Dari kelimabelas aksi tersebut, terdapat 4 standar minimum yang harus diimplementasikan lebih dulu. Monitoring yang dilakukan oleh Inclusive Framework on BEPS OECD/G20 dilakukan melalui peer review dan menghasilakn rekomendasi perbaikan. Monitoring dilakukan atas Aksi 5 pada tahun 2017, Aksi 13 dan 14 di tahun 2018, dan Aksi 6 di tahun 2019.
Selanjutnya pada 2017 dihasilkan sebuah Multilateral Instrument (MLI) yang sampai saat ini telah ditandatangani oleh 90 yurisdiksi. MLI ini memungkinkan implementasi proyek BEPS yang lebih efisien tanpa perlu merenegosiasi perjanjian pajak bilateral.
Dalam perjalanannya ke-15 aksi ini belum dapat menangkal BEPS secara signifikan. Salah satu yang menjadi permasalahan utama adalah digital economy. Untuk itu Inclusive Framework on BEPS OECD/G20 menyusun suatu framework jangka panjang berbasis konsensus untuk menghadapi tantangan digital economy ini. Pada Januari 2020 diputuskan dua pilar, yaitu:
- Pillar 1, solusi untuk menentukan alokasi hak pemajakan (nexus dan profit allocation)
- Pillar 2, merancang sistem yang memastikan bahwa MNE membayar pajak minimum atas laba yang mereka peroleh.
Pillar 1Â rencana implementasinya akan ditunda hingga 2024, sedangkan Pillar 2Â akan mulai diimplementasikan pada 2023.
BEPS dari sudut pandang Wajib Pajak
Seperti yang dibahas di awal, dunia bisnis dan Wajib Pajak lain ikut dirugikan dengan adanya praktik BEPS ini. Wajib Pajak lain ikut menanggung beban pajak yang lebih besar dan menciptakan ketidakadilan kompetisi bisnis.
Dengan adanya BEPS Action Plan hingga pembahasan Pillar 1Â dan Pillar 2Â yang hingga kini menunggu finalisasi, beberapa Waji Pajak memberikan pendangan dari sudut pandang yang berbeda, seperti:
- Untuk mengeliminasi persaingan tarif pajak, harus ada platform global melalui konvensi multilateral yang memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak terutama MNE yang beroperasi di beberapa negara berbeda.
- Penentuan entitas yang masuk dalam cakupan Pillar 1 dan Pillar 2 harus diperjelas, supaya tidak ada Wajib Pajak yang memanfaatkan celah aturan.
- Transparansi pengungkapan kewajiban terkait implementasi Pillar 1 dan Pillar 2.
- Kompleksnya ketentuan atau peraturan terkait BEPS Project hingga implementasinya di Indonesia menjadi tanggung jawab otoritas pajak untuk memberikan edukasi yang cukup kepada Wajib Pajak.
- Mekanisme penyelesaian sengketa yang melibatkan beberapa negara hendaknya diseragamkan supaya memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak.
- Pillar 1 dan Pillar 2 diprediksi akan meningkatkan biaya kepatuhan Wajib Pajak.
- Otoritas pajak, dalam hal ini DJP juga dinilai perlu memperhatikan peningkatan dukungan IT dan kompetensi SDM.
What's Next?
Peer review atas implementasi standar minimal BEPS akan terus dilanjutkan termasuk evaluasi substansi pada low tax jurisdiction (aksi 5) dan monitoring Mutual Agreement Procedure (aksi 14). MLI juga akan terus didorong ratifikasinya (aksi 6) untuk mendukung implementasi BEPS Action Plan lainnya.
Data mengenai agregat Country-by-Country Reporting (terkait aksi 13) akan terus dikumpulkan secara anonim yang berguna bagi pengukuran dampak BEPS (aksi 11). Dengan semakin banyaknya data, dapat terlihat berapa kerugian sesungguhnya dari penghindaran pajak dan manfaat yang didapatkan dari Proyek BEPS ini.
Mengukur secara praktik berapa BEPS di suatu negara tertentu tidaklah mudah. Belum ada studi empiris yang dapat mengukur secara akurat berapa nilai BEPS di Indonesia. Menurut Kristiaji dan Vissaro (2017) terdapat tiga alasan hal ini sulit dilakukan, yaitu secara substantif sulit menggabungkan semua faktor yang mendorong praktik BEPS dalam model estimasi. Kemudian secara teknis, akan sangat sulit untuk menentukan sampel yang tepat dan tipe data yang tepat untuk digunakan dalam penelitian. Dan yang terakhir adalah data yang ada masih sangat terbatas di Indonesia.