Sepeninggal mama, kami menyambung hidup, lebih tepat bertaruh nyawa di sudut-sudut kota ini. Luna pernah mendapat tendangan dari manusia. Saat itu ia berjalan santai menuju tong sampah di kompleks perumahan mewah. Tendangan kaki manusia bersepatu mendarat tepat di perut Luna. Ia meringis kesakitan. Seketika Luna berlari kencang, menahan sakit dan rasa lapar. Tahukah kau, itulah perasaan sebenar-benarnya terhina. Sudah lapar ditendang pula. Kami merasa hina sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Rasa sakit teramat pedih tiap hari kami rasakan. Beginilah risiko kucing kampung, kucing liar. Kucing yang dianggap tak berguna, hanya mengotori pemandangan kota.
Aku menasihati Luna dan Ariel agar berhati-hati jika berdekatan dengan manusia. Mereka tak pernah mengharapkan kehadiran kami. Pernah kami diberi makanan oleh manusia berupa ikan bandeng segar. Kami pun dengan riang menyantapnya. Baru satu-dua kunyahan, lidahku mencecap rasa aneh saat menyantap ikan itu. Rasa dagingnya agak pahit. Aku tersadar bahwa bandeng itu telah diracun. Beruntung kami masih selamat. Kami memuntahkan ikan itu sebelum sempat terlalu jauh meracuni pencernaan kami.
Jalan hidup membuat kami menjadi kucing liar, kucing yang harus waspada pada setiap gerak-gerik manusia. Kami sadar, kami dilahirkan bukan untuk dipelihara dan dimanja manusia. Selain manusia, kami juga harus berhati-hati saat bertemu anjing. Terkadang Ariel dan anjing bernama Rheino baku hantam memperebutkan tulang ayam. Ariel beberapa kali menang, tapi lebih sering kalah. Terang saja Ariel kalah. Rheino lebih gemuk, lebih besar, dan tenaganya lebih kuat. Berbeda dengan kami berbadan kurus karena jarang makan.
Lagi-lagi kami bersyukur, kami diciptakan menjadi kucing. Ariel berceloteh kepadaku kalau tadi malam dia melihat segerombolan pemuda menangkap Rheino. Anjing itu dimasukkan karung lalu dipukuli hingga meregang nyawa. Nasib Rheino berakhir di kuali menjadi hidangan penghangat malam. Sadis benar orang-orang di kota ini.
Aku pernah memarahi Ariel dan Luna. Mereka tak bisa menahan lapar sehingga menerkam anak ayam untuk dijadikan pengganjal perut. Kasihan anak ayam itu tak berkutik disergap keduanya. Aku berkata kepada Ariel dan Luna jika anak ayam tak layak dijadikan mangsa. Tikus-tikus got lah yang pantas jadi buruan. Ariel membantah. Tikus sekarang sudah semakin langka. Manusia membunuh hewan yang dianggap hama itu dengan alat perangkap dan racun. Kalau toh masih ada tersisa, hanya tikus-tikus besar yang kebal racun. Badannya terkadang lebih besar daripada kami. Mana mungkin kami berani menangkapnya.
Menjadi kucing kampung memaksa kami mempertaruhkan nyawa setiap saat. Aku pernah mendapat tulah. Saat itu aku hendak menyeberangi jalan raya menuju tumpukan sampah di dekat pasar. Aku memberanikan diri meski jalanan padat kendaraan. Aku waswas, takut tertabrak motor atau mobil. Sudah lapar tertabrak, mati pula . Bukankah itu sangat tragis?! Aku berlari kencang namun kaki kiri belakangku terlindas ban sepeda motor. Aku menjerit keras. Tulang kakiku remuk. Andai aku bisa menangis seperti manusia pasti aku sudah tersedu-sedu di pinggir jalan. Aku menepi dari jalan raya. Darah segar menetes dari kakiku. Aku masih bersyukur ban motor itu tidak melindas kepalaku.
Jika ada yang beranggapan bahwa kucing punya sembilan nyawa, jatuh berkali-kali tidak mati, dia harus merasakan apa yang kami rasakan. Barangkali karena kami lihai menyeimbangkan otot dan gerakan tubuh sehingga kami bisa terhindar dari cedera saat melompat. Jika kami ditabrak atau diinjak sakit juga ini badan.
Sejak kecelakaan itu aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku sering meringkuk dan bersembunyi di semak-semak. Aku kelaparan karena tak bisa mencari makanan. Luna dan Ariel tak bisa membantuku. Ia bahkan juga kesusahan sekadar mengisi perutnya sendiri. Barangkali karena kasihan, seorang lelaki muda menghampiriku. Ia penulis kambuhan. Senang menulis puisi dan cerpen, tapi jarang dimuat media. Ia mencoba meraihku. Aku kaget dan mencakar tangannya hingga berdarah. Aku takut dengan manusia.
Hari itu dia memberiku ikan bandeng. Aku trauma dengan ikan bandeng beracun yang hampir membunuh kami waktu itu.  Aku tak percaya manusia. Dia pilih kasih pada binatang yang sama-sama ciptaan Tuhan. Tapi, rasa lapar  membuatku mendekati bandeng itu. Aku rakus memakannya. Persetan bandeng beracun. Setidaknya jika itu beracun aku mati dalam keadaan perut kenyang. Bukan mati kelaparan. Esok hari aku masih bernapas. Berarti bandeng itu tidak beracun. Berarti lelaki itu tak berniat jahat. Berarti lelaki itu manusia baik.
Lelaki itu kembali datang. Kali ini membawa ikan asin. Aku segera memanggil Ariel dan Luna. Keduanya sempat ragu melihat ikan asin yang aku sodorkan. Keduanya ternyata juga takut jika makanan itu beracun. Aku meyakinkan mereka jika aku pernah memakan ikan bandeng pemberian lelaki itu dan aku masih hidup hingga sekarang.
Aku mulai jinak dan tak beringas lagi. Lelaki itu mengelus bulu-buluku. Aku merasa nyaman. Seperti inikah rasa menjadi hewan piaraan? Ia terhenyak saat melihat kakiku bernanah. Ia memasukkanku dalam sangkar. Aku berteriak, meronta. Aku tak mau jadi hewan piaraan. Biarkan aku menjadi kucing kampung, kucing liar, menjadi hewan merdeka. Ternyata lelaki itu membawaku ke dokter hewan. Syukurlah, selang berapa hari setelah diobati dokter aku sudah bisa berjalan, meski tertatih. Lelaki itu pula yang menamai kami Blacky, barangkali karena warna buluku hitam. Sedang adik-adikku yang berbulu putih bercampur kuning dinamai Ariel dan Luna.