Mohon tunggu...
ichsan mikail
ichsan mikail Mohon Tunggu... Novelis - Full time blogger

Pengarang novel Transition, novel Dimension of Dreams, dan kumpulan cerpen Province Memoir. Standby di official website : mikailearn.my.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mystery of Sanhok

6 Agustus 2021   16:20 Diperbarui: 6 Agustus 2021   17:04 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku berhasil melarikan diri keluar dari jalan setapak hutan Bhan tempat kami terkepung. Di pinggiran jalur perbatasan, suaranya menghantuiku berjalan kaki. Kutinggalkan rekanku sekarat mengingatkanku pada kakek, ayah dari ayahku, yang terbaring uzur menanti ajal. Membayangkan bagaimana meringkas kisah hidupnya selama puluhan tahun. Di saat-saat terakhir, dia agak panik, lalu pergi dengan tenang.

"Aku tidak takut pada iblis, aku hanya cemas pada sisi jahat manusia."

Kunjungan ke dr. Psyko pada permulaan tahun ini akan menjadi nostalgia tersendiri. Kesempatan untuk mengetahui keahlian pria itu menanggapi kelanjutan psychosomatic. Ini merupakan pertemuan ketiga sejak suatu sore yang cerah seseorang menemaniku berjalan kaki di bawah pohon-pohon bercat menuju tempat prakteknya. Tak terhitung dedaunan kecil berguguran terserak pada aspal pinggir jalan raya, sementara aku sulit bernapas di luar rumah.

Pada sesi pertama di masa SMP, lokasi tersebut tidak dilalui angkutan umum. Kuikuti ayah melangkah tidak persis di depanku. Bila jarakku kian renggang, dia segera tahu dan menoleh, "Cepatlah sedikit!" Nafasku semakin berat saat berpapasan dengan orang lain.

Pertemuan kedua sulit dibayangkan. Anehnya, anganku terbawa ke hamparan padang rumput dan tepian danau di kampus terbesar seprovinsi. Jejakku menghindari jalanan umum dengan kesadaran maupun sebaliknya, tidak lama lagi, aku bakal putus kuliah.   

Kendaraan pribadi singgah menurunkanku. Kali ini, aku tiba pada jelang malam dan cukup hujan. Kukira takkan pernah ke sini lagi. Kesan yang terlihat, pertumbuhan ekonomi, berpunya, namun bermasalah. Banyak orang di sana karena terdapat lebih dari satu macam praktek. Aku tidak bermaksud memikirkan penyakit yang lebih baik. Kaki dan tanganku semakin dingin saja ketika mendekati ruang tunggu. Sewaktu melewati garis pintu teralis mendadak beku. Tepat di sampingku, sebatang kulkas berdiri mematung berisi aneka minuman.

Dokter ada lalu ke arah mana selanjutnya ditunjukkan penjaga apotek dari keharusan bertanya, karena aku lama tidak memeriksakan diri. Dengan lekas seolah kangen, kutuju kompartemen di bagian tengah. Saya khawatir seseorang telah uzur mengacu perjumpaan terakhir dan di luar dugaan tatkala menemui pria tua itu, ruang prakteknya tidak keren sama sekali. Beliau tidak muda lagi, namun tatapannya mantap sekali.

Sebuah kamar di mana keseluruhan berwarna putih. Meja, kursi, dan rak kosong serta ranjang besi lawas, tapi bersih. Mungkin itu warna favoritnya dan memaklumi dia tidak mengingatku, yang memaksanya membuka arsip berlembar-lembar kartu yang diikat karet gelang. Napak tilas tanpa harapan melewatkan sesi sambil menangkap judul-judul buku yang tersusun di lemari atau sedang dia baca. Saya tidak ingin mengecek apakah pendingin di atas dinding berfungsi, sebab dia mengipas koran sesekali -seperti mengunjungi peramal di sebuah pasar.

Pria bersahaja itu, siapa pun tidak akan terganggu meski dia berpikir tidak selevel dengan kliennya. Kesederhanaan agar pasien merasa nyaman dan mengutamakan isi pembicaraan. Kami bertukar pikiran sampai aku harus memeriksa penguping di luar berdasarkan pengalaman. Dokter itu hebat juga. Perangainya mirip ayahku, Wang Anto. Sayang itu tidak berhasil untukku.

Aku pulang menatap lurus tak memedulikan cara pandang sekitar. Mobil jemputanku tak terlihat. Kukantongi resep tak perlu beli karena saya sudah selesai. Kulangkahkan kaki sendirian di pedestrian. Seketika, aku merasa sangat tua. Di pusat kota, semua orang terlihat normal. Aku kadang tersesat di kotaku sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun