BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Tiga tahun terakhir ini, negara kita Indonesia menyelenggarakan runtutan pesta demokrasi dalam berbagai tingkat, mulai dari kota, kabupaten, dan provinsi pada tahun 2017 dan 2018, serta pemilu legislatif dan pemilu presiden pada tahun 2019. Pada saat yang bersamaan pula, dapat dirasakan suhu politik yang memanas, dan munculnya konflik di berbagai lapisan masyarakat.Â
Macam-macam strategi antara lain populisme, politik identitas, dan sektarianisme oleh para elite partai politik demi mencapai kemenangan dalam berbagai tingkat pemilu tersebut, dengan saluran penyampaiannya lewat media massa dan media sosial, baik dalam bentuk berita valid maupun hoax dan provokasi membuat kemanusiaan yang ada di masyarakat kita mulai luntur karena banyak yang hanya menelan narasi-narasi politik memecah belah antargolongan masyarakat secara mentah.
 Narasi-narasi yang memecah belah ini pun sering dilakukan sehingga berpotensi menimbulkan konflik dan perpecahan antar kelas maupun antargolongan. Perubahan dalam masyarakat memang terjadi secara terus-menerus, dan selalu terjadi konflik namun elemen-elemen sosial yang ada dapat mempengaruhi bagaimana perubahan yang terjadi, apakah akan mengarah ke disintegrasi atau hanya perubahan biasa saja (Dahrendorf, 1959). Tentu saja, segala sesuatu yang mengarah ke disintegrasi nasional harus dicegah.
2. Rumusan Masalah
- Bagaimana kondisi masyarakat pasca pemilu tahun 2019?
- Hal apa yang menyebabkan terjadinya kondisi tersebut di masyarakat?
- Bagaimana cara mencegah dan menanggulangi dampak negatif kondisi tersebut?
3. Tujuan Penulisan
- Untuk mengetahui kondisi masyarakat pasca pemilu tahun 2019.
- Untuk mengetahui penyebab terjadinya kondisi masyarakat tertentu pasca pemilu pada tahun 2019.
- Untuk mengetahui cara mencegah dan menanggulangi dampak negatif dari kondisi masyarakat tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kondisi Masyarakat Pasca Pemilu 2019
Dari berbagai berita dari sumber terpercaya seperti surat kabar, televisi, dan situs online yang terdaftar resmi di Dewan Pers, dapat dilihat bahwa bibit-bibit perpecahan di masyarakat akibat pemilu dan pilkada, selama lima tahun terakhir ini sudah mulai muncul. Mengutip berita dari BBC News Indonesia, tanggal 26 April 2019 dengan judul "Politik identitas: Pilpres 2019 ungkap potensi keretakan sosial di masyarakat", perpecahan di masyarakat sangat terlihat dan dirasakan oleh anggota masyarakat.Â
Dalam berita tersebut, masyarakat yang diwawancarai menceritakan pengalamannya akan akibat dari panasnya kontestasi politik dalam pilkada dan pemilu terhadap kehidupan sosial mereka. Salah satu warga yang diwawancarai adalah warga Jakarta Selatan, Nursyamsiah. Ia menuturkan bahwa ia pernah mendapatkan penghakiman secara kasar dan juga kecaman serta sebutan "kafir" dari teman dan keluarganya hanya karena berbeda pilihan capres.Â
Warga Surabaya bernama Zabidi juga menuturkan pengalamannya bahwa terjadi saling mengumpat di kalangan keluarga besarnya di Madura hanya karena perbedaan pilihan capres. Sedangkan Asro, warga asal Padang Panjang, Sumatra Barat mendapatkan hujatan dari teman-temannya, dan bahkan tokoh intelektual dan tokoh agama karena ia mengeluarkan opini di media sosial bahwa tidak perlu menjelek-jelekkan capres dan cawapres dari kubu yang berseberangan dengan yang didukung.
Berdasarkan hasil survei lembaga survei Polmark pasca Pilkada DKI Jakarta tahun 2018, diketahui terhdapay 5.7% responden yang mengatakan bahwa ada kerusakan hubungan pertemanan pasca Pilkada, meningkat dibandingkan pada survei pasca Pilpres 2014 dimana terdapat 4.3% responden yang mengatakan bahwa ada rusaknya hubungan pertemanan. Meskipun angkanya belum terlihat signifikan, namun hal ini perlu diwaspadai karena terjadi peningkatan sehingga berpotensi menyebabkan dampak yang jauh lebih besar kedepannya.
Dari pengamatan langsung yang dilakukan oleh media-media terpercaya, riset dari lembaga survei, serta pengalaman penulis dalam bermedia sosial, dapat diketahui bahwa pemilu ini telah memberikan banyak dampak negatif terhadap kondisi masyarakat. Mengkafirkan, mengumpat, dan menghakimi satu sama lain, menunjukkan bahwa dampak yang berbahaya dari pemilu ini yaitu lunturnya rasa kemanusiaan yang dimiliki oleh sebagian anggota masyarakat. Bahkan teman dan keluarga sendiri pun tidak dianggap sebagai sesama manusia hanya karena mendukung capres yang berbeda. Â Kondisi ini sangat berbahaya bagi perkembangan bangsa Indonesia kedepannya karena beresiko menyebabkan suatu disintegrasi nasional.
2. Penyebab Kondisi Masyarakat Terpecah Pasca Pemilu 2019
Nursyamsiah, warga Jakarta Selatan yang diwawancarai dalam berita BBC News Indonesia mengatakan bahwa Ia sering sekali mendengar narasi bahwa jika memilih capres A, maka akan masuk surga, sebaliknya, bila memlih capres B akan masuk neraka. Narasi ini sering dipaparkan oleh tokoh-tokoh tertentu dan menyebar secara intensif di berbagai kalangan masyarakat, padahal kebenarannya tentu tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Bahayanya, opini dan pernyataan-pernyataan tidak berdasar yang dapat digolongkan sebagai hoax atau fitnah dan cenderung bersifat provokatif ini menjadi dipercaya oleh banyak anggota masyarakat karena penyebarannya yang intensif dan juga karena banyak anggota masyarakat kita yang belum dapat berpikir rasional, sehingga mereka rentan menjadi korban kebohongan-kebohongan tersebut. Karena cenderung provokatif, maka pemirsa dan pendengar berita bohong dan pernyataan ini pun juga cenderung menjadi bersifat lebih agresif dan fanatik dalam mendukung pihaknya, dan lebih ekstrim dalam menolak pihak yang berseberangan dengannya. Bahkan, tidak jarang ada warga yang berurusan dengan hukum karena berita dan pernyataan bohong tersebut.
Joseph Goebbels, seorang yang pada saat Perang Dunia II menjabat sebagai menteri propaganda Nazi, mengatakan bahwa sebuah kebohongan yang dinyatakan secara berulang-ulang akan dipercaya sebagai suatu kebenaran. Ini merupakan pernyataan yang menggambarkan penyebab maraknya keributan dan perpecahan di masyarakat, karena penyampaian informasi bohong seputar pemilu secara terus menerus sehingga dipercaya dan menyebabkan fanatisme dan ekstremisme yang memecah belah antar anggota masyarakat.
Tidak hanya pihak-pihak tidak jelas yang mendorong kebohongan dan isu negatif di masyarakat. Kampanye paslon dan partai sebelum pemilu 2019, dan juga di tahun-tahun sebelumnya juga memberikan pendidikan politik yang kurang benar terhadap masyarakat umum, terutama bagi yang belum kritis dalam berpikir.Â
Elite partai politik seringkali mengeluarkan pernyataan yang tidak etis dan cenderung provokatif. Seperti contoh ajakan untuk melakukan aksi "people power" yang cenderung mengarah ke kegiatan makar, polarisasi antara "partai Allah" dan "partai setan", penggunaan istilah cebong dan kampret, aksi kebohongan tentang pengeroyokan aktivis Ratna Sarumpaet, serta isu-isu negatif lain terutama yang menyinggung SARA yang dikeluarkan oleh elite parpol dan juga calon presiden dan wakil presiden itu sendiri tentu menyebabkan masyarakat awam yang mendukung menjadi mudah terprovokasi. Semua hal ini tentu melunturkan rasa kemanusiaan karena merendahkan pihak yang berseberangan.
Dapat disimpulkan bahwa penyebab polarisasi di masyarakat yang terjadi akibat proses persaingan tidak sehat antar pihak yang bertanding dalam pemilu, yang cenderung menggunakan cara black campaign dan negative campaign, strategi politik identitas dan paham sektarian sehingga menimbulkan kebencian antarwarga masyarakat yang berbeda pilihan.
3. Mencegah dan Menanggulangi Dampak Polarisasi Pasca Pemilu
Kecenderungan adanya politik identitas di masyarakat ini dipelihara oleh beberapa elite politik dan tokoh masyarakat tertentu dengan tujuan membentuk basis pemilih yang militan, sehingga cukup langgeng bersirkulasi di masyarakat. Untungnya, saat ini belum terlambat untuk mengurangi atau menghapus kecenderungan tersebut, namun dibutuhkan sekali usaha bersama dari masyarakat, tokoh agama, politik, dan pemerintah untuk menyatukan kembali masyarakat yang telah terpecah akibat pemilu.
Menurut sosiolog dari Universitas Brawijaya, I Wayan Suyadnya, elite politik perlu berpolitik dan bersaing secara sehat dan dewasa untuk mencontohkan kepada pendukung agar tidak bersifat ekstrim, fanatik, dan membenci pihak yang berseberangan. Elite politik dan tokoh masyarakat perlu memberikan pendidikan demokrasi yang baik dan benar kepada masyarakat umum, sebagai calon wakil rakyat, calon pemimpin dan penyelenggara negara. Jika orang-orang yang didukung mampu memberikan teladan baik dalam bersaing kepada masyarakat umum, masyarakat akan dapat mencontoh dan mengikuti hal-hal baik sehingga meminimalisir terjadinya konflik dan keretakan sosial di masyarakat.
Perlu juga dilakukan tindakan baik oleh pemerintah melalui aparat penegak hukum, klarifikasi dari elite politik dan tokoh masyarakat lain, maupun insiatif mandiri dari anggota masyarakat secara pribadi, ataupun melalui organisasi masyarakat tertentu untuk membendung sirkulasi berita hoax dan pernyataan provokatif di masyarakat. Pemerintah dapat mengeluarkan aturan yang lebih tegas bagi penyebar berita hoax dan provokasi sehingga dapat melindungi masyarakat dari kelakuan pihak-pihak tidak bertanggungjawab tersebut, dan memberikan efek jera bagi pihak-pihak yang melakukan.Â
Pemerintah, elite partai politik dan tokoh masyarakat juga dapat memberikan pernyataan klarifikasi dan pernyataan lain untuk mendinginkan suasana agar meredakan isu negatif dan provokatif yang ada di masyarakat, serta rekonsiliasi nasional pasca pemilu. Seperti contoh, pernyataan Ibu Negara, Iriana pada saat acara perayaan Hari Kartini dan Sewindu Himpunan Ratna Busana (HRB) di House of Danar Hadi, Solo, Jawa Tengah, Minggu 21 April 2019 bahwa seusai pemilu tidak usah ada lagi perbedaan 01 dan 02, yang ada 01 ditambah 02 sama dengan 03, yaitu sila ketiga persatuan Indonesia.Â
Untuk masyarakat, secara pribadi dapat membantu meningkatkan awareness atau kewaspadaan terhadap berita hoax dan hal sejenisnya lewat kampanye di media sosial dan di tempat umum, atau menyampaikan pendapat melalui forum-forum masyarakat di tempat diskusi umum maupun media sosial, serta juga dengan membentuk organisasi-organisasi yang aktif dalam mendinginkan suasana politik yang panas dengan berkampanye secara positif yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan.
Yang terakhir, dalam mencegah dan menanggulangi dampak negatif ini yaitu dalam pendidikan masyarakat agar mampu berpikir kritis dan rasional dalam menyikapi berita dan pernyataan serta tindakan provokatif yang ada sehingga tidak mudah membenci pihak lain serta mampu mendukung rekonsiliasi nasional untuk menyatukan kembali masyarakat setelah pemilu.
Tidaklah terlambat bagi masyarakat Indonesia sekarang untuk berdamai, bersatu kembali setelah pemilu untuk bersama-sama memajukan bangsa.
BAB III
PENUTUP
1. Refleksi
Pemilu merupakan proses lima tahunan, pesta demokrasi yang dirasakan oleh semua warga negara Indonesia. Konflik dan perpecahan tentu tidak akan bisa dihindari sepenuhnya karena masyarakat  Indonesia yang beragam tidak hanya secara fisik, namun juga dalam pendapat dan pikiran. Dalam kontestasi politik tentu juga ada pihak yang menang dan kalah, dan memang menerima kekalahan setelah usaha keras yang dilakukan bukan suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Sebagai warga negara yang baik, kita wajib mendukung proses pemilu ini agar berjalan lancar. Bukan berati karena ada perpecahan maka kita harus merombak secara penuh demokrasi kita dan menganggap negara berjalan ke arah yang salah. Semuanya tentu butuh proses.
Yang dapat kita lakukan adalah mengedepankan berpikir kritis, rasional, dan juga menghargai perbedaan yang ada. Rasa kemanusiaan yang ada dalam diri setiap manusia perlu dibangkitkan kembali dalam masyarakat, agar dapat memandang setiap orang, kawan maupun lawan, sebagai pribadi bermartabat tanpa memandang perbedaan-perbedaan yang ada.
2. Kesimpulan
Dalam kontestasi politik lima tahunan ini, selalu terjadi konflik dan perpecahan. Itu merupakan hal yang wajar, namun kita juga perlu berhati-hati agar tidak sampai menyebabkan disintegrasi nasional dan rusaknya persatuan dan kesatuan bangsa. Kondisi masyarakat yang terpolarisasi dan hilangnya rasa kemanusiaan yang ada.Â
Hal ini tidak lepas dari proses kampanye dalam perjalanan menuju pemilu 2019, yang diwarnai strategi-strategi tertentu oleh kedua belah pihak untuk mencapai kemenangan yang diinginkan. Strategi dan tindakan yang dipakai sering kali bukan strategi bersaing secara sehat namun terkesan menghalalkan segala cara sehingga berimbas ke masyarakat menjadi membenci pihak yang berlawanan. Dengan usaha bersama dari seluruh elemen masyarakat melalui upaya-upaya rekonsiliasi, dan dengan menanggulangi berita bohong dan provokatif yang beredar, saat ini masih belum terlambat bagi kita semua untuk kembali bersatu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H