Mohon tunggu...
Masni Rahmawatti
Masni Rahmawatti Mohon Tunggu... Lainnya - Journalist

Menulis Membuka Pikiran -- Publikasi: Buku Indonesia dalam Pusaran Pandemi Covid-19

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Review Jurnal "Fifty Shades of Grey": Representasi dan Merchandising

9 Juni 2021   12:00 Diperbarui: 9 Juni 2021   12:04 1424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ekonomi politik kritis mengatakan bahwa "menggambarkan tradisi analisis yang berkaitan dengan bagaimana tatanan komunikasi terkait dengan tujuan keadilan sosial dan emansipasi (hardy, 2014)." Dengan menggunakan pendekatan ekonomi politik ini kita bisa mengkaji dan mempertanyakan hal - hal yang berhubungan dengan media film ini, uang (penghasilan), dan kekuasaan yang mempengaruhi produksi, konsumsi, dan distribusi film. Film ini juga berdampak terhadap penonton (konsumen) mengenai kesehatan dan kesejahteraan seksual mereka.

Ekonomi politik feminis menentang dan mengkritik sistem patriarki dan penindasan terhadap perempuan dengan menggunakan pendekatan ekonomi politik media dengan alat dan metodologis kritis. Dalam film Fifty Shade of Grey terlihat jelas bahwa wanita terlalu tunduk atas perintah dan laki - laki selalu mendominasi.

Hal ini juga berkaitan dengan menganalisis sistem media yang berfungsi untuk reproduksi kapitalisme. Reproduksi bisa dianggap sebagai sistem yang berfungsi untuk melegitimasi gaya hidup dan pilihan konsumen bagi masyarakat dan dapat dijelaskan juga bahwa citra media berkaitan dengan gender yang bekerja untuk menundukkan perempuan. Sering kita lihat bahwa hasil dari produksi media terlihat menundukkan perempuan dan laki - laki yang mendominasi. Riordan mengatkaan "Ekonomi politik feminis juga melihat ke tingkat meso dan mikro kapitalisme saat mereka membentuk interaksi sehari - hari perempuan.

Konten yang dihasilkan oleh media berdampak terhadap kehidupan kita mengenai feminisme dan konten ini bisa dianalisis untuk mengkritik dampak tersebut baik secara pragmatis namun fundamental.

Seorang peneliti bernama Meenhan dalam esainya yang berjudul "Gendering the audience commodities", mengatakan bahwa audiens merupakan produk media yang sebenarnya, dimana pasar konsumen itu direkayasa dan dipecah menjadi demografi yang kemudian dinilai dan dievaluasi menurut jenis kelamin, ras, dan status sosial ekonomi (Meenhan, 2002:216). Semua kepentingan produksi yang akan dibuat akan dianalisis dengan hal-hal tertentu yang nantinya berguna untuk mendukung tujuan ideologis produsen konten tersebut.

            Sebuah kajian etnografi dari Radway terhadap para perempuan pembaca novel romantis, menyoroti bahwa perempuan menggunakan teks-teks romantis sebagai pelarian dari realitas kehidupan sehari-harinya (1984: 117-118). Sehingga tindakan membaca fiksi romantis bisa menjadi tindakan subversif karena memungkinkan wanita saat kesenangan emosional dengan cara mereka sendiri, dan jauh dari masalah tradisionalnya. Sementara itu di sisi lain narasi yang ada digunakan untuk mempertahankan struktur patriarki, namun pembaca menggunakan teks sebagai bentuk pemenuhan keinginan atau permainan imajinatif untuk menumbangkan teks. Dengan kata lain dalam permainan teks ini, para pembaca seolah akan terjatuh ke dalam narasi-narasi patriarki yang diproduksi oleh pembuat teks tanpa mereka sadari.

Jika dihubungkan dengan film Fifty Shades of Grey, lebih lanjut terlihat bahwa terlepas dari adegan-adegan romantis yang dipresentasikan dalam genre fiksi romantis, ia mengintegrasikan BDSM sebagai bagian penting dari narasi. Akan tetapi narasi yang dibawa dalam film ini seolah merepresentasikan bahwa BDSM adalah gaya hidup konsumtif yang mewah. Hal ini dikarenakan tujuan ideologis dari produsen itu sendiri dimana mereka mereka menyoroti hubungan BDSM dengan penjualan produk, bukan pada kebebasan yang dinegosiasikan antara orang dan hubungan.

BDSM merupakan kondisi situasi seksual alternatif yang menginginkan kebebasan antara peserta yang terlibat. Konteksnya disini adalah mereka diberikan kebebasan dan ada persetujuan antara masing-masing pihak dalam hubungan tersebut. Namun karena BDSM yang kemudian dibingkai dalam sebuah film sebagai salah satu media yang bisa menyebarkan popular culture. Maka perspektif publik tentu saja sangat dipengaruhi oleh media film ini, dimana mereka menganggap bahwa hubungan BDSM sejatinya identik dengan hubungan perbudakan (Tuan dan Budaknya).

Disisi lain, dalam film tersebut juga menceritakan bagaimana BDSM sebagai sesuatu yang tabu di masyarakat kemudian digambarkan sebagai kambing hitam untuk banyak aspek yang bermasalah dari hubungan primer. Contohnya yaitu, diceritakan bahwa Christian memiliki kecenderungan fetish seksual BDSM dikarenakan adanya masa lalu yang cukup kelam dialaminya (pemerkosaan dan pelecehan seksual). Sehingga dari penggambaran film tersebut yang mana sebagai salah satu media yang paling ampuh untuk menyebarkan popular culture, maka persepsi orang-orang yang menonton film Fifty Shades of Grey bisa saja salah. Dimana mereka menganggap bahwa BDSM sebagai orang yang menjadi korban dan memiliki masalah di masa lalunya, bukan sebagai alternatif seksual.

Dalam kaitannya terhadap merchandise, Adanya brand merchandise ini menyoroti bahwa Fifty Shades of Grey dengan perhatian penuh terlibat dalam konsumsi. Namun, BDSM bukanlah gaya hidup yang konsumtif. Banyak praktisi BDSM yang membeli perlengkapan prakteknya hanya membeli dari toko hardware atau home improvement. Sementara apa yang dilakukan Fifty Shades adalah menampilkan dan menjual produk high-end dan lebih mahal ketimbang produk sejenis di pasaran pada waktu itu. Inilah yang menurut penulis secara ideologis ialah bermasalah karena konsep BDSM yang digambarkan dalam film menampilkan gaya hidup yang mewah, bukannya menampilkan BDSM sebagai alternatif seksual yang menitik beratkan pada negosiasi bersama.

Hubungan BDSM antara Dominant dan Submissive juga digambarkan berbeda dengan realitas aktivitas BDSM sesungguhnya. Dalam hubungan BDSM individu yang memiliki persan Submissive yang malah mempunyai peranan lebih kuat dan dominan karena peran submissve mempunyai kontrol yaitu kemampuan untuk memerintahkan dominant untuk berhenti atau lanjut pada waktu tertentu. Peran dominant juga berusaha untuk menghadirkan pengalaman menyenangkan kepada submissive bukan sebaliknya. Namun, film Fifty Shades mempotret dinamika BDSM secara tidak tepat. Dengan demikian, ini membuat adanya pergeseran penekanan pada hubungan romantis yang toxic dan BDSM toys sendiri yang dibeli.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun