Amin al-Khûliy berpendapat bahwa tafsir ilmiah adalah sebuah tafsir yang penafsirnya berusaha menghasilkan sejumlah ilmu-ilmu lama dan baru dari al-Qur’ān. Sang penafsir melihat dalam al-Qur’ān ada wilayah yang memuat ilmu filsafat dan humaniora mengenai kedoteran, anatomi, bedah, astronomi, perbintangan, syaraf, dan tafsir yang menggunakan istilah-istilah ilmiah untuk ungkapan-ungkapan al-Qur’ān”.[5]
Menurut Andi Rosadisastra penafsiran al-Qur’ān dengan menggunakan metode ilmiah akan membantu proses internalisasi, eksternalisasi dan objketifasi al-Qur’ān. Internalisasi adalah proses peresapan, penghayatan, dan penanaman nilai moral dan spiritual, sedangkan eksternalisasi adalah pencurahan dan ekspresi nilai al-Qur’ān dalam realitas kehidupan baik aktifasi fisik maupun mental, sementara objektivasi al-Qur’ān adalah penerjemahan dan pelembagaan nilai Qur’ani kedalam kategori objektif berupa produk seperti undang-undang atau hukum[6].
Namun belakangan pengertian yang banyak digunakan adalah:
هو الكشف عن معاني الآية أو الحديث في ضوء ما ترجحت صحته من نظريات العلوم الكونية
Tafsir ilmiy adalah tafsir yang berusaha menyingkap makna ayat Qur’an maupun hadis dengan selalu memperhatikan koridor ilmu sains dan ilmu kauniyah[7].
Ayat-ayat yang dijadikan objek penafsiran jenis ini adalah ayat yang berhubungan dengan alam semesta atau ayat kauniyah, dalam penafsiran jenis ini seorang mufasir selain memiliki kapabelitas yang cukup dalam ilmu tafsir juga diharuskan menguasai teori-teori sains yang akan dibahas sehingga penafsiran yang dilakukan benar-benar sesuai koridor keilmiahan dan tidak keluar juga dari koridor tafsir.
Menurut penulis dari beberapa definisi yang ditawarkan diatas terdapat beberapa perbedaan yang kemudian mengakibatkan perselisihan yakni: adanya aspek pembebanan terhadap al-Qur’ān untuk menghasilkan ilmu empiris (استخراج مختلف العلوم), yang lain memberikan persyaratan ilmiah dalam membaca al-Qur’ān tersebut. Menurut hemat penulis sesungguhnya titik temu kedua kubu ini adalah tidak menjadi masalah ketika para mufasir melihat dari aspek penyingkapan makna berarti tidak mengharuskan munculnya sebuah ilmu empiris yang kemudian terkesan dipaksakan dan tidak sesuai koridor tafsir.
- Sejarah Kemunculan
Kemunculan tafsir jenis ini adalah berawal dari keyakinan umat muslim bahwa Al-Qur’ān merupakan mukjizat dalam segala hal dengan spirit firman Allah, untuk mengetahui dan mengenal, dan yang menyadarkan mereka dari kebodohan dan kealpaan. Para mufasir yang mengusung tafsir ini mengajak untuk merenungkan dan mendalami ayat-ayat Allah, penciptaan langit dan bumi serta yang lainnya.
Ketika kaum muslimin memulai melakukan penaklukan di abad pertama Hijriyah, mereka mengenali pikiran-pikiran baru dan berbagai agama. Mulailah interaksi budaya antara Islam dengan peradaban-peradaban lainnya seperti Romawi, Yunani dan Iran. Kaum Muslimin menerjemahkan berbagai ilmu di masa Harun al-Rasyid dan al-Ma’mun, seperti kedokteran, matematika, astronomi, ilmu-ilmu alam, filsafat, dari Yunani. Selama berabad-abad mereka dapat menghantarkan ilmu-ilmu tersebut mengalami perkembangan dan kemajuan yang tinggi.
Mereka menyusun buku-buku terbaik di abad III dan IV H, dalam berbagai bidang seperti kedokteran, Filsafat, matematika dan astronomi bahkan, bangsa Barat terpaksa mengambil ilmu-ilmu tersebut dari bangsa Arab, setelah sebelumnya asal-usul ilmu tersebut berasal dari Yunani. Hal tersebut terjadi setelah gerakan terjemah di abad ke 12 berhasil digiatkan dan teori-teori Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dijadikan pegangan utama di universitas-universitas Eropa selama ratusan tahun.