Mohon tunggu...
Alfa Mightyn
Alfa Mightyn Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Mercu Buana | Dosen: Prof. Dr. Apollo, M.Si, Ak. | NIM: 55521120047

Universitas Mercu Buana | Dosen: Prof. Dr. Apollo, M.Si, Ak. | NIM: 55521120047 | Magister Akuntansi | Manajemen Perpajakan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

K10_Penagihan Pajak: Kritik atas Keadilan

10 November 2022   18:47 Diperbarui: 10 November 2022   18:59 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pajak adalah kewajiban Warga Negara. Untuk memastikan kewajiban tersebut dilaksanakan, negara berwenang untuk melakukan tindakan sesuai dengan ketentuan perundangan. Kewenangan ini tentu bukan kewenangan yang semena-mena.

Semua ini didasari bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechstaat). Teori Negara Rechstaat seperti yang tercantum dalam penjelasan UUD 1945 bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechstaat) bukan berdasarkan kekuasaan belaka (machstaat).

Karena itu, perundangan mengamanatkan kewenangan negara atas pemungutan pajak. Perpajakan Indonesia menganut sistem self assessment, dimana Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang. Dampak dari adanya self assessment ini adalah adanya tindakan pengawasan dan penegakan hukum pajak. Saat pengawasan hingga penegakan hukum dilakukan, negara dimungkinkan untuk menerbitkan surat ketetapan. Salah satu surat ketetapan adalah Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) yang menyebabkan Wajib Pajak memiliki utang pajak kepada negara.

Utang tersebut berupa pokok pajak dan sanksi. Saat kewajiban tersebut tidak dipenuhi, maka negara melaksanakan kewenangannya untuk melakukan penagihan pajak. Namun penagihan pajak akan terhenti sementara bila Wajib Pajak melakukan upaya hukum atas ketetapan tersebut. Saat nantinya ketetapan tersebut inkracht (berkekuatan hukum tetap), tindakan penagihan akan dilanjutkan.

Kembali lagi, karena Indonesia merupakan negara rechstaat, maka kewenangan penagihan pajak diatur melalui peraturan perundang-undangan. Salah satu payung hukum utama tindakan penagihan pajak adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 stdd UU Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU PPSP). Beberapa aturan pelaksanaan turunan selanjutnya terbit untuk memberikan pedoman terhadap proses penagihan di lapangan.

Salah satu aturan turunan dari UU PPSP tersebut adalah PMK Nomor 189/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak atas Jumlah Pajak yang Masih Harus Dibayar. PMK ini diterbitkan dengan dilandasi pertimbangan bahwa pengaturan diperlukan untuk menjamin pemenuhan hak dan kewajiban penanggung pajak dan DJP, meningkatkan kemudahan, keseragaman, dan penyederhanaan tindakan penagihan, dan memberikan kepastian hukum.

Dalam salah satu pasal, disebutkan mengenai jenis dan langkah tindakan penagihan pajak, meliputi Surat Teguran, Surat Paksa, Penyitaan, Lelang, Pencegahan, Penyanderaan, dan Penagihan Seketika dan Sekaligus. Pasal ini mengatur juga mengenai jangka waktu dilakukannya tindakan penagihan.

Penagihan seketika dan sekaligus merupakan salah satu tindakan penagihan pajak oleh Jurusita pajak kepada penanggung pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran. Selain itu, penagihan seketika dan sekaligus ini dapat diterbitkan tanpa didahului Surat Teguran atau Surat Paksa.

Tentunya penagihan seketika dan sekaligus ini hanya bisa dilakukan dalam keadaan tertentu, seperti adanya

  • Indikasi atau niat bahwa penanggung pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
  • Pemindahtanganan barang yang dimiliki atau dikuasai penanggung pajak untuk menghalangi tindakan penagihan selanjutnya.
  • Indikasi bahwa WP Badan akan dilakukan pembubaran, penggabungan, pemindahtanganan, atau perubahan lainnya, termasuk dibubarkan oleh negara.
  • Penyitaan barang penanggung pajak oleh pihak lain.
  • Indikasi pailit.

Lalu, benarkah negara mengedepankan keadilan? Apakah keadilan yang menjadi dasar negara dan asas pemungutan pajak benar-benar ditegakkan dalam penagihan pajak?

Saat pandemi Covid-19 datang melanda Indonesia dan seluruh bagian bumi lainnya, masyarakat mengalami kemandekan perekonomian. Namun di satu sisi pemerintah tetap harus melaksanakan kewenangannya dalam menagih utang pajak. Apakah ini berkeadilan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun