Mohon tunggu...
Miftah Khilmi Hidayatulloh
Miftah Khilmi Hidayatulloh Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Dosen Ilmu Al-Quran dan Tafsir pada Program Studi Ilmu Hadis, Fakultas Agama Islam, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Tradisi

Pilih Hisab atau Rukyah? Pemahaman Dalil itu Tidak Tunggal!

28 Maret 2023   08:44 Diperbarui: 28 Maret 2023   09:05 1015
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bulan Ramadan merupakan momentum yang membahagiakan bagi setiap muslim. Banyak ritual-ritual Ramadan yang membangun kebersamaan dan keberjamaahan. Ramadan diawali dengan salat tarawih berjamaah pada malam pertama yang biasanya dihadiri oleh banyak masyarakat muslim baik yang sering ke masjid maupun yang jarang ke masjid. Semuanya berkumpul dan berjamaah untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah SWT. Pagi harinya, ba'da sahur, masyarakat muslim berbondong-bondong ke masjid untuk melaksanakan salat subuh berjamaah dilanjutkan mendengarkan kultum dari seorang Ustadz yang telah mereka jadwalkan. Sore harinya, masyarakat muslim berkumpul bersama di masjid mendengarkan pengajian sambil menunggu waktu berbuka. Demikian kebersamaan Ramadan itu tumbuh subur di tengah-tengah kalangan masyarakat muslim Indonesia.

Namun, memasuki bulan Ramadan juga menyisakan sebuah perbedaan yang sudah berumur cukup panjang. Penentuan awal bulan Ramadan dan awal bulan Syawal sering sekali menjadi titik perselisihan di kalangan masyarakat muslim Indonesia. Sebagian pihak menggunakan metode hitungan atau hisab untuk menentukan awal bulan Ramadan dan Syawal, sehingga dapat mengumumkannya jauh hari sebelum Ramadan dan Syawal tiba. Pihak yang lain tetap kokoh mempertahankan metode melihat hilal atau rukyah untuk menentukan awal bulan Ramadan dan Syawal, sehingga setiap akan memasuki awal bulan perlu mengadakan perhelatan rukyah bersama yang melibatkan banyak orang untuk menetapkan awal bulan baru.

Perbedaan ini berawal dari pemahaman hadis bahwa awal bulan Ramadan dan Syawal itu diperoleh dengan rukyah hilal. Satu pihak memahami bahwa rukyah hilal itu harus dilakukan secara indrawi, pihak yang lain berpendapat bahwa menentukan hilal dengan hitungan juga diperbolehkan berdasarkan hadis tersebut. Berikut adalah hadis redaksi Imam Bukhari Nomor 1906 yang sering diperselisihkan pemahamannya dalam menentukan awal bulan Ramadan dan Syawal,

:


Sesungguhnya Rasulullah SAW menyebutkan Ramadan, kemudian beliau bersabda: "janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka sampai kalian melihatnya, jika kalian tertutup awan (untuk melihat hilal tersebut), maka kadarkanlah/ perkirakanlah". HR Bukhari No. 1906

Pihak pertama memahami hadis tersebut secara tekstual sehingga rukyah harus dilakukan secara indrawi. Mereka berargumentasi bahwa hadis ini dikuatkan dengan hadis-hadis lain dengan redaksi yang beragam. Ada hadis dengan redaksi "perintah" sehingga menunjukkan bahwa rukyah hilal secara indrawi adalah wajib. Hadis ini juga merupakan hadis qawli (perkataan), sehingga menguatkan argumentasi akan kewajiban melihat hilal tersebut. Hadis lain menerangkan seandainya hilal tidak terlihat, maka umat Islam supaya menggenapkan bulan sebelumnya menjadi 30 hari. Argumentasi tersebut ditambah argumentasi-argumentasi lainnya menjadi dasar bagi pihak pertama untuk mewajibkan rukyah hilal secara indrawi dalam menentukan bulan Ramadan dan Syawal.

Pihak kedua memahami hadis di atas secara kontekstual, sehingga mereka berpendapat bahwa rukyah secara indrawi itu tidak wajib. Rasulullah SAW memerintahkan sahabatnya untuk menentukan awal bulan Ramadan dan Syawal dengan rukyah hilal secara indrawi karena menghitung atau hisab tidak menjadi tren pada masyarakat muslim kala itu. Saat ini, kita hidup di era ilmu pengetahuan yang maju, sehingga penentuan awal bulan, awal tahun, jadwal salat 5 waktu, waktu gerhana matahari dan bulan, serta penentuan-penentuan waktu lainnya dapat diperoleh dengan hitungan atau hisab. Rukyah hilal merupakan sarana atau cara menentukan awal bulan yang dapat berubah sesuai dengan tren masyarakat yang berkembang. Argumentasi ini ditambah argumentasi-argumentasi lainnya menjadi dasar bagi pihak kedua atas bolehnya menggunakan hisab atau hitungan untuk menentukan awal bulan Ramadan dan Syawal.

Perselisihan ini tidak berkurang dengan kehadiran Kementerian Agama yang seharusnya mampu untuk meredam dan mendamaikan antar anak bangsa. Jangan sampai, Kementerian Agama terlihat membela atau menguatkan satu pihak tertentu sehingga terasa merendahkan pihak yang lain. Fenomena ini sebetulnya menjadi peluang strategis bagi Kementerian Agama untuk menjadi pihak penengah yang bijak dan menyatukan masyarakat dalam keberagaman yang menjadi realita bangsa kita.

Sebagai umat Islam, salah satu warga Negara Kesatuan Republik Indonesia, saya ingin turut urun rembug terkait hal ini, terutama terkait dengan sebuah hadis yang sangat masyhur. Hadits ini menegaskan bahwa kebenaran pemahaman terhadap sebuah dalil itu tidak tunggal. Menghadirkan hadis ini untuk menyelesaikan perselisihan yang sering sekali terulang di Indonesia akan menjadi solusi strategis untuk memunculkan masyarakat muslim Indonesia yang lebih baik.

Hadis ini diawali dengan adanya Perang Ahzab yang menyeret Bani Quraizhah pada pengkhianatan memusuhi Islam yang awalnya sudah berjanji akan saling membela jika salah satu pihak diserang. Rasulullah SAW kemudian mengirim para sahabatnya menuju perkampungan Bani Quraizhah dan berpesan supaya tidak Shalat Ashar kecuali di perkampungan itu. Sebagian sahabat ada yang memegang teks lisan Rasulullah SAW, sehingga tidak shalat kecuali di perkampungan itu. Namun sahabat yang lain justru shalat di perjalanan dan yakin bahwa maksud beliau tidak sesuai dengan teks lisan itu. Setelah perkara ini disampaikan kepada Rasulullah SAW, beliau tidak mencela salah satu dari pihak ini. Respon Rasulullah SAW ini dapat dimanaknai bahwa kedua belah pihak diperbolehkan dalam pemahamannya masing-masing.

Demikian kami sertakan hadis tersebut dengan redaksi dari Imam Bukhari nomor 956,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun