Mohon tunggu...
Masni Rahmawatti
Masni Rahmawatti Mohon Tunggu... Lainnya - Journalist

Menulis Membuka Pikiran -- Publikasi: Buku Indonesia dalam Pusaran Pandemi Covid-19

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Review Jurnal "Fifty Shades of Grey": Representasi dan Merchandising

9 Juni 2021   12:00 Diperbarui: 9 Juni 2021   12:04 1424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Journal dengan judul asli Fifty Shades of Grey: Representations and Merchandising ditulis oleh Abigail Reed. Ia mengambil jurusan kajian media di School of Communication di Florida State University.

Dalam jurnal nya tersebut Ia menganalisis teks Fifty Shades of Grey dari sisi ideologi, feminisme, hingga hubungan relasi kepentingan perusahaan. Yang kesemuanya dapat dilihat dalam merchandise yang diperjualbelikan. Merchandise tersebut bukan merchandise pada umumnya seperti baju saja, lebih dari itu ialah sex toys, pewangi deterjen, make up, dan lain sebagainya yang bersamaan nanti akan dibahas selanjutnya di bawah.

BDSM adalah gaya hidup / preferensi seksual, yang dipraktekkan secara pribadi atau publik, terkendali dalam waktu tertentu (sebuah 'adegan') atau dinamika yang disepakati yang berlangsung lama. Ini berputar di sekitar aktivitas seksual termasuk negosiasi dinamika kekuasaan dan administrasi rasa sakit fisik atau psikologis (Sagarin, Cutler, Cutler, Lawler-Sagarin dan Matuszewich, 2009).

Dalam komunitas BDSM terdapat mantra umum yaitu, safe, sane, and consensual. Dalam berhubungan BDSM terdapat persetujuan dan memiliki fungsi: "Persetujuan mewakili proses interaktif dan dinamis yang sedang berlangsung yang memerlukan beberapa tindakan pencegahan, termasuk negosiasi permainan, komunikasi terbuka tentang keinginan dan batasan, istilah yang saling mendefinisikan, gagasan tentang tanggung jawab dan transparansi, dan memastikan perlindungan dari bahaya melalui kompetensi dan keterampilan (Holt, 2016).

Hubungan BDSM yang sehat membutuhkan komunikasi yang konsisten, percakapan jujur tentang keinginan dan harapan, kurangnya perilaku koersif, penghormatan terhadap otonomi dan keinginan masing - masing, terdapat peraturan yang jelas yang tidak dilanggar. Namun, hubungan yang tidak sehat yaitu, mirip dengan hubungan seksual konvensional, tidak ada batasan, dan upaya koersif dilakukan dalam upaya untuk meniru tindakan orang lain.

Hubungan BDSM memiliki persetujuan yang jelas, sedangkan hubungan seksualitas konvensional yang ada di barat persetujuannya biasanya sering diasumsikan daripada diekspresikan secara jelas. Persetujuan pada BDSM sangat penting karena untuk memastikan kesehatan fisik dan emosional individu, sebab tindakan tersebut dapat berbahaya untuk tubuh maupun pikiran jika dilakukan dengan salah.

Representasi BDSM yang tidak benar oleh media, dapat menciptakan kesalahpahaman mengenai dinamika komunitas, persetujuan dan permainan seksual, dan konstruksi batasan pribadi.

Pada film Fifty Shade of Grey, tidak terlalu dijelaskan mengenai hubungan BDSM sebagai seksualitas alternatif yang harus didekati secara berbeda dari hubungan heteroseksual yang direstui dengan mengandalkan pemahaman penonton tentang hubungan seksual konvensional, ritual kencan. Namun, ini dapat menyesatkan karena representasi BDSM dan komunitas BDSM tidak lengkap dan menyesatkan.

Di sini, Fifty Shade of Grey memperlihatkan bahwa BDSM adalah pilihan gaya hidup mewah yang lebih dari sekedar alternatif seksual. Pemakaian barang mewah mengurangi permainan seksual yang berfokus pada penggunaan barang daripada hubungan antara dua orang tersebut.

Film Fifty Shade of Grey ini bergenre romantis. Berhubungan dengan genre romantis, Radway membagi study menjadi tiga bagian, yaitu produksi teks, teks itu sendiri, dan reaksi penonton terhadap teks tersebut. Banyak hal yang muncul sejak dirilisnya film ini. Mulai dari frasa "mommy porn" yang menggambarkan genre fiksi romantis untuk memuaskan penonton perempuan.

Pendekatan komunikasi ekonomi politik mengkritik struktur dan kondisi pasar dimana teks diproduksi. Interaksi yang ada dalam struktur dan kondisi di pasar saat produksi teks dipengaruhi oleh ekonomi politik. Menurut Moscow, studi tentang hubungan sosial, khususnya hubungan kekuasaan, yang secara bersama - sama membentuk produksi, konsumsi, dan distribusi sumber daya, termasuk sumber daya komunikasi. Produksi film ini juga dipengaruhi oleh kekuasaan yang ada, bisa dari rumah produksi, penggemar, dan kreator itu sendiri.

Ekonomi politik kritis mengatakan bahwa "menggambarkan tradisi analisis yang berkaitan dengan bagaimana tatanan komunikasi terkait dengan tujuan keadilan sosial dan emansipasi (hardy, 2014)." Dengan menggunakan pendekatan ekonomi politik ini kita bisa mengkaji dan mempertanyakan hal - hal yang berhubungan dengan media film ini, uang (penghasilan), dan kekuasaan yang mempengaruhi produksi, konsumsi, dan distribusi film. Film ini juga berdampak terhadap penonton (konsumen) mengenai kesehatan dan kesejahteraan seksual mereka.

Ekonomi politik feminis menentang dan mengkritik sistem patriarki dan penindasan terhadap perempuan dengan menggunakan pendekatan ekonomi politik media dengan alat dan metodologis kritis. Dalam film Fifty Shade of Grey terlihat jelas bahwa wanita terlalu tunduk atas perintah dan laki - laki selalu mendominasi.

Hal ini juga berkaitan dengan menganalisis sistem media yang berfungsi untuk reproduksi kapitalisme. Reproduksi bisa dianggap sebagai sistem yang berfungsi untuk melegitimasi gaya hidup dan pilihan konsumen bagi masyarakat dan dapat dijelaskan juga bahwa citra media berkaitan dengan gender yang bekerja untuk menundukkan perempuan. Sering kita lihat bahwa hasil dari produksi media terlihat menundukkan perempuan dan laki - laki yang mendominasi. Riordan mengatkaan "Ekonomi politik feminis juga melihat ke tingkat meso dan mikro kapitalisme saat mereka membentuk interaksi sehari - hari perempuan.

Konten yang dihasilkan oleh media berdampak terhadap kehidupan kita mengenai feminisme dan konten ini bisa dianalisis untuk mengkritik dampak tersebut baik secara pragmatis namun fundamental.

Seorang peneliti bernama Meenhan dalam esainya yang berjudul "Gendering the audience commodities", mengatakan bahwa audiens merupakan produk media yang sebenarnya, dimana pasar konsumen itu direkayasa dan dipecah menjadi demografi yang kemudian dinilai dan dievaluasi menurut jenis kelamin, ras, dan status sosial ekonomi (Meenhan, 2002:216). Semua kepentingan produksi yang akan dibuat akan dianalisis dengan hal-hal tertentu yang nantinya berguna untuk mendukung tujuan ideologis produsen konten tersebut.

            Sebuah kajian etnografi dari Radway terhadap para perempuan pembaca novel romantis, menyoroti bahwa perempuan menggunakan teks-teks romantis sebagai pelarian dari realitas kehidupan sehari-harinya (1984: 117-118). Sehingga tindakan membaca fiksi romantis bisa menjadi tindakan subversif karena memungkinkan wanita saat kesenangan emosional dengan cara mereka sendiri, dan jauh dari masalah tradisionalnya. Sementara itu di sisi lain narasi yang ada digunakan untuk mempertahankan struktur patriarki, namun pembaca menggunakan teks sebagai bentuk pemenuhan keinginan atau permainan imajinatif untuk menumbangkan teks. Dengan kata lain dalam permainan teks ini, para pembaca seolah akan terjatuh ke dalam narasi-narasi patriarki yang diproduksi oleh pembuat teks tanpa mereka sadari.

Jika dihubungkan dengan film Fifty Shades of Grey, lebih lanjut terlihat bahwa terlepas dari adegan-adegan romantis yang dipresentasikan dalam genre fiksi romantis, ia mengintegrasikan BDSM sebagai bagian penting dari narasi. Akan tetapi narasi yang dibawa dalam film ini seolah merepresentasikan bahwa BDSM adalah gaya hidup konsumtif yang mewah. Hal ini dikarenakan tujuan ideologis dari produsen itu sendiri dimana mereka mereka menyoroti hubungan BDSM dengan penjualan produk, bukan pada kebebasan yang dinegosiasikan antara orang dan hubungan.

BDSM merupakan kondisi situasi seksual alternatif yang menginginkan kebebasan antara peserta yang terlibat. Konteksnya disini adalah mereka diberikan kebebasan dan ada persetujuan antara masing-masing pihak dalam hubungan tersebut. Namun karena BDSM yang kemudian dibingkai dalam sebuah film sebagai salah satu media yang bisa menyebarkan popular culture. Maka perspektif publik tentu saja sangat dipengaruhi oleh media film ini, dimana mereka menganggap bahwa hubungan BDSM sejatinya identik dengan hubungan perbudakan (Tuan dan Budaknya).

Disisi lain, dalam film tersebut juga menceritakan bagaimana BDSM sebagai sesuatu yang tabu di masyarakat kemudian digambarkan sebagai kambing hitam untuk banyak aspek yang bermasalah dari hubungan primer. Contohnya yaitu, diceritakan bahwa Christian memiliki kecenderungan fetish seksual BDSM dikarenakan adanya masa lalu yang cukup kelam dialaminya (pemerkosaan dan pelecehan seksual). Sehingga dari penggambaran film tersebut yang mana sebagai salah satu media yang paling ampuh untuk menyebarkan popular culture, maka persepsi orang-orang yang menonton film Fifty Shades of Grey bisa saja salah. Dimana mereka menganggap bahwa BDSM sebagai orang yang menjadi korban dan memiliki masalah di masa lalunya, bukan sebagai alternatif seksual.

Dalam kaitannya terhadap merchandise, Adanya brand merchandise ini menyoroti bahwa Fifty Shades of Grey dengan perhatian penuh terlibat dalam konsumsi. Namun, BDSM bukanlah gaya hidup yang konsumtif. Banyak praktisi BDSM yang membeli perlengkapan prakteknya hanya membeli dari toko hardware atau home improvement. Sementara apa yang dilakukan Fifty Shades adalah menampilkan dan menjual produk high-end dan lebih mahal ketimbang produk sejenis di pasaran pada waktu itu. Inilah yang menurut penulis secara ideologis ialah bermasalah karena konsep BDSM yang digambarkan dalam film menampilkan gaya hidup yang mewah, bukannya menampilkan BDSM sebagai alternatif seksual yang menitik beratkan pada negosiasi bersama.

Hubungan BDSM antara Dominant dan Submissive juga digambarkan berbeda dengan realitas aktivitas BDSM sesungguhnya. Dalam hubungan BDSM individu yang memiliki persan Submissive yang malah mempunyai peranan lebih kuat dan dominan karena peran submissve mempunyai kontrol yaitu kemampuan untuk memerintahkan dominant untuk berhenti atau lanjut pada waktu tertentu. Peran dominant juga berusaha untuk menghadirkan pengalaman menyenangkan kepada submissive bukan sebaliknya. Namun, film Fifty Shades mempotret dinamika BDSM secara tidak tepat. Dengan demikian, ini membuat adanya pergeseran penekanan pada hubungan romantis yang toxic dan BDSM toys sendiri yang dibeli.

Sebenarnya Pembuat media telah menciptakan pasar dimana kita menjadi sangat tersaturasi dengan brands dan karakter yang kemudian kita senangi brands dan karakter tersebut. Dan ini menjadikannya konsumsi yang terus berputar tidak ada habisnya. Keseluruhan kerjaan merchandise yang saling mendapat keuntungan komersil dari kesuksesan buku dan film Fifty Shades of Grey.

Kritik penulis terhadap merchandise yang diperjual belikan adalah bahwa konsep dari merchandise itu memberatkan pada ide bahwa wanita harus berhasrat atau bernafsu atau memiliki sexual appetite untuk dilihat atau diakui oleh pria. Sehingga pada produk brand koleksi Make Up forever menghadirkan nama seperti "Give in to me" dan "Desire Me". Bahkan produk film Fifty Shades pun ada yang berupa detergent pewangi yang dipenuhi dengan pesan "sensual oils"  yang dapat membawa "a touch of naugthiness to the bedroom" seperti yang ditulis oleh Drohan (2015, dalam Reed)

Secara ideologi ini berbahaya karena mengarahkan pemikiran bahwa wanita yang atraktif untuk pria adalah hasil kreasi material dengan membeli produk tertentu. Merchandise ini hadir secara gamblang dengan paradigma kapitalis heteroseksis di mana mengasumsikan bahwa tubuh seorang wanita ada untuk menarik perhatian pria, bahwa wanita dijadikan untuk menyenangkan pria secara seksual, dan  bahwa wanita butuh membeli produk-produk tertentu untuk menarik perhatian pria.  

Konsep ini berbeda dengan tema yang ada di dalam buku yang menitikberatkan pada "inner beauty". Yang seharusnya bila mengikuti ini tidaklah dibutuhkan detergen pewangi minyak jasmine dan mawar untuk menjadi atraktif. Bagaimanapun juga, elemen inner beauty ini hilang baik di film maupun pada merchandise yang dijual. Yang tersisa di pemikiran audiens tentang tubuh atraktif adalah bahwa mereka harus membeli produk yang tepat.

Dengan mengakomodifikasi audiens wanita, produser yang mendistribusikan buku dan pembuatan film juga menciptakan konsumen niche yang ternyata mau-mau saja mencari dan membeli brand merchandise untuk memenuhi rasa penasaran. Mereka mau membayar uang dengan jumlah yang lumayan besar untuk mendapatkan hal itu. Hal ini dibuktikan dengan banyak perusahaan sex toy yang melaporkan keuntungannya naik menjadi 3 kali lipat karena kesuksesan film Fifty Shades (Ford,2015 dalam Reed).

Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa film Fifty Shades tidak merefleksikan keadaan realitas sebenarnya dari praktek BDSM sebagai alternative sexuality di dalam komunitas BDSM maupun produk merchandise yang diperjualkan. Bahkan ada praktisi BDSM yang menyatakan bahwa ada peningkatan kasus cedera pada pasangan yang tidak berpengalaman. ini memberikan bukti bahwa konsumen membeli produk dan mencari bahan informasi alternatif seksuality pada film Fifty Shades. Namun, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, teks dari Fifty Shades sendiri tidaklah merepresentasikan hubungan BDSM yang sebenarnya. Hal ini dapat mengarahkan audiens kepada miskonsepsi mengenai alternative sexuality yaitu dasar dari membangun hubungan seksual yang tidak sehat. Buku dan film fifty shades benar-benar dibuat untuk menampilkan dan menjual jalan kehidupan yang glamor.

Oleh karenanya, para konsumen fifty shades tidak hanya membelanjakan uangnya pada sex toys dan detergen mencuci, tapi lebih jauh ialah mereka membeli gaya hidup Anastasia.

Kesimpulannya, Hollywood selalu menjual cinta dan seksualitas. Apa yang membuat Fifty Shades unik adalah penggambarannya pada alternatif seksual sebagai pilihan gaya hidup mewah. Pada akhirnya, bagaimanapun juga, produk dijual melebihi harga pada umumnya saat itu dan terhadap produk yang mereka sendiri melihat secara edukasi belum terpenuhi secara cukup. Ini berbahaya dan bohong. Yang akhirnya sex toys dan merchandise lain yang dijual hanya untuk terus memenuhi kepentingan publisitas dan memperkaya atau menambah pemasukan dari para stakeholder dan perusahaan pendukungnya. 

Pada akhirnya, setelah penulis menganalisis pesan ideologi yang tersembunyi pada merchandise teks Fifty Shades, representasinya terhadap praktik dan dinamika BDSM, serta analisis pada produksi perusahaan akan franchise secara keseluruhan menyoroti kebutuhan akan edukasi seks di antara publik umum juga terhadap literasi media. Ketika ini tidak disediakan kepada audiens, secara khusus pada konteks ini, maka hasilnya bisa menjadi negatif. Abuse dan physical harm bisa saja terjadi. Pembuat media harusnya membuat publisitas yang akuntabel terhadap pesan yang mereka bawa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun