Mohon tunggu...
Humaniora

ISIS, Pemberontak,dan Teroris dalam Hukum Internasional

21 November 2015   10:55 Diperbarui: 21 November 2015   12:05 7812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam pengertian umum, pemberontakan adalah penolakan terhadap otoritas yang sah (Sugono, 2008: 188). Pemberontakan dapat timbul dalam berbagai bentuk, mulai dari pembangkangan sipil (civil disobedience) hingga kekerasan terorganisir yang berupaya meruntuhkan otoritas yang ada. Istilah ini sering pula digunakan untuk merujuk pada perlawanan bersenjata terhadap pemerintah yang berkuasa, tapi dapat pula merujuk pada gerakan perlawanan tanpa kekerasan.

Istilah yang dipergunakan dalam fora internasional tentang pemberontak sangat beragam antara lain ‘kesatuan non negara’ (non state entites), ‘kelompok subversif’ (subversive groups), ‘gerombolan penduduk sipil bersenjata’ (armed civilian groups), ‘kelompok perlawanan bersenjata’ (armed opossision groups), ‘pasukan gerilya’ (guerillas), ‘pemberontak’ (rebels: gradasinya lebih rendah/ insurection: gradasinya lebih tinggi). Walaupun menyandang predikat yang sangat beragam, namun terdapat kesamaan-kesamaan yang pada hakikatnya merupakan ciri khas dari gerakan pemberontakan. Kesamaan tersebut adalah motivasi, pada umumnya motivasi gerakan pemberontakan adalah mengangkat senjata melawan pemerintahan yang berdaulat atau berkeinginan untuk menggulingkan dan menggantikan pemerintahan yang resmi (Pemanasari, 799). Di Indonesia juga memiliki beberapa istilah yang bermacam-macam antara lain; pemberontak[2], gerakan pengacau keamanan (GPK[3]), pembelot, kaum berseberangan, mafia, kaum oposisi, teroris dan lain-lain.

Kebanyakan pemberontakan dilaksanakan untuk menggantikan pemerintahan yang ada dengan pemerintahan yang baru, sesuai dengan harapan para pemberontak, baik itu dari segi keseluruhan, seperti yang terjadi di Amerika Serikat pada era Perang Saudara Amerika atau sebagian saja seperti yang dilakukan GAM di Indonesia, SLM di Sudan, Chechnya di Rusia, atau Fidel Castro dan Che Guevara di Amerika Latin.

Namun dalam perkembanganya, pemberontakan tidak saja hanya gerakan anti-pemerintahan yang dilakukan dengan mengangkat senjata. Setidaknya ada beberapa tipe pemberontakan, antara lain: ketidakmauan berkorporasi dan bekerja sama kepada pemerintah, seperti yang dilakukan Mahatma Gandhi. Gerakan mempertahankan wilayah yang telah dikuasai oleh musuh, seperti perang revolusi Indonesia pada 1945-1949. Gerakan revolusi yang mengakar dan dilakukan untuk menggulingkan pemerintahan yang ada, seperti revolusi Rusia. Pemberontakan yang dilakukan oleh pemberontak lokal, seperti perang Jawa yang dipimpin oleh pangeran Diponegoro. Pembangkangan militer pada pemimpinya, layaknya yang dilakukan militer Filipina pada presiden Gloria Macapagal Arroyo dan lain-lain.

Dalam perkembanganya, hukum internasional juga mengalami perluasan menyangkut subjek hukum dalam keadaan tertentu yakni individu dalam pengertian terbatas, yaitu yang terbatas pada penjahat perang (Kusumaatdja, 1986) keadaan tertentu yang dimaksud adalah perkembangan yang meski mirip dengan status pihak dalam sengketa perang, namun memiliki ciri khas yakni pengakuan terhadap gerakan pembebasan. Untuk memberikan definisi tentang organisasi pembebasan ini para ahli hukum mengalami kesulitan karena pandangan mengenai organisasi ini sangat dipengaruhi oleh permasalahan politis, oleh karenanya sampai saat ini kesamaan pandangan diantara para ahli hukum juga belum ditemukan sebagaimana di klaim oleh para pengamat (Thontowi, 2006:124).

Adanya pengakuan terhadap organisasi pembebasan ini adalah sebuah konsepsi baru terutama yang diikuti oleh negara-negara dunia ketiga berdasarkan pengertian bahwa peoples (bangsa-bangsa) dianggap memiliki hak asasi, seperti; (1) Hak menentukan nasib sendiri (2) Hak untuk secara bebas menentukan sistem ekonomi, politik dan sosial (3) Hak untuk menguasai sumber daya alam dari wilayah yang ditempatinya. Penetapan status seperti ini meski patut diberikan sebagai bentuk penentangan terhadap kolonialisme namun harus juga diberi penilaian yang objektif terkait dengan apa yang disebut bangsa, sehingga hal ini tidak dimanfaatkan oleh sekolompok kecil kaum separatis yang hendak mengoyak stabilitas masyarakat internasional dengan mementingkan golongan mereka (Kusumaatmadja, 1986: 103-104)

            Lebih lanjut Mochtar menjelaskan bahwa dalam membedakan antara gerakan pemberontakan dengan gerakan pembebasan nasional, maka hukum humaniter memiliki beberapa terminologi khusus yang biasa disebut dengan ‘war of national liberation’ dimana jenis peperangan ini hanya terbatas pada 3 macam jenis sengketa bersenjata saja, yaitu sengketa bersenjata yang terjadi pada masa penjajahan (kolonialisme), pada situasi dimana ada pendudukan asing (allien occupation), serta pada situasi dimana pemerintah dari suatu negara melakukan pemerintahan yang bersifat rasialis (apartheid). Hal ini ditegaskan dalam pasal 1 ayat (4) Protokol I tahun 1977, yang menjelaskan bahwa hal tersebut hanya bisa dilakukan oleh sebuah bangsa (people) yang berperang untuk menentukan nasibnya sendiri.

            Dengan demikian perang pembebasan nasional, hanya terjadi dimana suatu angkatan bersenjata resmi dari suatu negara pada hakekatnya berjuang melawan pasukan asing dari negara asing. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para pemberontak dimana tentara resmi suatu negara melawan sebagian warga negara yang mengangkat senjata. Apabila terjadi sengketa seperti itu, maka berdasarkan hukum humaniter apabila pecah sengketa bersenjata diwilayah tersebut dalam batas-batas tertentu akan dianggap sebagai suatu sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional.

Sebagai contoh gerakan kemerdekaan yang sampai saat ini mungkin masih berlangsung dalam pencapain hak mereka untuk menentukan perilaku mereka sebagai negara yang berdaulat seperti halnya Palestina[4] yang berada di bawah penguasaan Israel, maka pelaksanaan hubungan bisa saja berjalan dengan negara lain bukan sebgai negara yang berdaulat melainkan hanya sebagai organisasi pergerakan sebagai wakil dari rakyat yang ada di bawahnya saja.

Sedangkan permasalahan yang hampir serupa dengan kedua kelompok diatas adalah permasalah teroris yang kemudian muncul istilah war on terror (perang terhadap terorisme). Istilah ini muncul pertama kali ketika dua pesawat menabrak menara kembar World Trade Center pada 11 September 2001 yang menewaskan hampir 2.792 orang di New York (Sasoli, 2006). Sejak saat itu war on terror dideklarasikan oleh Amerika Serikat, hal ini kemudian menimbulkan perdebatan pada masyarakat internasional yang pada akhirnya mempertanyakan apakah kegiatan terorisme ini dapat diklasifikasikan sebagai perang atau konflik bersenjata? Apakah teroris ini termasuk dalam kelompok bersenjata? Kedua pertanyaan ini saling berhubungan karena konflik bersenjata tidak akan ada tanpa dua atau lebih pihak yang bertikai yang antara lain angkatan bersenjata suatu negara atau kelompok bersenjata.

 

  1. Penentu Status

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun