Mohon tunggu...
Politik

RUU Pertembakauan: Sebuah Langkah Mundur

25 Maret 2017   15:07 Diperbarui: 26 Maret 2017   03:00 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepekan atau dua pekan terakhir ini, sikap pemerintah terhadap RUU Pertembakauan menjadi berita-berita utama di berbagai media mainstream. Sikap pemerintah sendiri menimbulkan kebingungan di masyarakat. Rabu, 15 Maret 2017, pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, dan Sekretaris Kabinet, Pramono Anung, menyatakan menolak RUU Pertembakauan dengan tidak menerbitkan surpres untuk membahas RUU ini bersama DPR. Namun, Rabu, 22 Maret 2017, presiden menerbitkan surpres yang diartikan pemerintah akan membahas RUU ini bersama DPR (Kabar terakhir menyebutkan bahwa isi surpres adalah penolakan dari pemerintah karena DPR tidak mau menarik RUU). Padahal RUU Pertembakauan ini jelas bertentangan dengan salah satu Nawacita Jokowi yakni Nawacita nomor 7 yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Penulis menganggap ‘jebolnya’ RUU Pertembakauan ini adalah sebuah langkah mundur dalam peningkatan kualitas hidup manusia Indonesia.

---

Rancangan Undang-undang (RUU) Pertembakauan pertama kali terdengar pada tahun 2012 dan kemudian langsung masuk pada Program Legislasi Nasional 2013. Dalam RUU ini dinyatakan bahwa RUU ini akan berfokus pada tiga aspek dan berusaha mengakomodasi tiga aspek tersebut secara berimbang yaitu aspek industri, petani, dan kesehatan. Namun secara rasional, ketiga hal tersebut tidak dapat berjalan berdampingan. Jika RUU Pertembakauan ingin mengakomodasi kepentingan industri dan petani dengan meningkatkan produksi tembakau dan olahan tembakau, otomatis kesehatan masyarakat tidak dapat dijamin oleh RUU tersebut.

Konsumsi Rokok di Indonesia

Dari tahun ke tahun prevalensi penduduk usia lebih dari 15 tahun yang mengkonsumsi tembakau terus meningkat. Pada Susenas 1995 angka pengkonsumsi tembakau laki-laki hanya 53,4 persen kemudian meningkat hingga 66 persen pada Riskesdas 2013.

Mirisnya, dalam data lain disebutkan bahwa pada laki-laki, usia pertama mereka mencoba merokok paling banyak ada pada rentang 12-13 tahun dengan 43,4% orang yang mencoba merokok pada usia tersebut. Sementara pada perempuan, masing-masing 21,5% dari mereka mencoba merokok pada usia kurang dari sama dengan tujuh tahun dan pada rentang usia 14-15 tahun.

Kemudian data yang dirilis Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa konsumsi rokok juga turut menyumbang dalam kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Konsumsi rokok menyumbang 11,18 persen kemiskinan di perkotaan sementara meyumbang 9,39 persen kemiskinan di pedesaan.

Kontraproduktif terhadap Semangat Melawan Rokok

Dunia sendiri kini mulai menyadari dampak yang ditimbulkan oleh tidak terkendalinya produksi dan konsumsi tembakau. 180 negara yang tergabung dalam WHO termasuk di anataranya negara produsen tembakau terbesar di dunia seperti China dan Brazil telah meratifikasi sebuah konvensi untuk mengendalikan tembakau yaitu FCTC (Framework Convention on Tobacco Control). Sayangnya, Indonesia belum mau meratifikasi konvensi ini dan malah menghadirkan RUU Pertembakauan. Hadirnya RUU Pertembakauan di tengah masifnya kampanye menolak rokok baik di Indonesia maupun di dunia terkesan kontraproduktif terhadap semangat melawan rokok.

Pertama, kehadiran RUU Pertembakauan itu sendiri dalam rancangan undang-undang yang akan dibahas di DPR kontraproduktif terhadap semangat melawan rokok. Pada 2011, RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan (PDPTK) ditangguhkan oleh Baleg DPR dan justru RUU Pertembakauan yang dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada tahun 2013 dan pada tahun 2015-2019. Padahal, secara substansi isi, RUU PDPTK sejalan dengan peningkatan kualitas hidup manusia dan ‘hanya’ melakukan pengendalian terhadap dampak tembakau bukan pengendalian terhadap tembakau itu sendiri. Sementara, RUU Pertembakauan secara substansi lebih menekankan pada produksi produk tembakau dan menempatkan dampak kesehatan sebagai prioritas terakhir. Sehingga, tidak heran jika pada kalangan tertentu timbul kesan bahwa RUU Pertembakauan adalah RUU titipan industri rokok.

Selain itu, kehadiran RUU Pertembakauan ini juga seolah-olah menjadikan tembakau sebagai komoditas yang istimewa di atas komoditas-komoditas perkebunan lain. Padahal sebelumnya UU No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan telah mengatur mengenai produksi dan budidaya tembakau. Kemudian, di UU tersebut disebutkan bahwa yang termasuk komoditas strategis tidak hanya tembakau namun juga kopi, kelapa sawit, tebu, karet dan kakao. Kemudian ditekankan pula pada PP No. 109 Tahun 2012 bahwa tembakau mengandung zat adiktif yang berbahaya. Keistimewaan tembakau dan bahaya tembakau ini kemudian menjadi kontradiktif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun