Umum (pemilu) yang akan digelar kurang dari delapan hari lagi.
Melalui kartu tersebut, lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), maupun perguruan tinggi yang belum bekerja atau terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akan mendapat pelatihan. Selain itu, mereka juga akan diberikan insentif sampai mendapatkan pekerjaan. Dengan adanya rencana tersebut, Jokowi seakan mengakui jika pada periode pertamanya ini Dia gagal menyelesaikan masalah tenaga kerja di Indonesia.
Wibisono SH. MH., Ketua Pendiri Garda PAS dan Pembina LPKAN Indonesia mengakui jika program peningkatan keterampilan sangat penting, khususnya bagi para lulusan SMK. Namun Dia meragukan efektivitas program Kartu Pra Kerja seperti yang dijelaskan oleh Paslon 01. Dalam kacamatnya, Program ini bukan hanya membebani anggaran negara, tetapi juga rawan penyimpangan karena tunjangan diberikan per-individu.
Dia menambahkan program Kartu Pra Kerja ini terlihat seperti "pemadam kebakaran", sehingga tidak fokus ke upaya peningkatan kompetensi dan keterampilan individu. Padahal kebutuhan dari industri adalah tenaga kerja yang berdaya saing dan sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.
Bahkan dengan adanya insentif yang diberikan kepada para pengangguran, Pemerintah bisa memupuk sifat malas dan mental pengemis meraka. Seharusnya pemerintah menumbuhkan dan mengobarkan mental pejuang agar selalu berusaha menjadi lebih baik.
Sebagai seroang pengusaha, seharusnya petahana tahu akar permasalahan lesunya sektor riil dan dapat segera mencari solusinya. Namun, fakta dilapangan menunjukkan jika dirinya tidak peduli... atau tutup mata demi tujuan lain yang ingin dicapai?
Sumber:
detik.com
cnbcindonesia.com
beritalima.com
kompas.com
bisnis.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H