Mohon tunggu...
Miftahul Abrori
Miftahul Abrori Mohon Tunggu... Freelancer - Menjadi petani di sawah kalimat

Lahir di Grobogan, bekerja di Solo. Email: miftah2015.jitu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Robekan Nestapa Penjual Koran dan Peminta-minta di Lampu Merah

2 Juli 2020   16:45 Diperbarui: 3 Juli 2020   02:11 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi penjual koran. (Sumber foto: deviantart.com)

Suatu siang di tengah terik kemarau, dua pejuang rupiah mengadu nasib di pinggir lampu lalu lintas. Berderet mobil berhenti ketika lampu lalu lintas berkedip merah. Kedua lelaki paruh baya berjalan setengah tergesa, berharap mampu mengumpulkan rezeki dari para pengendara mobil.

Dua lelaki mencari peruntungan. Lelaki yang nampak lebih tua menawarkan koran terbitan lokal dan nasional. Dia melangkah perlahan. Wajahnya tampak kumal berdebu dan berkeringat. 

Tiga hingga lima mobil ia hampiri, tak ada satu pun yang mau membeli koran. Ia bernapas berat. Barangkali sejak pagi tak banyak orang yang membeli koran.

Sedang lelaki yang lebih muda menyorongkan tangan meminta belas kasihan. Tak segan ia mengetuk kaca mobil dengan maksud mengetuk pintu rasa iba pengendara mobil.

Demi sesuap nasi lelaki itu merendahkan diri menjadi peminta-minta. Nasibnya lebih beruntung ketimbang lelaki penjual koran. Ia berhasil mengumpulkan beberapa lembar uang ribuan dari pengendara.

Robekan nestapa berserakan di jalan-jalan. Kita sering menjumpainya. Saya menyaksikan peristiwa menyayat hati itu dalam berbagai kesempatan. 

Seorang penjual koran tak terlihat membawa uang di tangan. Entah jika dia menyimpan uang di kantong. Pemandangan berbeda, si peminta-minta tampak menggenggam uang pecahan dua ribuan dan lima ribuan di tangan kirinya sekira lebih dari Rp20 ribu. Belum termasuk uang yang ia simpan dalam tas cangklong kecil.

Sang penjual koran sadar nasibnya tak seberuntung si peminta-minta.

Acapkali kita melihat pemandangan memprihatinkan di depan mata. Kita terkadang lebih mudah mengulurkan uang kepada pengemis, orang yang menjual kenestapan, orang yang menggadaikan kemalangan. 

Sedang kita enggan menghargai kerja keras dari orang yang mengupayakan nafkah dengan cara halal.

Untuk apa membeli koran? Begitu kira-kira alasan, ketika kita bisa menggenggam informasi bermodal kuota internet dan gawai canggih.

Tentu tidak mudah mencari pekerjaan. Lelaki itu masih nekat menjual koran meski tahu pembeli koran berkurang dari tahun ke tahun. Sangat berkurang drastis.

Bukan rahasia umum jika beberapa koran berhenti terbit. Pengusaha media memilih mengalihkan informasi pada media daring dan digital. Jikapun koran bertahan terbit, jumlah halaman koran berkurang, semakin menipis seiring efisiensi dompet perusahaan. Hidup segan mati tak mau!

Pekerjaan apa yang pantas bagi lelaki bertanggung jawab, suami yang berupaya mencukupi kebutuhan keluarga? Barangkali dalam anggan ia membutuhkan uang untuk keperluan pengobatan istri atau mencari uang saku untuk anak dan cucu.

Hidup memang pilihan tapi terkadang kita tak bisa memilih dan harus menjalani garis hidup yang ditakdirkan. Bukan garis hidup, barangkali hanyalah nasib sial yang tak bisa dihindari.

Menjadi penjual koran, menjadi tukang tambal ban, menjadi pengemis, menjadi pengamen, menjadi pedagang asongan adalah nasib sial (atau justru garis hidup?) yang harus dijalani dengan tabah.

Manusia terpaksa memilih. Apakah dengan mengemis dan mengamen harga diri tidak terinjak-injak? Jika itu jalan terakhir demi bertahan hidup, siapa bisa mengelak?

Apakah pekerjaan yang bagi sebagian orang disebut sebagai pekerjaan rendah termasuk kehinaan?

Tidak semua orang dibekali Tuhan dengan kecukupan materi. Tak perlu materi berlimpah, terkadang sebatas modal usaha membuka warung kecil saja tidak punya.

Begitu pula tidak semua orang bakat menjadi pedagang. Tidak semua orang cakap menawarkan barang dagangan dan mengelola usaha, meski usaha kecil-kecilan. 

Tak melulu seseorang bernasib mujur menjadi karyawan kantoran atau bermasa depan gemilang menjadi pegawai yang berhak mendapat gaji pokok, tunjangan, dan gaji ke-13. Hingga di masa tua cukup hidup bermodal uang tabungan dan uang pensiunan.

Lelaki penjual koran barangkali sadar uang yang ia kumpulkan tak bakal menggunung, tak membuat dia kaya raya. Jika koran yang ia jual tidak laku dia malah menangung rugi. Koran tak bisa dikembalikan sedang ia tetap harus menyetor uang kepada agen.

Banyak kisah kemalangan, kepedihan, kenestapan di sekeliling kita. Roda ekonomi yang tersendat berputar akibat wabah pandemi dirasakan benar bagi orang-orang kecil. Kisah-kisah menyedihkan terserak di depan mata. 

Terkadang kita menjadi pengecut, hanya bisa mengelus dada tanpa bisa membantu lebih. Mungkin nasib kita juga tak kalah menyedihkan seperti nasib mereka.

Tidak dosa menjadi pengemis. Penjual koran itu juga tak mau menjual nestapa. Ia tidak mau orang membeli koran berdasar rasa iba dan kasihan.

Kodrat manusia bekerja agar bisa  melanjutkan hidup. Tak soal jika tidak menjadi kaya meski sudah kerja bertahun-tahun di sepanjang hidup. Asal dia tidak putus asa, memilih bunuh diri, itu kemenangan sejati.

Hidup ngirit atau mati! Sehari bisa makan nasi sayur tanpa lauk sudah menjadi kemewahan. Terkadang kemiskinan bisa mengakibatkan seseorang berbuat jahat. Orang bisa saja tidak jujur dan menghalalkan segala cara. 

Kerja haram aja susah, apalagi yang halal. Dibela-belain berbohong aja susah cari makan apalagi kalau jujur. Begitu alibinya. 

Mencari jalan hidup yang kelak tidak akan disesali di kemudian hari menjadi harapan. Barangkali pilihan itu teramat menyedihkan, tetapi tak perlu disesali. Juga tak perlu rendah diri. 

Siapa bisa mengubah takdir?  Itu atas kehendak Tuhan dan upaya masing-masing. Jika sudah maksimal berusaha tapi nasib masih tak berubah? Pasrah dan ikhlas!

Orang-orang kecil, orang-orang berpenghasilan kecil. Mereka yang masih harus berjuang mempertahankan hidup. Seorang nenek mengendong bakul berisi sayuran. Perempuan-perempuan mengelilingi kampung menawarkan jasa memperbaiki kasur atau payung.

Juga lelaki berkeliling menawarkan jasa pengisian korek gas, penjual racun tikus, dan penjual pisau dan beragam peralatan dapur. 

Jika orang-orang kecil ini tidak bermental baja, tidak tabah menjalani kehidupan, cukuplah memakan racun tikus atau menggunakan pisau untuk membegal. Nauzubillah. 

Ke mana pemerintah? Cukuplah itu jadi bahan demonstrasi, perbincangan politisi dan debat politik di televisi. (Miv)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun