Mohon tunggu...
Mikael Wijaya
Mikael Wijaya Mohon Tunggu... Penulis - Pelajar

Siswa SMA Kolese Loyola

Selanjutnya

Tutup

Politik

Indonesia Pasca Pemilu 2019

12 Mei 2019   18:13 Diperbarui: 12 Mei 2019   18:38 9886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari berbagai berita dari sumber terpercaya seperti surat kabar, televisi, dan situs online yang terdaftar resmi di Dewan Pers, dapat dilihat bahwa bibit-bibit perpecahan di masyarakat akibat pemilu dan pilkada, selama lima tahun terakhir ini sudah mulai muncul. Mengutip berita dari BBC News Indonesia, tanggal 26 April 2019 dengan judul "Politik identitas: Pilpres 2019 ungkap potensi keretakan sosial di masyarakat", perpecahan di masyarakat sangat terlihat dan dirasakan oleh anggota masyarakat. 

Dalam berita tersebut, masyarakat yang diwawancarai menceritakan pengalamannya akan akibat dari panasnya kontestasi politik dalam pilkada dan pemilu terhadap kehidupan sosial mereka. Salah satu warga yang diwawancarai adalah warga Jakarta Selatan, Nursyamsiah. Ia menuturkan bahwa ia pernah mendapatkan penghakiman secara kasar dan juga kecaman serta sebutan "kafir" dari teman dan keluarganya hanya karena berbeda pilihan capres. 

Warga Surabaya bernama Zabidi juga menuturkan pengalamannya bahwa terjadi saling mengumpat di kalangan keluarga besarnya di Madura hanya karena perbedaan pilihan capres. Sedangkan Asro, warga asal Padang Panjang, Sumatra Barat mendapatkan hujatan dari teman-temannya, dan bahkan tokoh intelektual dan tokoh agama karena ia mengeluarkan opini di media sosial bahwa tidak perlu menjelek-jelekkan capres dan cawapres dari kubu yang berseberangan dengan yang didukung.

Berdasarkan hasil survei lembaga survei Polmark pasca Pilkada DKI Jakarta tahun 2018, diketahui terhdapay 5.7% responden yang mengatakan bahwa ada kerusakan hubungan pertemanan pasca Pilkada, meningkat dibandingkan pada survei pasca Pilpres 2014 dimana terdapat 4.3% responden yang mengatakan bahwa ada rusaknya hubungan pertemanan. Meskipun angkanya belum terlihat signifikan, namun hal ini perlu diwaspadai karena terjadi peningkatan sehingga berpotensi menyebabkan dampak yang jauh lebih besar kedepannya.

Dari pengamatan langsung yang dilakukan oleh media-media terpercaya, riset dari lembaga survei, serta pengalaman penulis dalam bermedia sosial, dapat diketahui bahwa pemilu ini telah memberikan banyak dampak negatif terhadap kondisi masyarakat. Mengkafirkan, mengumpat, dan menghakimi satu sama lain, menunjukkan bahwa dampak yang berbahaya dari pemilu ini yaitu lunturnya rasa kemanusiaan yang dimiliki oleh sebagian anggota masyarakat. Bahkan teman dan keluarga sendiri pun tidak dianggap sebagai sesama manusia hanya karena mendukung capres yang berbeda.  Kondisi ini sangat berbahaya bagi perkembangan bangsa Indonesia kedepannya karena beresiko menyebabkan suatu disintegrasi nasional.

2. Penyebab Kondisi Masyarakat Terpecah Pasca Pemilu 2019

Nursyamsiah, warga Jakarta Selatan yang diwawancarai dalam berita BBC News Indonesia mengatakan bahwa Ia sering sekali mendengar narasi bahwa jika memilih capres A, maka akan masuk surga, sebaliknya, bila memlih capres B akan masuk neraka. Narasi ini sering dipaparkan oleh tokoh-tokoh tertentu dan menyebar secara intensif di berbagai kalangan masyarakat, padahal kebenarannya tentu tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Bahayanya, opini dan pernyataan-pernyataan tidak berdasar yang dapat digolongkan sebagai hoax atau fitnah dan cenderung bersifat provokatif ini menjadi dipercaya oleh banyak anggota masyarakat karena penyebarannya yang intensif dan juga karena banyak anggota masyarakat kita yang belum dapat berpikir rasional, sehingga mereka rentan menjadi korban kebohongan-kebohongan tersebut. Karena cenderung provokatif, maka pemirsa dan pendengar berita bohong dan pernyataan ini pun juga cenderung menjadi bersifat lebih agresif dan fanatik dalam mendukung pihaknya, dan lebih ekstrim dalam menolak pihak yang berseberangan dengannya. Bahkan, tidak jarang ada warga yang berurusan dengan hukum karena berita dan pernyataan bohong tersebut.

Joseph Goebbels, seorang yang pada saat Perang Dunia II menjabat sebagai menteri propaganda Nazi, mengatakan bahwa sebuah kebohongan yang dinyatakan secara berulang-ulang akan dipercaya sebagai suatu kebenaran. Ini merupakan pernyataan yang menggambarkan penyebab maraknya keributan dan perpecahan di masyarakat, karena penyampaian informasi bohong seputar pemilu secara terus menerus sehingga dipercaya dan menyebabkan fanatisme dan ekstremisme yang memecah belah antar anggota masyarakat.

Tidak hanya pihak-pihak tidak jelas yang mendorong kebohongan dan isu negatif di masyarakat. Kampanye paslon dan partai sebelum pemilu 2019, dan juga di tahun-tahun sebelumnya juga memberikan pendidikan politik yang kurang benar terhadap masyarakat umum, terutama bagi yang belum kritis dalam berpikir. 

Elite partai politik seringkali mengeluarkan pernyataan yang tidak etis dan cenderung provokatif. Seperti contoh ajakan untuk melakukan aksi "people power" yang cenderung mengarah ke kegiatan makar, polarisasi antara "partai Allah" dan "partai setan", penggunaan istilah cebong dan kampret, aksi kebohongan tentang pengeroyokan aktivis Ratna Sarumpaet, serta isu-isu negatif lain terutama yang menyinggung SARA yang dikeluarkan oleh elite parpol dan juga calon presiden dan wakil presiden itu sendiri tentu menyebabkan masyarakat awam yang mendukung menjadi mudah terprovokasi. Semua hal ini tentu melunturkan rasa kemanusiaan karena merendahkan pihak yang berseberangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun