Suatu siang di tengah terik kemarau, dua pejuang rupiah mengadu nasib di pinggir lampu lalu lintas. Berderet mobil berhenti ketika lampu lalu lintas berkedip merah. Kedua lelaki paruh baya berjalan setengah tergesa, berharap mampu mengumpulkan rezeki dari para pengendara mobil.
Dua lelaki mencari peruntungan. Lelaki yang nampak lebih tua menawarkan koran terbitan lokal dan nasional. Dia melangkah perlahan. Wajahnya tampak kumal berdebu dan berkeringat.Â
Tiga hingga lima mobil ia hampiri, tak ada satu pun yang mau membeli koran. Ia bernapas berat. Barangkali sejak pagi tak banyak orang yang membeli koran.
Sedang lelaki yang lebih muda menyorongkan tangan meminta belas kasihan. Tak segan ia mengetuk kaca mobil dengan maksud mengetuk pintu rasa iba pengendara mobil.
Demi sesuap nasi lelaki itu merendahkan diri menjadi peminta-minta. Nasibnya lebih beruntung ketimbang lelaki penjual koran. Ia berhasil mengumpulkan beberapa lembar uang ribuan dari pengendara.
Robekan nestapa berserakan di jalan-jalan. Kita sering menjumpainya. Saya menyaksikan peristiwa menyayat hati itu dalam berbagai kesempatan.Â
Seorang penjual koran tak terlihat membawa uang di tangan. Entah jika dia menyimpan uang di kantong. Pemandangan berbeda, si peminta-minta tampak menggenggam uang pecahan dua ribuan dan lima ribuan di tangan kirinya sekira lebih dari Rp20 ribu. Belum termasuk uang yang ia simpan dalam tas cangklong kecil.
Sang penjual koran sadar nasibnya tak seberuntung si peminta-minta.
Acapkali kita melihat pemandangan memprihatinkan di depan mata. Kita terkadang lebih mudah mengulurkan uang kepada pengemis, orang yang menjual kenestapan, orang yang menggadaikan kemalangan.Â
Sedang kita enggan menghargai kerja keras dari orang yang mengupayakan nafkah dengan cara halal.
Untuk apa membeli koran? Begitu kira-kira alasan, ketika kita bisa menggenggam informasi bermodal kuota internet dan gawai canggih.