Namun, saya juga memilih pendapat bahwa tujuan yang benar, tidak melazimkan cara yang tidak sesuai menjadi sesuai. Maka, saya memilih untuk menyuarakan pada generasi yang lebih muda untuk kembali introspeksi. Hal yang telah mati saat ini adalah bagaimana sesuatu itu dinilai bukan dari sisi pragmatis dan praktis. Namun dilihat dari sisi makna filosofis yang ada dibelakangnya.
Saya pernah mendengar suatu seminar yang diadakan oleh salah seorang mantan petinggi di BUMN. Saat pendapatan yang didapat dari orang tersebut dinilai oleh anak-anaknya lebih kecil dibanding istrinya, para anaknya memandang sebelah mata pekerjaan sang ayah. Sang ayah tsb sekaligus pengisi materi menamai fenomena tsb sebagai kegagalan para generasi muda dalam menilai sesuatu. Yap, paradigma yang ditunjukkan oleh anaknya adalah soal pragmatis dan praktis.Â
Di sisi lain, salah seorang praktisi perusahaan pernah mendorong bawahannya agar berusaha utk menjadi pimpinan perusahaan karena nilai materi yang lebih tinggi. Kembali paradigma yang digunakan merupakan paradigma yang sangat rendah derajatnya bagi makhluk mulai bernama manusia. Bahkan ironinya ada pihak yang dahulunya keras terhadap sesuatu, namun setelah diberikan berbagai macam kenikmatan yang sifatnya materiil, maka ideologi orang tersebut berubah secara total.
Dalam Al-Quran, umat muslim disebut sebagai umat terbaik dikarenakan salah satu aspeknya adalah upaya mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dalam hadits, dijelaskan bahwa upaya mencegah kemungkaran memiliki level tingkatan. Tingkatan paling rendah adalah mengingkari dalam hati dan tertinggi adalah merubah dengan sikap.Â
Dalam penjelasannya, level merubah dengan sikap merupakan level bagi orang tertentu yang memiliki kemampuan untuk merubahnya sembari dapat meminimalisir mudharat dari upaya tsb. Dalam riwayat yang lain, dijelaskan bahwa manusia terbaik adalah manusia yang dapat bermanfaat bagi orang lain.Â
Terkait kebermanfaatan, tidak ada manfaat paling mulia yang dapat menghasilkan amal jariyah selain bermanfaat dalam konteks syariat Islam. Maka, kaitannya dengan hal tsb, saya sampaikan dengan keras bahwa orientasi jabatan atau para pemangku kebijakan seharusnya ada pada kesadaran bahwa dia lah yang mampu merubah dari yang buruk menjadi baik.Â
Tidak ada tolong menolong dalam hal keburukan bahkan lebih parah jika dia lah yang mendorong keburukan. Maka, jangan bangga dengan jabatan kalau justru yang dihasilkan adalah pelanggaran syariat seperti yang terjadi baru ini terkait pelepasan jilbab. Lebih lanjut lagi, celakalah orang yang berorientasi terhadap materi dari sebuah jabatan entah dalam level pemerintahan atau lainnya dibandingkan pengaruh apa yang bisa dia perbuat untuk membimbing bawahannya kepada kebaikan.
Setelah saya baca, ternyata cukup panjang juga tulisan kali ini dibanding tulisan-tulisan saya sebelumnya. Terakhir, saya tetap berharap bagi para generasi muda untuk kembali introspeksi dan membuat mimpi yang bermanfaat bagi keluarga, masyarakat, bangsa, dan agama. Jangan mengecilkan diri dengan membuat kita menjadi sandera dari dunia karena kita sebagai manusia seharusnya diciptakan untuk tujuan yang mulia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H