Abstrak
Pengakuan terhadap sekelompok orang bersenjata secara teroganisir dalam sebuah negara yang bertujuan menentang rezim pemerintahan yang sah adalah untuk melindungi dan menjalankan asas humaniter atau kemanusiaan. Sehingga setiap individu yang terlibat sengketa dan tidak mendapatkan hak mereka sesuai dengan peraturan hukum humaniter internasional serta tidak melanggar hak asasi manusia. ISIS atau gerakan-gerakan lain seperti Hammas dan Ikhwanul Muslimin dalam hukum internasional memiliki status yang beragam. Status tersebut berimplikasi pada berbagai peraturan internasional yang berhubungan dengan peraturan peperangan dan hukum humaniter. Dalam penulisan artikel ini penulis menelusuri berbagai catatan literasi tentang ketentuan pemberlakuan status belligerensi dan gerakan pembebasan bangsa dalam hukum internasional. Simpulan dari tulisan ini adalah pemberian status belligeren ataupun gerakan pembebasan nasional memiliki berbagai akibat hukum sehingga terkadang negara yang bersengketa enggan memberikan status tersebut dengan alasan politis. Hukum internasional dengan sifatnya yang tidak bisa memaksa untuk dilaksanakan pada seluruh negara, menjadikan semua aturan ini hanya sebatas norma internasional on the paper, bahkan tidak jarang menimbulkan asumsi bahwa hukum internasional adalah hukum rimba dalam dunia modern.
Kata kunci: ISIS, pemberontak, gerakan pembebasan nasional dan teroris
- Pendahuluan
Pengakuan akan eksistensi sebuah negara dalam hukum internasional merupakan salah satu syarat berdirinya sebuah negara baik pengakuan tersebut secara dejure maupun de facto. Selain pengakuan terhadap eksistensi negara tersebut, dalam hukum internasional terdapat berbagai jenis pengakuan lain dan salah satunya adalah pengakuan terhadap eksistensi gerakan pemberontak. Secara umum pemberontak adalah sebuah gerakan yang menentang terhadap pemerintahan yang sah.
Para kelompok yang menentang pemerintahan sah, bisa disebut insurgensi dan pada tahap tertentu bisa masuk dalam kategori belligerensi (pemberontak). Dalam konteks hukum internasional kelompok belligerensi masuk dalam kategori subjek hukum, artinya mereka memiliki hak dan kewajiban dalam hukum Internasional. Pengakuan ini dimunculkan karena kelompok semacam ini terkadang secara politis tidak diuntungkan mengingat keberadaan mereka dalam menentang sebuah rezim yang sedang berkuasa.
Dari aspek diferensiasi kaum belligerensi dan gerakan kemerdekaan nasional, terdapat beberapa hal mendasar yang menjadikanya sulit untuk dibedakan begitupun juga dengan gerakan teroris, karena secara umum gerakan ini memiliki tujuan yang hampir sama yakni menolak dan menentang kepemimpinan pemerintah yang sah. Padahal dari aspek hukum perang internasional gerakan ini menempati posisi yang berbeda, sehingga dalam batas tertentu pemeritahan yang sah harus memperhatikan semua aspek yang melingkupinya.
Beberapa bulan terakhir, banyak beredar berita dan informasi tentang gerakan pendirian khilafah atau sebuah negara Islam yang disebut dengan ISIS (Islamic State Iraq Suriah). Berita tersebut semakin marak dan ramai diperbincangkan di Indonesia menyusul berbagai bukti berupa video tentang deklarasi ISIS di Indonesia. Dalam konsepsi hukum internasional, para kelompok seperti ini disebut dengan belligeren, ketika kelompok ini sudah mendapatkan status tersebut maka mereka menjadi salah satu subjek hukum internasional.
Metode yang penulis gunakan dalam tulisan ini adalah deskriptif yuridis, dimana penulis menelusuri beberapa pandangan ahli serta perundang-undangan internasional terkait hal yang penulis bahas sehingga dari penelusuran tersebut diharapkan bisa mengetahui positioning dari setiap gerakan masyarakat internasional dalam hal yang menjadi bahasan ini. Sebagai batasan dalam pembahasan ini, penulis akan fokuskan kajian ini pada aspek siapa yang berhak menentukan status belligensi tersebut, apa hak dan kewajiban yang mereka dapat, serta bagaimana hukum internasional melindungi dan menuntut kewajiban hukum bagi mereka begitu juga apa perbedaan antara pemberontakan, teroris dan gerakan pembebasan nasional.
- Terminologi
Dalam pengertian umum, pemberontakan adalah penolakan terhadap otoritas yang sah (Sugono, 2008: 188). Pemberontakan dapat timbul dalam berbagai bentuk, mulai dari pembangkangan sipil (civil disobedience) hingga kekerasan terorganisir yang berupaya meruntuhkan otoritas yang ada. Istilah ini sering pula digunakan untuk merujuk pada perlawanan bersenjata terhadap pemerintah yang berkuasa, tapi dapat pula merujuk pada gerakan perlawanan tanpa kekerasan.
Istilah yang dipergunakan dalam fora internasional tentang pemberontak sangat beragam antara lain ‘kesatuan non negara’ (non state entites), ‘kelompok subversif’ (subversive groups), ‘gerombolan penduduk sipil bersenjata’ (armed civilian groups), ‘kelompok perlawanan bersenjata’ (armed opossision groups), ‘pasukan gerilya’ (guerillas), ‘pemberontak’ (rebels: gradasinya lebih rendah/ insurection: gradasinya lebih tinggi). Walaupun menyandang predikat yang sangat beragam, namun terdapat kesamaan-kesamaan yang pada hakikatnya merupakan ciri khas dari gerakan pemberontakan. Kesamaan tersebut adalah motivasi, pada umumnya motivasi gerakan pemberontakan adalah mengangkat senjata melawan pemerintahan yang berdaulat atau berkeinginan untuk menggulingkan dan menggantikan pemerintahan yang resmi (Pemanasari, 799). Di Indonesia juga memiliki beberapa istilah yang bermacam-macam antara lain; pemberontak[2], gerakan pengacau keamanan (GPK[3]), pembelot, kaum berseberangan, mafia, kaum oposisi, teroris dan lain-lain.
Kebanyakan pemberontakan dilaksanakan untuk menggantikan pemerintahan yang ada dengan pemerintahan yang baru, sesuai dengan harapan para pemberontak, baik itu dari segi keseluruhan, seperti yang terjadi di Amerika Serikat pada era Perang Saudara Amerika atau sebagian saja seperti yang dilakukan GAM di Indonesia, SLM di Sudan, Chechnya di Rusia, atau Fidel Castro dan Che Guevara di Amerika Latin.
Namun dalam perkembanganya, pemberontakan tidak saja hanya gerakan anti-pemerintahan yang dilakukan dengan mengangkat senjata. Setidaknya ada beberapa tipe pemberontakan, antara lain: ketidakmauan berkorporasi dan bekerja sama kepada pemerintah, seperti yang dilakukan Mahatma Gandhi. Gerakan mempertahankan wilayah yang telah dikuasai oleh musuh, seperti perang revolusi Indonesia pada 1945-1949. Gerakan revolusi yang mengakar dan dilakukan untuk menggulingkan pemerintahan yang ada, seperti revolusi Rusia. Pemberontakan yang dilakukan oleh pemberontak lokal, seperti perang Jawa yang dipimpin oleh pangeran Diponegoro. Pembangkangan militer pada pemimpinya, layaknya yang dilakukan militer Filipina pada presiden Gloria Macapagal Arroyo dan lain-lain.
Dalam perkembanganya, hukum internasional juga mengalami perluasan menyangkut subjek hukum dalam keadaan tertentu yakni individu dalam pengertian terbatas, yaitu yang terbatas pada penjahat perang (Kusumaatdja, 1986) keadaan tertentu yang dimaksud adalah perkembangan yang meski mirip dengan status pihak dalam sengketa perang, namun memiliki ciri khas yakni pengakuan terhadap gerakan pembebasan. Untuk memberikan definisi tentang organisasi pembebasan ini para ahli hukum mengalami kesulitan karena pandangan mengenai organisasi ini sangat dipengaruhi oleh permasalahan politis, oleh karenanya sampai saat ini kesamaan pandangan diantara para ahli hukum juga belum ditemukan sebagaimana di klaim oleh para pengamat (Thontowi, 2006:124).
Adanya pengakuan terhadap organisasi pembebasan ini adalah sebuah konsepsi baru terutama yang diikuti oleh negara-negara dunia ketiga berdasarkan pengertian bahwa peoples (bangsa-bangsa) dianggap memiliki hak asasi, seperti; (1) Hak menentukan nasib sendiri (2) Hak untuk secara bebas menentukan sistem ekonomi, politik dan sosial (3) Hak untuk menguasai sumber daya alam dari wilayah yang ditempatinya. Penetapan status seperti ini meski patut diberikan sebagai bentuk penentangan terhadap kolonialisme namun harus juga diberi penilaian yang objektif terkait dengan apa yang disebut bangsa, sehingga hal ini tidak dimanfaatkan oleh sekolompok kecil kaum separatis yang hendak mengoyak stabilitas masyarakat internasional dengan mementingkan golongan mereka (Kusumaatmadja, 1986: 103-104)
Lebih lanjut Mochtar menjelaskan bahwa dalam membedakan antara gerakan pemberontakan dengan gerakan pembebasan nasional, maka hukum humaniter memiliki beberapa terminologi khusus yang biasa disebut dengan ‘war of national liberation’ dimana jenis peperangan ini hanya terbatas pada 3 macam jenis sengketa bersenjata saja, yaitu sengketa bersenjata yang terjadi pada masa penjajahan (kolonialisme), pada situasi dimana ada pendudukan asing (allien occupation), serta pada situasi dimana pemerintah dari suatu negara melakukan pemerintahan yang bersifat rasialis (apartheid). Hal ini ditegaskan dalam pasal 1 ayat (4) Protokol I tahun 1977, yang menjelaskan bahwa hal tersebut hanya bisa dilakukan oleh sebuah bangsa (people) yang berperang untuk menentukan nasibnya sendiri.
Dengan demikian perang pembebasan nasional, hanya terjadi dimana suatu angkatan bersenjata resmi dari suatu negara pada hakekatnya berjuang melawan pasukan asing dari negara asing. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para pemberontak dimana tentara resmi suatu negara melawan sebagian warga negara yang mengangkat senjata. Apabila terjadi sengketa seperti itu, maka berdasarkan hukum humaniter apabila pecah sengketa bersenjata diwilayah tersebut dalam batas-batas tertentu akan dianggap sebagai suatu sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional.
Sebagai contoh gerakan kemerdekaan yang sampai saat ini mungkin masih berlangsung dalam pencapain hak mereka untuk menentukan perilaku mereka sebagai negara yang berdaulat seperti halnya Palestina[4] yang berada di bawah penguasaan Israel, maka pelaksanaan hubungan bisa saja berjalan dengan negara lain bukan sebgai negara yang berdaulat melainkan hanya sebagai organisasi pergerakan sebagai wakil dari rakyat yang ada di bawahnya saja.
Sedangkan permasalahan yang hampir serupa dengan kedua kelompok diatas adalah permasalah teroris yang kemudian muncul istilah war on terror (perang terhadap terorisme). Istilah ini muncul pertama kali ketika dua pesawat menabrak menara kembar World Trade Center pada 11 September 2001 yang menewaskan hampir 2.792 orang di New York (Sasoli, 2006). Sejak saat itu war on terror dideklarasikan oleh Amerika Serikat, hal ini kemudian menimbulkan perdebatan pada masyarakat internasional yang pada akhirnya mempertanyakan apakah kegiatan terorisme ini dapat diklasifikasikan sebagai perang atau konflik bersenjata? Apakah teroris ini termasuk dalam kelompok bersenjata? Kedua pertanyaan ini saling berhubungan karena konflik bersenjata tidak akan ada tanpa dua atau lebih pihak yang bertikai yang antara lain angkatan bersenjata suatu negara atau kelompok bersenjata.
- Penentu Status
Pihak yang berhak menentukan status pemberontak adalah negara tempat pemberontakan itu sendiri atau oleh negara lain namun dengan ketentuan netralitas negara ketiga tersebut. Jika pengakuan muncul dari negara yang bersengketa maka konsekwensinya negara yang bersangkutan harus memperlakukan para pemberontak seperti tawanan perang bukan sebagai penjahat, serta setiap pihak baik pemberontak maupun pemerintah bertanggung jawab atas apa yang dilakukan pemberontak terhadap warga asing yang berada dalam wilayah sengketa.
Pengakuan terhadap pemberontak ini pada dasarnya dilandasi atas dasar kemanusiaan semata, agar para pemberontak tidak diperlakukan sebagai penjahat biasa, namun meskipun pengakuan telah diberikan, pemerintah tetap diperbolehkan untuk menumpas pemberontakan tersebut. Karena pihak pemberontak telah menerima pengakuan sebagai pihak berperang maka peperangan yang terjadi bukan lagi di anggap perang saudara, konsekwensi dari itu ialah hukum yang di pakai adalah hukum perang yang telah diakui dalam penyelenggaraan perang non-internasional yakni konvensi Jenewa 1949 dalam pasal 3.
Sedangkan dalam permasalahan terror atau terorisme menurut Sasmini tidak dapat menjadi pihak dalam konflik jika merujuk pada konvensi ini. Hal ini terjadi karena konsep dalam konvensi Jenewa menyatakan bahwa pihak dalam sengketa memiliki tingkat minimum organisasi yang disyaratkan agar mampu melaksanakan kewajiban internasional. Teroris dalam melakukan operasinya sering tidak mematuhi kewajiban internasional sehingga sulit untuk mengklasifikasikan teroris sebagai pihak dalam pertikaian (Sasmini, 2010).
- Tahapan Status Pemberontak
Tindakan untuk menentang sebuah pemerintahan yang sah dengan tujuan mendirikan kekuatan sendiri atau bangsa terdapat dua tahapan dalam hukum internasional, tahap pertama adalah tahap pemberontakan atau disebut insurgensi dan kedua adalah tahap lanjutan atau disebut belligerensi. Tahapan yang kedua ini menunjukan kematangan organisasi serta gerakan yang semakin masif dan konsisten sehingga mirip dengan sebuah sistem pemerintahan.
Pada prinsipnya insurgensi merupakan kualifikasi pemberontakan dalam suatu negara namun secara fakta belum mencapai tingkat keteraturan sebagai organisasi yang terpadu dalam melakukan perlawanan. Jadi kedudukan pemberontak belum dapat diakui sebagai pribadi internasional yang menyandang hak dan kewajiban menurut hukum internasional.
Dalam kualifikasinya sebagai insurgen, pemberontak atau gerakan separatis secara hukum internasional masih dilihat sebagai gerakan yang bertujuan mencapai keberhasilan melalui penggunaan senjata. Jadi kualifikasi insurgensi belum dapat disebut sebagai perang saudara (civil war) dalam hukum internasional. Pada wilayah dimana terjadi pemberontakan, pemerintah masih memiliki semua hak dan kewajiban sebagai penguasa yang sah. Dalam hubungan ini maka sesuai dengan resolusi majelis umum PBB Nomor 2131 (XX) yang dikeluarkan tahun 1965, maka setiap upaya negara asing membantu kaum pemberontak merupakan tindakan intervensi, dan karenanya merupakan pelanggaran hukum internasional (Samekto, 2003).
Apabila pemberontakan insurgensi berkembang meliputi wilayah yang semakin luas dan menunjukkan kecenderungan semakin teratur pengorganisasiannya dan telah menduduki beberapa wilayah negara secara efektif, maka hal ini menunjukkan pemberontak telah berkuasa secara de facto atas beberapa wilayah . Dalam tahap ini, menurut hukum internasional, keadaan pemberontakan telah mencapai tahap belligerensi.
Gerakan separatis atau pemberontakan berdasarkan hukum humaniter adalah suatu gerakan perlawanan bersenjata (armed opposition group) yang berperang melawan negara dengan maksud menjadi negara yang merdeka, setara dan sederajat dengan negara lain. Untuk dapat dinyatakan sebagai kelompok yang didalamnya berlaku hukum kebiasaan berperang di darat, maka konvensi Den Haag ke-IV tahun 1907[5] dalam lampiranya menyatakan bahwa sebuah kelompok harus memenuhi empat syarat tertentu (sering disebut sebagai persyaratan klasik), yakni; (1) Memiliki pemimpin yang jelas dan bertanggung jawab terhadap anak buahnya; (2) Memiliki uniform (seragam) yang dapat diketahui dari kejauhan; (3) Membawa senjata secara terbuka; dan (4) Mematuhi hukum kebiasaan berperang (Permanasari, 2007: 786).
Sedangkan Adolf memberikan persyaratan yang sedikit berbeda terkait dengan persyaratan kelompok gerakan bersenjata ini, yakni: (1) Pemberontakan telah terorganisir dalam satu kekuasaan pemimpin yang teratur serta bertanggungjawab atas tindakan bawahannya. (2) Pemberontak memiliki tanda pengenal atau uniform yang jelas serta menunjukan identitasnya. (3) Pemberontak secara de facto telah menguasai secara efektif atas beberapa wilayah. (4) Para pemberontak mendapatkan dukungan dari rakyat diwilayah yang didudukinya (Adolf, 1991: 125-126) Menurut Adji terdapat satu tambahan lagi yang harus dipenuhi oleh kaum belligerensi adalah keharusan mereka menaati hukum dan kebiasaan perang seperti melindungi penduduk sipil dan membedakan diri dari penduduk sipil (Samekto; 2003).
Secara umum dari beberapa pandangan diatas inti gagasannya adalah adanya organisasi yang matang dan gerakan yang masif sehingga bisa disebut sebagai sebuah gerakan yang terstrukur. Apabila tahap pemberontakan di suatu negara telah mencapai tahap belligerensi, maka dimungkinkan adanya pengakuan negara lain yang mengakui kedudukan pemberontak tersebut. Tetapi apabila suatu negara memberikan pengakuan terhadap pemberontak sebagai belligeren, padahal sebenarnya tidak memenuhi persyaratan tersebut, maka pengakuan negara asing tersebut dapat dianggap sebagai campur tangan terhadap suatu negara yang sedang menumpas pemberontakan di dalam wilayahnya, dan karenanya merupakan pelanggaran hukum internasional.
- Ketentuan Hukum Perang
- Hukum yang harus dipatuhi
Sengeketa bersenjata non-internasional sebelum berlakunya konvensi Jenewa 1949 pada prinsipnya adalah tidak termasuk pengaturan hukum internasional dan masuk pada pengaturan hukum nasional. Namun kemungkinan terjadinya perang itu menjadi sengketa internasional adalah ketika yang mengakui kelompok tersebut adalah negara lain atau negara ketiga sebagai belligerent (Kusumaatmadja, 1986: 22). Akan tetapi karena pengakuan sebagai belligerensi pada hakikatnya adalah kemauan pihak negara sah yang ditentang sehingga hukum perang internasional dan pertikaian senjata non-internasional menjadi tidak menentu, terlebih pengakuan tersebut akan membuat pihak pemberontak menjadi semakin kuat posisinya, maka wajar negara yang ditentang selalu menghindari pengakuan ini. Oleh karenanya semenjak diberlakukanya konvensi Jenewa 1949 hukum perang non-internasional tidak lagi bergantung pada pengakuan negara yang ditentang dan diharuskan oleh pasal 3 KJ 1949 (Istanto, 1992: 47-48).
Latar belakang pembentukan protokol tambahan II adalah karena setelah perang dunia II konflik-konflik yang terjadi kebanyakan adalah konflik yang bersifat non-internasional. Konflik bersenjata non-internasional diatur dalam Pasal 3 ketentuan yang bersamaan (common articles) konvensi Jenewa 1949. Namun, karena dirasakan belum cukup memadai untuk menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan yang serius akibat terjadinya konflik bersenjata non-internasional, maka diperlukan peraturan yang memadai untuk mengatasi hal ini.
Ketentuan-ketentuan dalam Protokol Tambahan II antara lain menentukan:
- Mengatur: Jaminan-jaminan fundamental bagi semua orang, apakah mereka terlibat ataukah tidak terlibat lagi dalam suatu pertempuran;
- Menentukan: Hak-hak bagi orang-orang yang kebebasannya dibatasi dalam menerima peradilan yang baik;
- Memberikan: Perlindungan penduduk sipil dan obyek-obyek perlindungan;
- Melarang: Dilakukannya tindakan starvasi secara disengaja.
Protokol tambahan II juga menentukan bahwa orang-orang yang luka harus dlindungi dan dirawat, para personil kesehatan beserta alat-alat transportasi mereka harus dilindungi dan dihormati. Lambang-lambang palang merah dan bulan sabit merah harus dihormati, dan penggunaannya terbatas hanya kepada mereka yang secara resmi berha memakainya. Prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam pasal 3 common articles kembali ditegaskan dalam protokol tambahan II. Namun demikian, kendati terdapat penegasanpenegasan, protokol tambahan II ini juga tidak membatasi hak-hak negara untuk menegakkan hukum dan ketertiban berdasarkan peraturan mereka masing-masing.
Orang-orang yang tidak mengambil bagian aktif dalam sengketa itu, termasuk anggota-anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjatasenjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penawanan atau sebab lain apapun dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan perikemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu.
Untuk maksud ini, maka tindakan-tindakan berikut dilarang dan akan tetap dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang di atas pada waktu dan tempat apapun juga, tindakan tersebut adalah:
- Tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, penyekapan, perlakuan kejam dan penganiayaan;
- Penyanderaan;
- Perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat;
- Menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan pengadilan yang dibentuk secara teratur, memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa beradab (Wagiman, 2005: 17-18).
- Pihak yang harus dilindungi
Istilah ‘orang yang dilindungi’ menunjuk pada orang-orang peserta dalam perang atau sengketa bersenjata yang telah menjadi korban perang. Dalam arti luas meliputi juga orang-orang sipil yang jatuh ke tangan musuh sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Konvensi IV. Selain itu, mengandung pengertian pula orang-orang yang karena pekerjaannya harus dihormati dan tidak boleh diserang, yaitu para anggota dinas kesehatan, petugas rumah sakit, dan para rohaniwan.
Pasal 13 konvensi I dan II serta Pasal IV Part. A konvensi III menetapkan bahwa orang-orang yang dilindungi dalam ketiga konvensi tersebut adalah:
- Anggota angkatan perang dari pihak dalam sengketa, begitu pula anggota milisi atau barisan sukarela, yang merupakan bagian dari angkatan perang tersebut;
- Anggota milisi serta anggota dari barisan sukarela lainnya, termasuk gerakan perlawanan ter-organisir, yang tergolong pada suatu pihak dalam sengketa serta beroperasi di dalam atau di luar wilayah mereka, sekalipun wilayah itu diduduki;
- Anggota-anggota angkatan perang tetap yang tunduk pada suatu pemerintah atau kekuasaan yang tidak diakui oleh negara penahan;
- Orang - orang yang menyertai angkatan perang yang bukan menjadi anggota dari angkatan perang itu, seperti anggota sipil, awak pesawat terbang militer, wartawan perang, pemasok makanan, anggota-anggota kesatuan kerja atau dinas yang bertanggung jawab atas kesejahteraan angkatan perang, dengan ketentuan mereka telah mendapat pengesahan dari angkatan perang yang mereka sertai;
- Anggota awak kapal pelayaran niaga termasuk nakhoda pemandu laut, taruna dan awak-awak pesawat terbang sipil dari pihak dalam sengketa tidak berhak mendapatkan perlakuan lebih baik menurut ketentuan hukum internasional.
- Penduduk wilayah yang belum diduduki tatkala musuh mendekat, atas kemauan mereka sendiri dan dengan serentak mengangkat senjata untuk melawan pasukan yang menyerbu, tanpa mempunyai waktu untuk membentuk kesatuan-kesatuan bersenjata teratur, dengan ketentuan mereka memikul senjata secara terang-terangan dan menghormati hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan perang.
- Masa berlakunya perlindungan
Ketentuan mengenai lamanya perlindungan diberikan, misalnya dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 5 dari Konvensi III mengenai perlakuan terhadap tawanan perang, yang berbunyi,
“Konvensi ini akan berlaku bagi orang-orang yang disebut dalam pasal 4 sejak mereka jatuh dalam kekuasaan musuh hingga saat pembebasan dan pemulanga mereka terakhir. Bilamana timbul keraguraguan apakah orang-orang yang telah melakukan perbuatan yang bersifat perbuatan permusuhan dan telah jatuh dalam tangan musuh termasuk dalam golongan-golongan yang disebut dalam Pasal 4, maka orang-orang demikian akan memperoleh perlindungan dari Konvensi ini, hingga saat kedudukan mereka ditentukan oleh pengadilan yang kompeten”.
Dari ketentuan yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa saat jatuhnya orang-orang yang dilindungi oleh konvensi ke tangan musuh saat itulah mulai berlakunya pemberian perlindungan kepada orang-orang sebagaimana yang ditentukan dalam konvensi jenewa 1949.
- Pengawasan
- Pengawasan dan Perlindungan: Negara Pelindung
Mengenai ketentuan ini terdapat dalam Pasal 8 keempat konvensi, yang berbunyi “konvensi ini harus dilaksanakan dengan kerja sama serta di bawah pengawasan dari negara-negara pelindung yang berkewajiban melindungi kepentingan-kepentingan pihakpihak dalam sengketa. Untuk maksud ini, negara-negara pelindung boleh mengangkat di samping diplomatik dan konsuler mereka, utusan-utusan yang dipilih dari warga negara mereka atau warga negara-warga negara netral lainnya. Utusan tersebut harus mendapat persetujuan negara dengan siapa mereka akan melakukan kewajiban mereka”.
- Pengawasan dan Bantuan: Palang Merah Internasional dan Organisasi Kemanusiaan lainnya
Ketentuan mengenai hal ini terdapat dalam pasal 9 yang menyatakan “ketentuan-ketentuan konvensi ini bukan merupakan penghalang bagi kegiatan-kegiatan perikemanusiaan, yang mungkin diusahakan oleh komite internasional palang merah atau tiap organisasi humaniter lainnya yang tidak berpihak untuk melindungi dan menolong yang luka dan sakit, anggota dinas kesehatan dan rohaniwan-rohaniwan selama kegiatan-kegiatan itu mendapat persetujuan pihak-pihak dalam sengketa bersangkutan”. Pasal ini membuka kemungkinan untuk kegiatan kemanusiaan yang dilakukan, baik oleh palang merah atau organisasi humaniter.
- Sanksi Pelanggaran Konvensi
Ketentuan - ketentuan mengenai pelanggaran terhadap konvensi ini, terdapat dalam Pasal 49-50 Konvensi I, Pasal 50-51 Konvensi II, Pasal 129-130 Konvensi III dan Pasal 146-147 Konvensi IV. Pasal 49 Konvensi I menyatakan: “ Pihak peserta agung berjanji untuk menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk memberi sanksi pidana efektif terhadap orang-orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan salah satu diantara pelanggaran berat atas konvensi ini seperti di dalam pasal berikut. Tiap Peserta Agung berkewajiban untuk mencari orang-orang yang disangka telah melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran berat yang dimaksudkan, dan harus mengadili orang-orang tersebut dengan tidak memandang kebangsaannya. Pihak peserta agung, dapat juga sesuai dengan ketentuan perundang-undangannya sendiri, menyerahkan kepada pihak peserta agung lain yang berkepentingan orang-orang tersebut untuk diadili. Tiap peserta agung harus mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk memberantas pelanggaran berat yang ditentukan dalam pasal, berikut segala perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan konvensi ini.
Dalam segala keadaan, orang yang dituduh harus mendapat jaminan-jaminan peradilan dan pembelaan yang wajar, tidak boleh melanggar dari jaminan-jaminan yang diberikan oleh konvensi jenewa mengenai perlakuan tawanan perang tertanggal 12 Agustus 1949 dalam Pasal 105 dan seterusnya. Ketentuan mengenai sanksi pidana terhadap pelanggaran-pelanggaran konvensi dan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan bagi pihak penandatangan seperti terdapat Pasal 49 ini, harus dilihat dalam hubungannya dengan ketentuan dalam Pasal 1, bahwa pihak penandatangan tidak saja harus menaati ketentuan-ketentuan konvensi, tetapi juga “harus menjamin ditaatinya ketentuan-ketentuan konvensi”.
Namun, sebagaimana telah sedikit disinggung di awal bagian ini bahwa terdapat suatu kecenderungan bahwa negara-negara sengketa enggan memberlakukan konvensi ini dengan mengajukan berbagai alasan, diantaranya karena kekhawatiran pemberlakuan Protokol II akan memberikan status belligerensi kepada pemberontak dan terdapat berbagai aturan yang terkadang menghalangi dalam mewujudkan stabilitas nasional. Tidak itu saja menurut Theodor Meron negara-negara juga enggan untuk memberlakukan konvensi Jenewa, karena dengan penafsirannya yang meluas pada berbagai macam jenis konflik internal, membuat negara-negara menolak menerapkannya seperti yang terjadi dewasa ini (Haryomataram, 1988: 20).
- ISIS dalam Sudut Pandang
ISIS merpuakan kelompok ekstremis yang mengikuti ideologi garis keras Al-Qaidah dan dinilai oleh berbagai kalangan menyimpang dari prinsip-prinsip jihad sebenarnya. Seperti halnya al-Qaeda dan banyak kelompok jihad modern lainnya, ISIS muncul dari ideologi Ikhwanul Muslimin, kelompok Islam pertama di dunia pada tahun 1920-an di Mesir. ISIS mengikuti ekstrim anti-Barat yang menurutnya sebagai penafsiran Islam, mempromosikan kekerasan agama dan menganggap mereka yang tidak setuju dengan tafsirannya sebagai kafir dan murtad. Secara bersamaan, ISIS (sekarang IS) bertujuan untuk mendirikan negara Islam Salafi yang berorientasi di Irak, Suriah dan bagian lain dari Syam (www.wikipedia.com).
Jika kita melihat lebih mendalam, gerakan ISIS merupakan gerakan Islam modern yang mengusung nostalgia sejarah masa awal Islam, menolak "inovasi" dalam agama yang mereka percaya telah "korup" dari semangat aslinya. Kelompok ini mengutuk kekhalifahan terakhir dan kekaisaran Ottoman karena menyimpang dari apa yang mereka sebut sebagai Islam murni dan karenanya telah berusaha untuk membangun kekhalifahan sendiri. Namun, ada juga tokoh Sunni seperti Zaid Hamid, bahkan kelompok salafi seperti Adnan al-Aroor dan Abu Basir al-Tartusi, yang mengatakan bahwa ISIS dan kelompok teroris yang terkait tidak mempresentasikan islam sunni sama sekali.
Dari berbagai catatan sejarah, ISIS terbentuk dari gejolak dalam negeri di Irak dan Suriah. Berawal pada tanggal 18 Maret 2003, ketika Pasukan Multinasional pimpinan Amerika Serikat menyerang Irak dengan tuduhan membuat senjata pemusnah masal (meski akhirnya tidak terbukti). Saddam Hussein dengan mudah dikalahkan Tentara Koalisi Internasional pimpinan AS pada saat itu, namun gerakan rakyat Irak yang terhimpun dalam beberapa kelompok gerilyawan memilih bertahan. Mereka bahkan melakukan perang gerilya untuk mempertahankan negerinya dari invasi pasukan asing.
Pada tanggal 15 Agustus 2005, kelompok pejuang mempersatukan diri dan membentuk Majelis Syura Mujahidin. Berawal dari Majelis Syura Mujahidin inilah akhirnya dideklarasikan Negara Islam Irak pada tanggal 13 Oktober 2006, dan mengangkat Abu Umar al-Baghdady sebagai pemimpinnya. (simomot.com).
Kelompok-kelompok ini mendapat bantuan dari para pejuang di luar negeri, termasuk dari Negara Islam Irak. Kelompok pejuang rakyat Suriah akhirnya mampu membebaskan beberapa kota termasuk wilayah perbatasan dengan Irak, sehingga menyatulah beberapa kota di Irak dan Suriah di bawah kendali Negara Islam Irak. Fakta inilah yang mengilhami pendeklarasian Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) pada 9 April 2013 dengan pemimpin tetap Abu Bakar Al-Baghdady. Hingga Maret 2014, wilayah yang dikuasai ISIS meliputi 400.000 km2 di dua negara tersebut, atau lebih luas dari beberapa negara Arab seperti Qatar, Emirat Arab, Bahrain, Yaman, dan Lebanon.
- Teroris
Dalam masyarakat internasional sampai sekarang belum menemukan sebuah kesepakatan yang baku tentang pengertian teroris. Umumnya terorisme ini mengacu pada pembunuhan dengan sengaja dan gegabah pada penduduk sipil atau melakukan pengrusakan dalam skala luas terhadap property tertentu, dengan maksud untuk menyebarkan ketakutan ke seluruh penduduk dan menyampaikan pesan politik kepada pihak ketiga, biasanya pemerintah (Macrae & Harmer, 2003). Istilah terorisme dapat digunakan dalam hubungannya dengan tindakan pemerintah dalam penegakan terorisme. Lebih luas lagi terorisme dapat digunakan untuk menggambarkan tindak kekejaman dan perang saudara atau perang yang lain atau bentuk terorisme yang lain dapat mengacu pada tindakan kekejaman secara internasional, dari bagian Negara tertentu yang disebabkan oleh muatan politis (Sasmini, 2010).
Dari semua ketentuan yang terdapat dalam konvensi Jenewa sebagaimana dijelaskan diatas, maka ketentuan tersebut memungkinkan penerapanya dalam kasus perang terhadap kelompok belligeren karena batasan tentang konflik bersenjata antar pihak yang bertikai jelas wilayahnya, pihak-pihak-pihaknya dan pengaturannya, namun konsep teroris telah mengaburkan hal tersebut.
Dalam hukum humaniter internasional sudah jelas yang menjadi pihak dalam pertikaian adalah angkatan bersenjata (armies) dan penduduk sipil. Hukum humaniter membedakan dengan jelas antara keduanya yang dikenal dengan prinsip pembedaan (distinction principle). Sedangkan terorisme tidak dapat menjadi pihak dalam konflik, sehingga war on terror tidak dapat menjadi peristiwa dalam hukum humaniter internasional. Konsep ‘pihak’ disini menunjukkan tingkat minimum suatu organisasi yang disyaratkan untuk mampu melaksanakan kewajiban internasional, sedangkan teroris dalam melakukan operasinya sering tidak mematuhi kewajiban internasional sehingga sulit untuk mengklasifikasikan teroris sebagai pihak dalam pertikaian sehingga kemudian teroris belum terakomodir oleh konvensi ini.
- Simpulan
Berbagai gerakan penolakan terhadap pemerintahan sah yang muncul dalam dunia internasional memiliki berbagai ketentuan sehingga bisa disebut sebagai subjek hukum internasional. Terkait dengan pemberian status belligerensi pihak yang berhak memberikan status ini adalah negara yang sedang dalam sengketa dan karena itulah kemudian di berbagai negara yang sedang terjadi pemberontakan enggan memberikan status ini karena jika memberikan status belligeren maka mereka memiliki hak yang sama dalam hak-hak internasional, hal ini terjadi karena memang sifat hukum internasional yang bersifat tidak bisa memaksa. Sedangkan permasalahan teroris tidak dapat menerapkan Konvensi Jenewa 1949 maupun protokol tambahan tahun 1977 karena treaty tersebut mensyaratkan kriteria-kriteria tertentu untuk dapat disebut konflik bersenjata. Beberapa ketentuan yang bisa mengakomodir terkait teroris adalah sumber hukum humaniter internasional lainnya yakni hukum kebiasaan humaniter internasional dan atau fundamental principles namun dalam pelaksanaannya hal demikian sulit untuk dilaksanakan karena teroris merupakan jaringan yang tidak memiliki ciri-ciri yang mapan serta kelompok ini cenderung tidak mau mengikuti tata hukum yang ada.
Dengan mengacu pada ketentuan hukum internasional, menangani permasalahan ISIS di Indonesia tentu lebih jelas status gerakanya. Hal ini terjadi karena secara struktur keorganisasian gerakan ISIS telah memiliki struktur dan organisasi yang jelas serta pergerakanya di wialayah Iraq maupun Suriah juga mendapat perlawanan dari negara tersebut. Artinya dalam kacamata hukum internasional kepada mereka melekat berbagai aturan internasional termasuk didalamnya adalah peraturan perang. Berbeda dengan teroris yang hanya mengandalkan jaringan dalam melancarkan aksi mereka.
Daftar Pustaka
Jurnal
Permanasari, Arlina. 2007. Analisis Yuridis Status Hukum Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Menurut Hukum Humaniter. Jurnal Hukum Humaniter. 3 (4): 782-829.
Wagiman, Wahyu. 2005. Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia. Bahan Bacaan kursus HAM untuk Pengacara, Elsam: Jakarta
Buku
Adolf, Huala. 1991. Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Haryomataram. 1988. Bunga Rampai Hukum Humaniter, Jakarta: Bumi Nusantara Jaya, Jakarta.
Istanto, Sugeng. 1992. Perlindungan Penduduk Sipil dalam Perlawanan Rakyat Semesta Dalam Hukum Internasional. Yogyakarta: Andi Offset.
Kusumaatja, Mochtar. 1986. Pengantar Hukum Internasional Bagian 1. Bandung: Bina Cipta.
Thontowi, Jawahir dan Pranoto Iskandar. Hukum Internasional Kontemporer. Bandung: PT. Refika Aditama.
Sugono, Dendy ed. Et.all, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Kamus Pusat Bahasa Depdiknas.
Surat kabar
Samekto, Aji, 14 Juni 2003, Kasus Aceh Indonesia tak Dapat Dituntut. Jawa Tengah: Suara Merdeka.
Website
Sasoli, Marco. Transnational Armed Groups and International Humanitarian Law. Program on Humanitarian Policy and Conflict Research Harvard University. Occasional Paper Series. Winter 2006. http://www.ihlresearch.org (diakses pada 12 November 2010).
Sasmini, War on Terror dalam Perspektif HHI. http://sasmini.staff.hukum.uns.ac.id (diakses pada 2 Desember 2010).
[1] Artikel ini pernah diterbitkan di jurnal “El-Qudwah” LP2M UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
[2] Dalam bahasa internasional istilahnya bermacam-macam diantaranya Insugent, belligerency, rebellion, armed rebellions, revolution
[3] Istilah ini sering digunakan oleh pemerintahan era orde baru dimana penggunaan istilah ini dimaksudkan untuk memberikan keuntungan secara politis bagi orde baru untuk menindak semua gangguan keamanan di Aceh. Sebab istilah GPK memiliki konotasi yang luas dalam arti pemerintah dapat menindak semua pembuat kekacauan tanpa harus membedakan apakah mereka dari kelompok sipil ataupun oleh sekelompok orang bersenjata.
[4] Sejarah dimulainya pengakuan terhadap Palestina ini adalah pada tanggal 22 November 1974 melalui resolusi Majelis Umum PBB No.3237, PLO (Palestine Liberation Organization) diberi status sebagai peninjau tetap pada PBB, selain itu PM Austria pada saat itu Bruno Kreisky pada tahun 1980 dengan memberikan pengakuan diplomatik penuh kepada PLO. Dua minggu setelahnya India juga memberikan pengakuan diplomatik secara penuh kepada PLO dan meningkatkan status kantor perwakilan PLO di New Delhi yang didirikan pada tahun 1976 menjadi kantor Kedutaan Besar Palestina di India. Pada tahun 1981 giliran Uni Soviet memberikan status diplomatik resmi kepada PLO di Moscow Russia. Selanjutnya Palestina National Council, pada tanggal 16 November 1988 memproklamasikan pembentukan negara Palestina di Alger dan keesokan harinya Indonesia secara resmi memberikan pengakuan terhadap proklamasi tersebut. Sebagai tindak lanjut dari proklamasi tersebut, tanggal 19 Oktober 1989. Menteri Luar Negeri Palestina Farouk Kaddoumi menandatangani Komunike bersama dengan Indonesia tentang pembukaan hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Palestina pada tingkat Duta Besar, pada saat itu Ali Alatas sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia. Pada tanggal yang sama Menteri Luar Negeri Palestina meresmikan pembukaan Kedutaan Besar Palestina di Jakarta, sedangkan Indonesia mengangkat Duta Besarnya di Tunis untuk diakreditasikan (Persamaan tingkatan/yang disamakan) ke negara Palestina, (namun sekarang di akreditasikan di Amman, Yordania) .
[5] Ini adalah konvensi yang mengatur tentang hukum kebiasaan berperang didarat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H