Kemudian pada kasus suap pengurusan sengketa pilkada yang telah membawa hakim MK, Akil Mochtar ke penjara. Marwata menyatakan bahwa KPK tak berhak menuntut pencucian uang lantaran tak ada dasar hukum.
Masih ada lagi kasus penyuapan Bupati Bogor, Rahmat Yasin, yang dilakukan oleh Kwee Cahyadi.
Yang menurut Alexander Marwata bahwa tuntutan jaksa KPK tidak sesuai dengan fakta hukum dan keterangan para saksi. Oleh sebab itu, Alexander bersama hakim anggota Aswijon, menyampaikan dissenting opinion. Karena ia menganggap bahwa uang Rp 5 miliar bukan untuk menyuap tetapi hanya mempercepat proses pemberian rekomendasi.
Masih ada beberapa kasus korupsi lagi, Hakim Alexander Marwata membuat dissenting opinion yang menguntungkan/berpihak pada koruptor.
Walaupun kemudian ia mempunyai alasan "Kenapa saya disenting opinion dalam TPPU, karena saya seorang hakim. Saya harus lihat nurani dan pikiran yang jenis perundang-undangan," ujar Alex, Senin (21/12)
Apakah dengan begitu bisa dikatakan bahwa hati nurani dan pikiran Alexander Marwata, lebih condong berpihak kepada koruptor dan tidak berpihak pada rakyat?
Apakah Alexander Marwata tidak tahu bahwa keputusannya lebih berpihak pada koruptor dan telah menyakiti rakyat banyak? Hmmm...
Bagaimana mungkin, ketika menjadi hakim tipikor saja, Marwata sudah sering membela koruptor, lalu sekarang menjadi pimpinan KPK?
Maka dari sekian banyak keputusannya, telah terbukti bahwa Alexander Marwata bukan hanya tidak layak menjadi pimpinan KPK, tapi untuk menjadi hakim tipikor pun sudah tidak pantas.
Apakah Saut lupa bahwa sampai saat ini penyadapan adalah senjata yang paling mematikan bagi para koruptor, yang dimiliki oleh KPK?