Mohon tunggu...
Mila
Mila Mohon Tunggu... Lainnya - 🙊🙉🙈

Keterusan baca, lupa menulis...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepucuk Surat Sobat

11 Agustus 2021   13:27 Diperbarui: 11 Agustus 2021   13:48 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sobat, pemilik rumah mungil itu; Oma Duge, sudah memasang pagar bambu di sekeliling tanahnya. Lumayan tinggi, Sobat. Runcing pula. Meski tetap bisa dilompati. Butuh waktu, tentu saja. Dan itulah yang ternyata ada di lamunan Ronald ketika menatap rumah itu. Ide besarnya untuk kembali mencicipi buah segar dari kebun Oma Duge. 

Ronald katakan padaku lagi pagi itu, "Belu, kau yang paling cerdik dan gesit." Dia membuat pengumuman keras-keras. Membuatku tersenyum lebar dan berdiri serasa jauh lebih tinggi. Aku busungkan dadaku tinggi dan lebar. Kawan-kawannya memandangku, juga dengan senyuman selebar Ronald. "Pergilah kau ke dalam kebun Oma Duge! Ambil sebanyak buah manis yang bisa kau pegang dengan kedua tanganmu itu!" 

Busungnya dadaku perlahan menyusut. Aku terperangah. Kau dan aku tahu, tanpa pemilik, siapa saja bisa memetik buah itu. Dengan pemilik dan pagar, hanya pencuri yang menyelinap untuk mengambil kepemilikan orang lain. 

Sewaktu aku diam, Ronald menepuk-nepuk bahuku lagi. Katanya, "Tak perlu kau cemas, Belu!" Senyumnya masih selebar kawan-kawannya di sekelilingku. "Aku sudah sering bicara kalau kau ini pintar. Sudah jelas tak banyak masalah yang tak bisa kau selesaikan. Lagipula, kau juga cepat sekali berlari. Kalau melawan Oma Duge yang sudah tua itu, pastilah kau bisa kalahkan dia dengan mudah, Belu!" 

Aku memperhatikan kawan-kawannya yang manggut-manggut menyetujui ucapan Ronald. Mereka ini juga yang telah mengajakku bermain setiap hari sejak kepergianmu. Jadi, sepertinya itu pula yang perlu aku lakukan untuk mereka. Lagi pula, seperti yang mereka bilang, aku ini pintar dan gesit. Tak seberapalah yang mereka minta dariku. Hanya mengambil buah seperti yang sering kita lakukan dulu. 

Sobat, dengan tekadku dan semangat dari mereka, aku berlari kencang, melompati pagar tinggi itu. Dan benar saja seperti yang Ronald katakan, semua itu aku lakukan dengan mudah. Mereka ikut berlari dan berhenti di depan pagar bambu. Di antara celah-celah bambu itu, aku masih bisa melihat sekilas wajah-wajah mereka dan mendengar mereka berbisik padaku untuk segera mengambil buah-buah yang memang ranum itu. Mulutku segera berair, Sobat. Pasti begitu juga dengan mulut Ronald dan kawan-kawannya. Mereka mengandalkanku, Sobat. Seperti kau yang mempercayaiku. Aku jadi bersemangat berkat sorak-sorai dan pujian mereka ini, Sobat. 

Aku memanjat satu per satu pohon-pohon itu. Dengan segera aku bisa mengumpulkan banyak buah-buahan segar. Setiap kudapatkan beberapa, aku menyerahkan kepada mereka. Jika buah-buah itu kecil, aku bisa dengan mudah menyisipkan dari celah pagar bambu. Jika besar, aku memberi mereka aba-aba untuk menangkapnya ketika aku lempar melewati pagar tinggi itu. Mereka bersorak girang, Sobat! Seperti mendengarmu tertawa saja. Bedanya kau tak pernah memintaku untuk mengambil lebih banyak. Saat itu, aku melakukannya berkali-kali. Mereka pun semakin girang dan bersuara keras. 

Tiba-tiba saja, Oma Duge sudah berdiri tegak di depan pintu rumahnya. Aku terlambat menyadarinya. Yang aku tahu semuanya menjadi senyap. Diam. Tak ada yang bergerak. Aku bersumpah saat itu aku bahkan bisa mendengar angin menerbangkan rambut hitamku yang berantakan. Sesaat kemudian terdengar bunyi 'cetar' yang demikian keras serasa membelah udara di sekitarku. Ada yang berkelebat di depan mataku secepat kilat. Tapi aku tak tahu itu apa, Sobat. Yang bisa kulihat kemudian hanya buah mangga yang dagingnya sudah terkoyak jatuh dari genggaman tanganku ke tanah berlumpur. Ronald dan kawan-kawannya berlari kencang menjauhi pagar Oma Duge. Aku pun mulai ikut berlari sekencang-kencangnya. Tapi melompati pagar tinggi dengan Oma Duge di belakangku membuat pagar itu terasa semakin tinggi saja. 

Tiba-tiba bunyi 'cetar' yang sama terulang lagi. Kali ini aku bisa merasakan panas yang pedih di betis kakiku. Aku mengaduh, Sobat. Tapi aku tak peduli. Aku tetap memanjat pagar bambu itu. Tanganku menggapai kayu penopang pagar. Dan bunyi keras 'cetar' itu kembali terdengar. Kali ini panas yang lebih perih di punggung tanganku. Aku terjatuh. Sayangnya, aku terjatuh masih di dalam kebun Oma Duge. Aku meringis kesakitan, Sobat. Lutut dan lenganku lecet semua. Pedih berair dengan sedikit darah di sana-sini. Betis dan punggung tanganku masih juga terasa terbakar. Terlihat merah tapi tak ada darah. Aku tahu, aku akan segera menghadapi penghakimanku. 

Sobat, aku takut setengah mati. Jantungku berdetak kencang sekali. Aku hanya berani memandangi lututku yang kehilangan sebagian kulitnya. Entah kemana perginya rasa perih dan sakit itu. Yang aku bisa rasa hanya degup jantungku saja. Dadaku terasa terkoyak hanya karena keras degupnya saja. 

Oma Duge berjalan lambat-lambat. Langkahnya tegas. Aku menunduk tak berani melihat wajahnya. Sepatu merahnya yang kecil dan polos itu menekan tanah dengan kuat. Jika aku tak tahu Oma Duge itu sudah berumur lebih dari delapan puluh tahun, aku pasti berpikir dia bisa menendangku jauh-jauh dari kebun buah miliknya ini dengan kaki-kaki kecilnya yang kokoh menantangku itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun