Mohon tunggu...
Mila
Mila Mohon Tunggu... Lainnya - 🙊🙉🙈

Keterusan baca, lupa menulis...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepucuk Surat Sobat

11 Agustus 2021   13:27 Diperbarui: 11 Agustus 2021   13:48 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Pandang aku, anak muda!" katanya perlahan dan tak ragu setelah Oma Duge berdiri diam beberapa saat di depanku. Suaranya yang berat saja sudah membuatku makin menaikkan bahu dan menyembunyikan wajahku. Oma Duge menungguku, aku tahu itu. Aku bisa merasakan tatapannya kepadaku. Aku mendongak perlahan-lahan, Sobat. Melewati kedua sepatu merahnya, kulit kakinya yang berbercak gelap dan kering berkeriput, karet celana cokelat tua tepat di bawah lututnya, sedikit ujung kaos merahnya dan sesuatu yang seperti ular bergelung di tangannya. Itu adalah sebuah cambuk. 

"Ayo anak muda. Berdirilah!" perintah Oma Duge yang memecah pandangku dari cambuknya yang bergelung-gelung itu. Aku mendapati Oma Duge tersenyum. Tak terlihat jelas, tentu saja. Tapi matanya itu. Kedua mata Oma Duge seperti menertawaiku. Ya, aku tahu, Sobat. Aku memang pantas ditertawakan. Ternyata aku tidak sungguh-sungguh cerdik atau gesit. Aku memang mudah ditipu. Tapi jangan khawatir, Sobat. Aku sudah dapatkan pelajarannya hari ini. Sialan benar Ronald dan kawan-kawannya itu! 

Oma Duge berjalan menuju teras rumahnya. Beliau tidak membantuku berdiri, tapi juga tidak membuka pagar rumahnya untuk mengusirku. Terpaksa aku mengikutinya. Aku butuh duduk dan mengobati luka-lukaku, juga rasa terkejutku ini. Yah, siapa tahu, Oma Duge berbaik hati pula memberiku minum atau seiris buah mangga segar yang ada di atas meja bundarnya. Tenggorokanku kering sekali, Sobat. 

Oma Duge masuk ke dalam rumah mungil itu. Meninggalkanku sendirian di terasnya bersama segelas air putih dingin yang mengembun di gelasnya yang bening dan menetes-netes. Jangan lupa pula semangkuk penuh irisan buah mangga yang ranum itu. Ah, aku bisa merasakan manis sarinya dengan menatapnya saja. Aku menelan air ludahku dengan susah payah, kemudian membasahi bibirku berulang-ulang. Mungkin aku memang tidak cerdik, tapi aku juga tidak terlalu bodoh untuk berani mengambil milik orang lain tanpa ijin lagi di hari yang sama. Jadi aku alihkan saja pandangku ke cambuk tebal yang tergantung di sandaran punggung kursi satu-satunya di sana. Ada beberapa kali gelungan yang terlihat. Cambuk itu pasti panjang. Di penghujungnya ada lembaran sempit yang panjang meruncing. Terlihat kuat tapi juga cantik. Terlihat keras tapi juga lembut. Apakah kau bingung, Sobat? Percayalah, aku juga merasa demikian. Tapi memang begitulah yang ada di pikiranku saat menatap cambuk itu. 

"Oleskan ini di luka-lukamu! Yang berdarah dan yang hanya pedih," tiba-tiba Oma Duge sudah berdiri di depanku dan menyerahkan sebotol pasta kekuningan. Aku tidak lagi yakin dengan apapun. Tapi melihat Oma Duge diam dan tegas tanpa mengharapkan apapun dariku, rasanya tepat mempercayai pilihan obatnya. Kutimang obat itu di tanganku, Sobat. Sambil menimbang pula dimana aku akan mengobati luka-lukaku ini. Oma Duge tak menghiraukanku lagi. Beliau duduk saja di kursinya sendiri. Tak ada kursi lain untukku duduk. Tapi Oma Duge juga sepertinya tak peduli. Yah, tentu saja. Siapa pula yang akan peduli dengan seorang pencuri buah macam aku ini. Dengan hati-hati sekali aku putuskan untuk duduk di lantai teras di dekat kakinya. 

Sebenarnya, aku menunggu Oma Duge marah dan mengusirku. Bahkan sampai aku selesai menutup botol obat itu dan mengembalikannya kepada Oma Duge sambil bergumam terima kasih, beliau hanya mengangguk dan menikmati air dan buah segar miliknya. Lama aku dibiarkannya sendiri. Tanpa air minum atau buahnya yang begitu aku harapkan itu. Aku hanya meniupi luka-lukaku yang pedihnya mulai hilang. 

Setelah beberapa lama yang canggung, akhirnya aku putuskan untuk pergi saja. Jadi aku bawa saja rasa bersalahku karena aku masih tak berani mulai mengatakan apapun. Tadinya aku pikir aku harus memanjat lagi pagar bambu tinggi itu, tapi ketika aku berdiri, Oma Duge justru berkata, "Cambuk ini dari kulit kangguru. Yang terkuat. Ini yang aku gunakan padamu." Sungguh aku tak mengerti maksud kata-kata Oma Duge, Sobat. Jadi sepertinya aku cuma melongo saja. Kemudian Oma Duge menambahkan sambil mengelus cambuknya yang sudah kembali bergelung di tangannya, "Pedih di betis dan punggung tanganmu. Juga buah mangga yang jatuh dari tanganmu. Semua itu aku lakukan dengan cambuk ini." Aku melotot tak percaya. Sedetik kemudian Oma Duge berdiri, mengayunkan lengan kanannya melewati atas kepalanya, dan 'cetar!' Sebuah mangga yang masih muda terjatuh dari dahannya. Terbelah di sisinya yang menghadapku dengan dagingnya yang putih menganga lebar. Aku termangu. Tak dapat ku berbicara, Sobat! Oma Duge hebat sekali! Kali ini akulah yang tersenyum selebar Ronald. Aku yakin rentetan gigiku terpampang jelas. Belum pernah aku melihat siapapun menggunakan cambuk sepanjang itu dengan keahlian untuk menempatkan ujungnya mengenai sasaran apapun. Apalagi seorang Oma yang sudah tua. Hebat, Sobat! Kau harus melihatnya sendiri. 

"Datanglah esok pagi-pagi sekali ketika matahari baru menyala," katanya sambil menggulung kembali cambuknya. "Akan kuajarkan kau cara menggunakannya." Oma Duge pasti melihat ketertarikanku akan cambuknya. Aku yakin itu, Sobat! Dan aku senang sekali dengan tawarannya. Belum ada seorang pun yang bisa menggunakan cambuk di desa. Aku akan menjadi yang pertama, Sobat! Pasti, aku akan datang lagi keesokan paginya. 

Saat itu, aku masih juga termangu dan tersenyum lebar. Menatap cambuk Oma Duge dan berharap bisa menyentuhnya. Tapi kemudian Oma Duge sudah mulai berjalan lagi. Layaknya Napoleon Bonaparte, Oma Duge melewatiku tanpa berkata sepatah kata pun dan membuka pagar bambu rumahnya. Ketika aku hanya diam tak bergerak di bawah tatapan Oma Duge, barulah Oma Duge berkata, "Pergilah layaknya manusia bermartabat!" Segera aku mengangguk dan berjalan dengan mantap. Meski masih terasa perih di luka-lukaku, Oma Duge membuatku mampu berjalan dengan tegak keluar rumahnya. Aku tahu aku tak perlu menyelinap seperti seorang pencuri. 

Begitulah, Sobat! Sejak hari itu aku datang setiap fajar ke rumah Oma Duge. Dan selama itu, tak pernah sedikit pun Oma Duge menyinggung hari itu ketika aku mencuri buah-buahnya. Bahkan, dua minggu kemudian, Oma Duge memberiku pekerjaan di sore hari setelah aku selesai dengan pekerjaan sekolahku. Sekarang, aku ini perawat kebun buah, Sobat! Oma Duge memberiku kunci untuk pagar rumahnya. Oh, tentu saja, Sobat! Aku pasti akan menjaganya baik-baik. 

Aku juga sudah tak pernah lagi bertemu dengan Ronald dan kawan-kawannya sejak satu hari itu. Namun, di hari ketika mereka melihatku hendak berjalan keluar dari pagar bambu rumah Oma Duge, mereka memaksaku untuk membiarkan mereka masuk. Jelas, aku melarang mereka semua, Sobat! Kemudian mereka mulai bersikap kasar. Mendorong dan mencengkeram bajuku. Menyikut dan menendangku. Juga mengejekku untuk menciutkan nyaliku. Mereka hampir berhasil, Sobat! Aku bilang, hampir. Aku ini masih juga kerempeng dan kecil. Dihimpit Ronald saja mungkin aku sudah gepeng. Apalagi bersama banyak kawan-kawannya yang sebesar pohon beringin. Tapi aku tak gentar, Sobat! Aku tetap berdiri teguh menghalangi mereka masuk kebun Oma Duge tanpa ijin. Aku tak akan mengecewakan Oma Duge. Aku ingat yang pernah Oma Duge katakan padaku di suatu pagi, "Bukan kerasnya gonggongan anjing yang harus kau takuti, Belu! Tapi besarnya nyali di dalamnya." Jadi Sobat, meski mereka mulai berteriak membentakku, aku tahu aku memiliki nyali yang lebih besar dari ukuran tubuh mereka. Kau pasti bangga padaku, Sobat! 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun