"Tidak juga, aku bermimpi itu sudah berakhir. Kita berteman. Aku memahami masalahmu, kau tidak sendirian. Bedanya mungkin kau temanku tapi aku tetap sendirian."
"Aku tidak mengerti."
"Orang gila begitu saja, Lao. Kau tidak akan tahu bedanya."
Lao hendak menikahi seorang mahasiswi, mengisyaratkan kehidupannya akan berjalan lancar. Tiba-tiba terdengar matang berbicara menceramahiku. Kupikir ada benarnya seiring waktu masing-masing orang punya masalah tersendiri.
"Katakan bagaimana kau membantu negara? Kau sendiri mengalami gangguan," dia  mengayunkan telunjuk ke kepala.
 "Problem dirimu bukan delusi dan lain-lain tapi stigma masyarakat setelah keluar dari rumah sakit." jawabku.
Lao prihatin dengan rencana kepergianku ke medan perang. Menampak kesedihan dirinya tak ingin menunjukkan emosi, "Syukurlah kita tidak terlalu akrab," ujarnya, terkekeh.
Kami berjabat tangan. Aku mengantarnya sampai ke pagar. Lao menukas, "Aku tahu kawan, pertemanan itu bisa saling mempengaruhi. Memberikan efek baik atau menularkan kebiasaan buruk. Kau mengerti?"
~
Tahun 2025 Junta militer mengumumkan perang terhadap negara tetangga. Angkatan Bersenjata berkampanye membuka pendaftaran tapi hanya segelintir warga negara yang berminat. Kemelaratanlah akhirnya yang membantu pemerintah, kemiskinan dan pengangguran. Siapa yang ingin memerangi saudara-saudara mereka di luar perbatasan? Tak seorang pun, maka keluarlah dekrit wajib militer, dan kukirim surat kepada Lao :
Mudah-mudahan kau lebih tenang sekarang. Aku tidak akan berkunjung tahun ini. Seorang pria harus menyelesaikan masalahnya, kau juga. Perang ini kawan, bukan semata uang, kukatakan padamu. Aku berusaha mengalahkan diriku.. Dunia sendiri itu indah tapi sejatinya kau harus keluar dari sana. Jika begitu segan berpura-puralah, akting menjadi seseorang yang kau inginkan dan pertaruhkan segalanya.Â