Banyak kisah kemalangan, kepedihan, kenestapan di sekeliling kita. Roda ekonomi yang tersendat berputar akibat wabah pandemi dirasakan benar bagi orang-orang kecil. Kisah-kisah menyedihkan terserak di depan mata.Â
Terkadang kita menjadi pengecut, hanya bisa mengelus dada tanpa bisa membantu lebih. Mungkin nasib kita juga tak kalah menyedihkan seperti nasib mereka.
Tidak dosa menjadi pengemis. Penjual koran itu juga tak mau menjual nestapa. Ia tidak mau orang membeli koran berdasar rasa iba dan kasihan.
Kodrat manusia bekerja agar bisa melanjutkan hidup. Tak soal jika tidak menjadi kaya meski sudah kerja bertahun-tahun di sepanjang hidup. Asal dia tidak putus asa, memilih bunuh diri, itu kemenangan sejati.
Hidup ngirit atau mati! Sehari bisa makan nasi sayur tanpa lauk sudah menjadi kemewahan. Terkadang kemiskinan bisa mengakibatkan seseorang berbuat jahat. Orang bisa saja tidak jujur dan menghalalkan segala cara.Â
Kerja haram aja susah, apalagi yang halal. Dibela-belain berbohong aja susah cari makan apalagi kalau jujur. Begitu alibinya.Â
Mencari jalan hidup yang kelak tidak akan disesali di kemudian hari menjadi harapan. Barangkali pilihan itu teramat menyedihkan, tetapi tak perlu disesali. Juga tak perlu rendah diri.Â
Siapa bisa mengubah takdir? Â Itu atas kehendak Tuhan dan upaya masing-masing. Jika sudah maksimal berusaha tapi nasib masih tak berubah? Pasrah dan ikhlas!
Orang-orang kecil, orang-orang berpenghasilan kecil. Mereka yang masih harus berjuang mempertahankan hidup. Seorang nenek mengendong bakul berisi sayuran. Perempuan-perempuan mengelilingi kampung menawarkan jasa memperbaiki kasur atau payung.
Juga lelaki berkeliling menawarkan jasa pengisian korek gas, penjual racun tikus, dan penjual pisau dan beragam peralatan dapur.Â
Jika orang-orang kecil ini tidak bermental baja, tidak tabah menjalani kehidupan, cukuplah memakan racun tikus atau menggunakan pisau untuk membegal. Nauzubillah.Â