Mohon tunggu...
Mila
Mila Mohon Tunggu... Lainnya - 🙊🙉🙈

Keterusan baca, lupa menulis...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepucuk Surat Sobat

11 Agustus 2021   13:27 Diperbarui: 11 Agustus 2021   13:48 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Untuk Sobat,

Aku rindu kamu... 

Aku yakin dengan berkata begitu saja, kau pasti sudah mencengkeram bahuku kuat-kuat dengan telapak tanganmu yang besar itu. Kemudian kau akan mundur menjauhiku sepanjang rentang lenganmu dan menatapku dengan campuran rasa heran, terkejut dan aneh, sekaligus menaungiku dengan tubuh besar dan lebarmu yang menjulang tinggi di sampingku. Setelah menatapku yang masih nyengir, kau hanya akan bertanya dengan lantang, "Ada apa dengan kau hari ini? Menye-menye amat bicaramu itu!" 

Aku memang merindukanmu, Sobat! Tak peduli jika kau pun anggap aku cengeng. Kau tahu, kau bukan yang pertama. Masih ingat dengan Ronald kan, Sobat? Si raksasa yang suka mengejekku? Dia yang pertama mengataiku cengeng. Tak henti dia mengejekku. Sampai kau datang membelaku. Membuat Ronald seperti kurcaci di depanmu. 

Kau tahu, Sobat? Semenjak kau meninggalkan desa ini. Ronald sering datang dan mengajakku bermain bersama beberapa kawan-kawannya. Dia banyak sekali tersenyum. Ramah sekali dia padaku. Lucunya, aku justru merasa tak nyaman. Tapi, jika harus aku bertanya pada diriku sendiri, kapan sebenarnya aku pernah merasa nyaman bersamanya? Sepertinya memang tidak pernah. Kau benar, Sobat, Ronald sering sekali membuatku jadi cengeng dan kehilangan kepercayaan diri. Dia memang kejam dengan mulutnya, juga sikapnya. Tapi kali ini, aku ingin tunjukkan padanya, aku tidak seperti yang sering dia sebut. Aku ini laki-laki pemberani. Meski tubuhku kecil dan kerempeng, aku tetap kuat. 

Dan sekarang, Ronald banyak memujiku, Sobat. Padahal aku belum melakukan apa-apa. Masih seperti dulu lah aku ini. Tapi dia bilang aku ini pandai dan cerdik. Dia juga bilang aku ini kecil dan gesit. Dia menepuk bahuku ketika mengatakannya. Di hadapan kawan-kawannya pula. Masih dengan banyak senyumnya yang kelewat lebar itu. Aku bahkan berpikir, jika dia menarik ujung mulutnya sedikit lagi saja, muka Ronald pasti bisa terbelah jadi dua. 

Sepanjang hari kami bermain bola di lapangan rumput di depan rumah mungil itu, Sobat. Meskipun sangat jarang aku bisa mendapatkan bola. Atau sekedar duduk dan mengobrol saja. Yang terdengar dari Ronald juga hanya hmm-hmm. Dia lebih banyak menatap rumah mungil itu. Hanya saja, rumah mungil itu sudah tidak lagi kosong. Ada ibu tua beruban yang masih tegak berjalan tinggal di sana sekarang. Kami memanggilnya Oma Duge. 

Oma Duge tinggal sendiri di sana. Kau masih ingat kan? Ada kebun besar di halaman depannya. Yang ada banyak pohon buahnya. Kau pernah bilang pohon-pohon itu sepertinya tak pernah berhenti berbuah saja. Bergantian setiap saat. Kau juga bilang buah-buah yang manis dan segar itu bahkan bisa menghidupi seluruh penduduk desa. 

Sobat, kalau kau datang berkunjung suatu hari nanti, kita tak lagi bisa berpiknik berpesta buah di bawah teduhnya pohon-pohon rindang itu seperti yang biasa kita lakukan dulu. Duduk di atas empuknya rumput hijau sambil menyesap daging mangga atau melahap gerombolan rambutan sepuas perut kita. Atau ketika kita sedang sangat bersemangat, memanjat pohon kelapa yang tinggi atau bergelayut di dahan-dahan pohon jambu sambil menenteng rentetan pisang ambon sampai ada orang yang memarahi kita untuk segera turun. Kemudian kita akan berlari kencang dan bersembunyi di dalam rumah mungil itu dengan melompati daun jendelanya yang engselnya sudah somplak itu. Tawa kita menggema sampai lama. 

Apa kau juga ingat, Sobat, jika kita kelelahan, kita berbaring menatap langit biru sambil berceloteh sampai salah satu dari kita tertidur karena angin yang sepoi dan gemerisik daun yang menenangkan itu. Atau ketika perut kita sudah berasa mulas, kita harus berlari cepat-cepat bertelanjang kaki ke sungai, ke air dingin yang jernih itu. Dan ketika kita puas dan senang, kita bagikan sisa buah-buah itu kepada banyak orang di desa. Sampai aku memberimu ide untuk menjualnya. Wah, ingatkah kau berapa uang yang pernah kita kumpulkan? Aku lupa, Sobat. Yang aku ingat hanya senangnya kau dan aku pergi ke kota ke pasar malam dan membeli banyak tiket untuk mencoba semua permainan di sana. Tak ingat pula berapa kali kita membeli gula kapas yang warna-warni itu. Dan malam itu, kita berdua serempak dimarahi ibumu dan ibuku yang sudah menunggu di depan gapura desa karena pulang kemalaman. Entah apa yang diucapkan ibu-ibu kita waktu itu. Seingatku, kau dan aku malah cengar-cengir dan curi-curi pandang sambil terseok-seok dijewer ibu. 

Ah, sungguh, aku merindukanmu, Sobat... Ya, ya, aku tahu. Aku sedang bermenye-menye lagi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun