Mohon tunggu...
Masni Rahmawatti
Masni Rahmawatti Mohon Tunggu... Lainnya - Journalist

Menulis Membuka Pikiran -- Publikasi: Buku Indonesia dalam Pusaran Pandemi Covid-19

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Review Jurnal "Fifty Shades of Grey": Representasi dan Merchandising

9 Juni 2021   12:00 Diperbarui: 9 Juni 2021   12:04 1424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya Pembuat media telah menciptakan pasar dimana kita menjadi sangat tersaturasi dengan brands dan karakter yang kemudian kita senangi brands dan karakter tersebut. Dan ini menjadikannya konsumsi yang terus berputar tidak ada habisnya. Keseluruhan kerjaan merchandise yang saling mendapat keuntungan komersil dari kesuksesan buku dan film Fifty Shades of Grey.

Kritik penulis terhadap merchandise yang diperjual belikan adalah bahwa konsep dari merchandise itu memberatkan pada ide bahwa wanita harus berhasrat atau bernafsu atau memiliki sexual appetite untuk dilihat atau diakui oleh pria. Sehingga pada produk brand koleksi Make Up forever menghadirkan nama seperti "Give in to me" dan "Desire Me". Bahkan produk film Fifty Shades pun ada yang berupa detergent pewangi yang dipenuhi dengan pesan "sensual oils"  yang dapat membawa "a touch of naugthiness to the bedroom" seperti yang ditulis oleh Drohan (2015, dalam Reed)

Secara ideologi ini berbahaya karena mengarahkan pemikiran bahwa wanita yang atraktif untuk pria adalah hasil kreasi material dengan membeli produk tertentu. Merchandise ini hadir secara gamblang dengan paradigma kapitalis heteroseksis di mana mengasumsikan bahwa tubuh seorang wanita ada untuk menarik perhatian pria, bahwa wanita dijadikan untuk menyenangkan pria secara seksual, dan  bahwa wanita butuh membeli produk-produk tertentu untuk menarik perhatian pria.  

Konsep ini berbeda dengan tema yang ada di dalam buku yang menitikberatkan pada "inner beauty". Yang seharusnya bila mengikuti ini tidaklah dibutuhkan detergen pewangi minyak jasmine dan mawar untuk menjadi atraktif. Bagaimanapun juga, elemen inner beauty ini hilang baik di film maupun pada merchandise yang dijual. Yang tersisa di pemikiran audiens tentang tubuh atraktif adalah bahwa mereka harus membeli produk yang tepat.

Dengan mengakomodifikasi audiens wanita, produser yang mendistribusikan buku dan pembuatan film juga menciptakan konsumen niche yang ternyata mau-mau saja mencari dan membeli brand merchandise untuk memenuhi rasa penasaran. Mereka mau membayar uang dengan jumlah yang lumayan besar untuk mendapatkan hal itu. Hal ini dibuktikan dengan banyak perusahaan sex toy yang melaporkan keuntungannya naik menjadi 3 kali lipat karena kesuksesan film Fifty Shades (Ford,2015 dalam Reed).

Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa film Fifty Shades tidak merefleksikan keadaan realitas sebenarnya dari praktek BDSM sebagai alternative sexuality di dalam komunitas BDSM maupun produk merchandise yang diperjualkan. Bahkan ada praktisi BDSM yang menyatakan bahwa ada peningkatan kasus cedera pada pasangan yang tidak berpengalaman. ini memberikan bukti bahwa konsumen membeli produk dan mencari bahan informasi alternatif seksuality pada film Fifty Shades. Namun, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, teks dari Fifty Shades sendiri tidaklah merepresentasikan hubungan BDSM yang sebenarnya. Hal ini dapat mengarahkan audiens kepada miskonsepsi mengenai alternative sexuality yaitu dasar dari membangun hubungan seksual yang tidak sehat. Buku dan film fifty shades benar-benar dibuat untuk menampilkan dan menjual jalan kehidupan yang glamor.

Oleh karenanya, para konsumen fifty shades tidak hanya membelanjakan uangnya pada sex toys dan detergen mencuci, tapi lebih jauh ialah mereka membeli gaya hidup Anastasia.

Kesimpulannya, Hollywood selalu menjual cinta dan seksualitas. Apa yang membuat Fifty Shades unik adalah penggambarannya pada alternatif seksual sebagai pilihan gaya hidup mewah. Pada akhirnya, bagaimanapun juga, produk dijual melebihi harga pada umumnya saat itu dan terhadap produk yang mereka sendiri melihat secara edukasi belum terpenuhi secara cukup. Ini berbahaya dan bohong. Yang akhirnya sex toys dan merchandise lain yang dijual hanya untuk terus memenuhi kepentingan publisitas dan memperkaya atau menambah pemasukan dari para stakeholder dan perusahaan pendukungnya. 

Pada akhirnya, setelah penulis menganalisis pesan ideologi yang tersembunyi pada merchandise teks Fifty Shades, representasinya terhadap praktik dan dinamika BDSM, serta analisis pada produksi perusahaan akan franchise secara keseluruhan menyoroti kebutuhan akan edukasi seks di antara publik umum juga terhadap literasi media. Ketika ini tidak disediakan kepada audiens, secara khusus pada konteks ini, maka hasilnya bisa menjadi negatif. Abuse dan physical harm bisa saja terjadi. Pembuat media harusnya membuat publisitas yang akuntabel terhadap pesan yang mereka bawa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun