Bulan Ramadan merupakan momentum yang membahagiakan bagi setiap muslim. Banyak ritual-ritual Ramadan yang membangun kebersamaan dan keberjamaahan. Ramadan diawali dengan salat tarawih berjamaah pada malam pertama yang biasanya dihadiri oleh banyak masyarakat muslim baik yang sering ke masjid maupun yang jarang ke masjid. Semuanya berkumpul dan berjamaah untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah SWT. Pagi harinya, ba'da sahur, masyarakat muslim berbondong-bondong ke masjid untuk melaksanakan salat subuh berjamaah dilanjutkan mendengarkan kultum dari seorang Ustadz yang telah mereka jadwalkan. Sore harinya, masyarakat muslim berkumpul bersama di masjid mendengarkan pengajian sambil menunggu waktu berbuka. Demikian kebersamaan Ramadan itu tumbuh subur di tengah-tengah kalangan masyarakat muslim Indonesia.
Namun, memasuki bulan Ramadan juga menyisakan sebuah perbedaan yang sudah berumur cukup panjang. Penentuan awal bulan Ramadan dan awal bulan Syawal sering sekali menjadi titik perselisihan di kalangan masyarakat muslim Indonesia. Sebagian pihak menggunakan metode hitungan atau hisab untuk menentukan awal bulan Ramadan dan Syawal, sehingga dapat mengumumkannya jauh hari sebelum Ramadan dan Syawal tiba. Pihak yang lain tetap kokoh mempertahankan metode melihat hilal atau rukyah untuk menentukan awal bulan Ramadan dan Syawal, sehingga setiap akan memasuki awal bulan perlu mengadakan perhelatan rukyah bersama yang melibatkan banyak orang untuk menetapkan awal bulan baru.
Perbedaan ini berawal dari pemahaman hadis bahwa awal bulan Ramadan dan Syawal itu diperoleh dengan rukyah hilal. Satu pihak memahami bahwa rukyah hilal itu harus dilakukan secara indrawi, pihak yang lain berpendapat bahwa menentukan hilal dengan hitungan juga diperbolehkan berdasarkan hadis tersebut. Berikut adalah hadis redaksi Imam Bukhari Nomor 1906 yang sering diperselisihkan pemahamannya dalam menentukan awal bulan Ramadan dan Syawal,
:
Sesungguhnya Rasulullah SAW menyebutkan Ramadan, kemudian beliau bersabda: "janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka sampai kalian melihatnya, jika kalian tertutup awan (untuk melihat hilal tersebut), maka kadarkanlah/ perkirakanlah". HR Bukhari No. 1906
Pihak pertama memahami hadis tersebut secara tekstual sehingga rukyah harus dilakukan secara indrawi. Mereka berargumentasi bahwa hadis ini dikuatkan dengan hadis-hadis lain dengan redaksi yang beragam. Ada hadis dengan redaksi "perintah" sehingga menunjukkan bahwa rukyah hilal secara indrawi adalah wajib. Hadis ini juga merupakan hadis qawli (perkataan), sehingga menguatkan argumentasi akan kewajiban melihat hilal tersebut. Hadis lain menerangkan seandainya hilal tidak terlihat, maka umat Islam supaya menggenapkan bulan sebelumnya menjadi 30 hari. Argumentasi tersebut ditambah argumentasi-argumentasi lainnya menjadi dasar bagi pihak pertama untuk mewajibkan rukyah hilal secara indrawi dalam menentukan bulan Ramadan dan Syawal.
Pihak kedua memahami hadis di atas secara kontekstual, sehingga mereka berpendapat bahwa rukyah secara indrawi itu tidak wajib. Rasulullah SAW memerintahkan sahabatnya untuk menentukan awal bulan Ramadan dan Syawal dengan rukyah hilal secara indrawi karena menghitung atau hisab tidak menjadi tren pada masyarakat muslim kala itu. Saat ini, kita hidup di era ilmu pengetahuan yang maju, sehingga penentuan awal bulan, awal tahun, jadwal salat 5 waktu, waktu gerhana matahari dan bulan, serta penentuan-penentuan waktu lainnya dapat diperoleh dengan hitungan atau hisab. Rukyah hilal merupakan sarana atau cara menentukan awal bulan yang dapat berubah sesuai dengan tren masyarakat yang berkembang. Argumentasi ini ditambah argumentasi-argumentasi lainnya menjadi dasar bagi pihak kedua atas bolehnya menggunakan hisab atau hitungan untuk menentukan awal bulan Ramadan dan Syawal.
Perselisihan ini tidak berkurang dengan kehadiran Kementerian Agama yang seharusnya mampu untuk meredam dan mendamaikan antar anak bangsa. Jangan sampai, Kementerian Agama terlihat membela atau menguatkan satu pihak tertentu sehingga terasa merendahkan pihak yang lain. Fenomena ini sebetulnya menjadi peluang strategis bagi Kementerian Agama untuk menjadi pihak penengah yang bijak dan menyatukan masyarakat dalam keberagaman yang menjadi realita bangsa kita.
Sebagai umat Islam, salah satu warga Negara Kesatuan Republik Indonesia, saya ingin turut urun rembug terkait hal ini, terutama terkait dengan sebuah hadis yang sangat masyhur. Hadits ini menegaskan bahwa kebenaran pemahaman terhadap sebuah dalil itu tidak tunggal. Menghadirkan hadis ini untuk menyelesaikan perselisihan yang sering sekali terulang di Indonesia akan menjadi solusi strategis untuk memunculkan masyarakat muslim Indonesia yang lebih baik.
Hadis ini diawali dengan adanya Perang Ahzab yang menyeret Bani Quraizhah pada pengkhianatan memusuhi Islam yang awalnya sudah berjanji akan saling membela jika salah satu pihak diserang. Rasulullah SAW kemudian mengirim para sahabatnya menuju perkampungan Bani Quraizhah dan berpesan supaya tidak Shalat Ashar kecuali di perkampungan itu. Sebagian sahabat ada yang memegang teks lisan Rasulullah SAW, sehingga tidak shalat kecuali di perkampungan itu. Namun sahabat yang lain justru shalat di perjalanan dan yakin bahwa maksud beliau tidak sesuai dengan teks lisan itu. Setelah perkara ini disampaikan kepada Rasulullah SAW, beliau tidak mencela salah satu dari pihak ini. Respon Rasulullah SAW ini dapat dimanaknai bahwa kedua belah pihak diperbolehkan dalam pemahamannya masing-masing.
Demikian kami sertakan hadis tersebut dengan redaksi dari Imam Bukhari nomor 956,
: : :
 Rasulullah SAW bersabda kepada kami sekembali dari perang ahzab (ketika mengirim kami ke perkampungan Bani Quraizhah) : Sungguh janganlah Shalat Ashar seorangpun (dari kalian) kecuali di perkampungan Bani Quraizhah! Kemudian waktu Ashar menjumpai mereka di jalan, sehingga sebagian mereka berkata: "kita tidak salat sampai kita sampai ke sana". Sebagian lain berkata: "Kita salat, (karena) yang diinginkan untuk kita tidak seperti (teks lisan) itu". Hal ini diceritakan kepada Nabi Muhammad SAW, maka beliau tidak mencela salah satu pihak di antara mereka. HR Bukhari No. 946
Hadis tersebut memperlihatkan kebijakan Rasulullah SAW dalam merespon cara atau metode pemahaman dari para sahabatnya. Ada golongan sahabat yang memahami pesan beliau secara tekstual. Namun, ada golongan sahabat lain yang memahami pesan tersebut secara kontekstual. Ibnu Taimiyah dalam Kitab Muqaddimah fi Ushul Al-Tafsir menceritakan bahwa alasan golongan sahabat yang melaksanakan Shalat Ashar di jalan adalah waktu Shalat Ashar yang sudah sempit. Hal ini yang mendorong para sahabat itu untuk melaksanakan salat di jalan dan memahami teks lisan yang disampaikan Rasulullah itu tidak secara tekstual. Ada esensi yang terkandung dalam teks lisan tersebut, namun tidak dimunculkan secara eksplisit.
Fenomena pemahaman sahabat dalam hadis tersebut sangat relevan jika dihubungkan dengan fenomena pemahaman hadis rukyah yang terjadi di masyarakat muslim Indonesia. Sebagian pihak memahami hadis tersebut secara tekstual, sehingga mewajibkan rukyah hilal inderawi. Pihak lainnya memahami hadis tersebut secara kontekstual, sehingga membolehkan hisab atau hitungan untuk menentukan awal bulan Ramadan dan Syawal. Seandainya Kementerian Agama sebagai representasi ulul amri dapat menempatkan diri sebagai hakim atau penentu keputusan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, maka keputusan itu akan menyejukkan dan mendamaikan masyarakat muslim Indonesia. Keputusan tersebut harus menjaga kehormatan tiap pihak, menjadi solusi bersama (win-win solution), dan mengarah pada kemaslahatan yang berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H