Mohon tunggu...
Miftahul Abrori
Miftahul Abrori Mohon Tunggu... Freelancer - Menjadi petani di sawah kalimat

Lahir di Grobogan, bekerja di Solo. Email: miftah2015.jitu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Celoteh Tiga Kucing Kampung

1 Maret 2020   20:12 Diperbarui: 1 Maret 2020   20:08 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Celoteh Tiga Kucing Kampung

Cerpen Miftahul Abrori 

(Cerpen ini dibukukan oleh Taman Budaya Jawa Tengah dalam antologi cerpen Joglo 20 "Riwayat Kota Mati" pada Februari -2020)

Mataku berkunang-kunang sebab rasa lapar menyiksa perut. Aku melangkah sempoyongan, tak sanggup menahan pening kepala yang teramat menganiaya. Kakiku berjalan goyah, nyaris tanpa tenaga. Seorang laki-laki menaruh piring plastik di pinggir jalan, lalu pergi begitu saja. Aku mendekati piring itu. Tampak seekor ikan bandeng terkapar. Aku celingukan, menoleh kanan-kiri, memastikan tak ada yang mengganggu bandeng santapanku. Aku rakus memakannya. Persetan jika bandeng ini beracun. Aku tak peduli. Setidaknya jika beracun, aku mati dalam keadaan tenang, perut kenyang terisi makanan. Bukan mati memilukan, melawan sekarat sebab kelaparan.

Namaku Blacky. Tapi aku bukanlah anjing. Aku hanya seekor kucing. Manusia menyebutku kucing kampung. Padahal aku berada di kota, sama seperti mereka. Ada yang menyebutku kucing liar, meskipun kami berseliweran di rumah mereka. Kucing seperti kami sering dianggap tak berguna. Layak dimusnahkan karena disebut mengotori pemandangan kota.

Aku bertiga saudara. Aku dilahirkan bersamaan dengan dua adikku. Kucing betina yang centil bernama Luna dan kucing jantan rakus, sama sepertiku, bernama Ariel. Mamaku bernama Cyntia. Dia meninggalkan kami awal bulan tahun ini. Hujan di awal tahun menyerobot kebahagiaan kami. Saat itu kami berempat berteduh di gorong-gorong karena cuaca siang yang terik. Hari yang cerah berubah kelam. Terdengar petir menyambar. Mendung pekat pun mulai bertukar gerimis.

Hujan deras disertai angin lebat membuat kami takut. Selang beberapa jam air menggenangi gorong-gorong. Banjir tak terelakkan. Sial, ujung gorong-gorong mampet akibat tersumbat sampah. Manusia di sekitarku memang hobi buang sampah sembarangan.

Mama menyuruh kami segera keluar dari gorong-gorong menuju daratan. Aku meminta mama ikut bersama kami, tapi dia menolak. Dia memaksaku menyelamatkan diri bersama adik-adikku. Mama malah berenang menuju ujung gorong-gorong. Kaki mungilnya mencerabut sampah. Dari kejauhan aku lihat dia berhasil menarik gundukan sampah: bekas pembalut wanita, popok bayi sekali pakai, dan beragam sampah plastik.

Aku dan dua adikku kepayahan menuju daratan. Sampah-sampah mengalir di selokan bersama air hujan membuat kami kesusahan. Apalagi kami tak pandai berenang. Beruntung kami segera mencapai daratan. Namun nahas, mama Cyntia yang masih di gorong-gorong terbawa arus air yang makin deras. Ia tak bisa menyelamatkan diri. Ia mati mengambang. Kami tak berdaya. Aku sangat menyesal dan kecewa pada diriku sendiri. Sebagai anak tertua aku merasa tak berguna. Aku tak bisa menyelamatkan ibuku sendiri. Aku tak berdaya.

Semenjak ditinggalkan mama kami kelimpungan. Mama biasa membawakan sisa-sisa makanan. Kadang kepala ikan, kadang sisa daging di tulang ayam. Kucing seperti kami tak seberuntung kucing lain yang dipelihara manusia. Manusia lebih gemar melihara kucing ras tertentu yang dibeli dengan harga mahal. Mereka rela menukar rupiah demi menafkahi hobi. Uang ratusan ribu hingga jutaan rupiah terasa ringan dikeluarkan untuk sekadar beli kucing dan makanannya. Jika hewan mahal itu mencret atau tidak nafsu makan, manusia segera pergi ke dokter hewan. Kami bersyukur. Bagaimanapun kami hidup merdeka. Bergerak bebas, tidak terkungkung dalam sangkar seperti kucing mahal.

Aku, Luna dan Ariel hidup di dunia yang sungguh keras. Aku baru tahu mengapa mama dulu sering bergerak waspada. Aku berkali-kali melihat tatapan mata mama terarah pada tumpukan sampah. Ia berjalan waspada, melirik kanan-kiri. Mama berlari gesit ke arah kami bila berhasil mendapatkan makanan. Kami menyambut suka cita kedatangan mama. Kami berebutan sisa makanan dari sampah.

Sepeninggal mama, kami menyambung hidup, lebih tepat bertaruh nyawa di sudut-sudut kota ini. Luna pernah mendapat tendangan dari manusia. Saat itu ia berjalan santai menuju tong sampah di kompleks perumahan mewah. Tendangan kaki manusia bersepatu mendarat tepat di perut Luna. Ia meringis kesakitan. Seketika Luna berlari kencang, menahan sakit dan rasa lapar. Tahukah kau, itulah perasaan sebenar-benarnya terhina. Sudah lapar ditendang pula. Kami merasa hina sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Rasa sakit teramat pedih tiap hari kami rasakan. Beginilah risiko kucing kampung, kucing liar. Kucing yang dianggap tak berguna, hanya mengotori pemandangan kota.

Aku menasihati Luna dan Ariel agar berhati-hati jika berdekatan dengan manusia. Mereka tak pernah mengharapkan kehadiran kami. Pernah kami diberi makanan oleh manusia berupa ikan bandeng segar. Kami pun dengan riang menyantapnya. Baru satu-dua kunyahan, lidahku mencecap rasa aneh saat menyantap ikan itu. Rasa dagingnya agak pahit. Aku tersadar bahwa bandeng itu telah diracun. Beruntung kami masih selamat. Kami memuntahkan ikan itu sebelum sempat terlalu jauh meracuni pencernaan kami.

Jalan hidup membuat kami menjadi kucing liar, kucing yang harus waspada pada setiap gerak-gerik manusia. Kami sadar, kami dilahirkan bukan untuk dipelihara dan dimanja manusia. Selain manusia, kami juga harus berhati-hati saat bertemu anjing. Terkadang Ariel dan anjing bernama Rheino baku hantam memperebutkan tulang ayam. Ariel beberapa kali menang, tapi lebih sering kalah. Terang saja Ariel kalah. Rheino lebih gemuk, lebih besar, dan tenaganya lebih kuat. Berbeda dengan kami berbadan kurus karena jarang makan.

Lagi-lagi kami bersyukur, kami diciptakan menjadi kucing. Ariel berceloteh kepadaku kalau tadi malam dia melihat segerombolan pemuda menangkap Rheino. Anjing itu dimasukkan karung lalu dipukuli hingga meregang nyawa. Nasib Rheino berakhir di kuali menjadi hidangan penghangat malam. Sadis benar orang-orang di kota ini.

Aku pernah memarahi Ariel dan Luna. Mereka tak bisa menahan lapar sehingga menerkam anak ayam untuk dijadikan pengganjal perut. Kasihan anak ayam itu tak berkutik disergap keduanya. Aku berkata kepada Ariel dan Luna jika anak ayam tak layak dijadikan mangsa. Tikus-tikus got lah yang pantas jadi buruan. Ariel membantah. Tikus sekarang sudah semakin langka. Manusia membunuh hewan yang dianggap hama itu dengan alat perangkap dan racun. Kalau toh masih ada tersisa, hanya tikus-tikus besar yang kebal racun. Badannya terkadang lebih besar daripada kami. Mana mungkin kami berani menangkapnya.

Menjadi kucing kampung memaksa kami mempertaruhkan nyawa setiap saat. Aku pernah mendapat tulah. Saat itu aku hendak menyeberangi jalan raya menuju tumpukan sampah di dekat pasar. Aku memberanikan diri meski jalanan padat kendaraan. Aku waswas, takut tertabrak motor atau mobil. Sudah lapar tertabrak, mati pula . Bukankah itu sangat tragis?! Aku berlari kencang namun kaki kiri belakangku terlindas ban sepeda motor. Aku menjerit keras. Tulang kakiku remuk. Andai aku bisa menangis seperti manusia pasti aku sudah tersedu-sedu di pinggir jalan. Aku menepi dari jalan raya. Darah segar menetes dari kakiku. Aku masih bersyukur ban motor itu tidak melindas kepalaku.

Jika ada yang beranggapan bahwa kucing punya sembilan nyawa, jatuh berkali-kali tidak mati, dia harus merasakan apa yang kami rasakan. Barangkali karena kami lihai menyeimbangkan otot dan gerakan tubuh sehingga kami bisa terhindar dari cedera saat melompat. Jika kami ditabrak atau diinjak sakit juga ini badan.

Sejak kecelakaan itu aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku sering meringkuk dan bersembunyi di semak-semak. Aku kelaparan karena tak bisa mencari makanan. Luna dan Ariel tak bisa membantuku. Ia bahkan juga kesusahan sekadar mengisi perutnya sendiri. Barangkali karena kasihan, seorang lelaki muda menghampiriku. Ia penulis kambuhan. Senang menulis puisi dan cerpen, tapi jarang dimuat media. Ia mencoba meraihku. Aku kaget dan mencakar tangannya hingga berdarah. Aku takut dengan manusia.

Hari itu dia memberiku ikan bandeng. Aku trauma dengan ikan bandeng beracun yang hampir membunuh kami waktu itu.  Aku tak percaya manusia. Dia pilih kasih pada binatang yang sama-sama ciptaan Tuhan. Tapi, rasa lapar  membuatku mendekati bandeng itu. Aku rakus memakannya. Persetan bandeng beracun. Setidaknya jika itu beracun aku mati dalam keadaan perut kenyang. Bukan mati kelaparan. Esok hari aku masih bernapas. Berarti bandeng itu tidak beracun. Berarti lelaki itu tak berniat jahat. Berarti lelaki itu manusia baik.

Lelaki itu kembali datang. Kali ini membawa ikan asin. Aku segera memanggil Ariel dan Luna. Keduanya sempat ragu melihat ikan asin yang aku sodorkan. Keduanya ternyata juga takut jika makanan itu beracun. Aku meyakinkan mereka jika aku pernah memakan ikan bandeng pemberian lelaki itu dan aku masih hidup hingga sekarang.

Aku mulai jinak dan tak beringas lagi. Lelaki itu mengelus bulu-buluku. Aku merasa nyaman. Seperti inikah rasa menjadi hewan piaraan? Ia terhenyak saat melihat kakiku bernanah. Ia memasukkanku dalam sangkar. Aku berteriak, meronta. Aku tak mau jadi hewan piaraan. Biarkan aku menjadi kucing kampung, kucing liar, menjadi hewan merdeka. Ternyata lelaki itu membawaku ke dokter hewan. Syukurlah, selang berapa hari setelah diobati dokter aku sudah bisa berjalan, meski tertatih. Lelaki itu pula yang menamai kami Blacky, barangkali karena warna buluku hitam. Sedang adik-adikku yang berbulu putih bercampur kuning dinamai Ariel dan Luna.

Hanya beberapa minggu lelaki itu memberi kami makan ikan. Setelah itu ia sering memberi makan kami nasi putih dicampuri potongan ikan asin atau bandeng. Aku mengendus nasi campur itu seakan mau muntah. Berapa sih harga ikan? Berapa banyak rupiah untuk menafkahi hobi merawat kami? Itu bukan harga yang mahal! Aku tersadar, dengar-dengar honor penulis tidak terlalu besar. Aku pun pasrah. Kami mulai memakan nasi campur ikan. Meski perut kami mual, belum terbiasa menyantapnya. Setidaknya kami tidak mati kelaparan.

Miftahul Abrori, Lahir 13 Juli di Pulokulon, Grobogan, Jawa Tengah. Juara 3 Lomba Menulis Cerpen Solopos (2011) dan peraih Penghargaan Puisi Terbaik Ukara Geni dari Buletin Sastra Pawon (2012). Penulis adalah alumnus MA Al-Muayyad dan UNU Surakarta. Pernah menimba ilmu jurnalistik sebagai wartawan di berbagai media dan redaktur Majalah SERAMBI AL-MUAYYAD, kini mengabdikan diri sebagai pembimbing ekskul jurnalistik dan sastra di SMP Al-Muayyad Solo. Tulisan-tulisan anggota PERGUNU Solo dan LTN NU Solo ini bisa dijumpai di kompasiana.com/miftah2015.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun