Mohon tunggu...
Miftahul Abrori
Miftahul Abrori Mohon Tunggu... Freelancer - Menjadi petani di sawah kalimat

Writer & Citizen Journalist. Lahir di Grobogan, bekerja di Solo. Email: miftah2015.jitu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kisah Haru Pengidap Kanker yang Tak Lulus Ujian Nasional

21 Desember 2019   14:48 Diperbarui: 21 Desember 2019   23:07 1267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Astria (berdiri no.5 dari kiri) bersama teman sekolahnya. Meski mengidap kanker ia tetap semangat bersekolah hingga akhir hayat. Dok. SMA Al-Muayyad

"Jangan kasihani aku. Jangan menangis di hadapanku. Nanti membuat aku sedih, nelangsa. Anggaplah aku orang normal seperti yang lain."

SOLO - Kisah inspiratif dan mengharukan dituliskan Faridah Budiastuti, guru Biologi di SMA Al-Muayyad Solo. Faridah mengenang Astria melalui unggahan foto dan tulisan di media sosial Facebook, 19 Desember 2019.

Astria adalah murid yang tetap semangat belajar hingga akhir hayat meski mengidap penyakit kanker. Astria berasal dari Salatiga, Jawa Tengah. Ia santri di Pesantren Al-Muayyad Solo sekaligus murid di SMP Al-Muayyad (2000 - 2003) dan SMA Al-Muayyad (2003 - 2006).

Faridah menyatakan Astria sama seperti murid pada umumnya. Ia dikenal sebagai anak yang ramah dan ceria. Namun, menginjak akhir kelas 2 tahun 2005, keceriaan wajah Astria perlahan memudar akibat penyakit yang tergolong mematikan. Diagnosis dokter menyatakan Astria mengidap kanker.

Astria tak sekuat dan trengginas seperti dulu. Ia mudah capek dan lemah. Fisiknya mengalami perubahan drastis, ia terlihat sangat kurus dan rapuh.

Dari hari ke hari kondisi fisiknya berubah akibat kanker yang diderita. Kulit tubuh yang kuning langsat berubah menghitam, tak terkecuali wajahnya.

Meski menurut pandangan umum kondisi Astria sangat memprihatinkan, ia tak mau dikasihani. Ia tetap semangat menjalani hidup, meski ia sadar itu tak akan lama lagi.

Langkah kakinya terseok-seok, tubuh mungilnya kian hari kian ringkih. Namun itu tidak mematahkan semangatnya menuntut ilmu. Ia tak menyerah meski kadang ambruk, jalan sempoyongan dalam perjalanan ke sekolah. 

Tak jarang ia hanya tertunduk lesu di pojokan tangga lantai satu karena kehabisan tenaga. Ia berusaha mengatur napas, mengumpulkan tenaga sebelum menaiki tangga. Perlu kekuatan lebih bagi Astria mencapai ruang kelasnya di lantai 3.

Astria sering dibantu teman-temannya menuju kelas. Salah satu teman sekolah Erma Nailan Bilbina mengisahkan Astria menjadi penyemangatnya. 

Saat yang lain bermalas-malasan, Astria dengan kondisi yang menyedihkan masih semangat bersekolah. 

"Naik tangga saja Astria sudah tak mampu. Kami bergantian menggendongnya hingga lantai tiga," kenang Erma melalui ruang komentar Facebook.

Suatu hari Erma mengatakan kepada Astria agar tidak melanjutkan sekolah. "Kesehatanmu semakin menurun, Astria. Enggak usah sekolah saja.'

 Lalu Astria menjawab, "sebelum aku diambil Allah aku tak mau menyia-yiakan waktu yang diberikan ini."  

"Aja mesakno aku. Aja nangis neng ngarepku. Engko marai aku nelangsa. Anggapen aku iki wong normal kaya liyane. (Jangan kasihani aku. Jangan menangis di hadapanku. Nanti membuat aku sedih, nelangsa. Anggaplah aku orang normal seperti yang lain). Biar aku tetap kuat dan semangat menjalani semua cita-citaku,"  kenang Erma mengulangi pembicaraannya dengan Astria.

Astria gadis yang kuat. Ia tak mau kondisi kesehatan yang semakin memburuk menimbulkan rasa iba dan kasihan. Begitu pun ia tak mau para guru memberi dispensasi nilai berdasar rasa iba. Ia tetap mengikuti pelajaran dan ujian praktik sekolah menjelang kelulusan.

Guru Olahraga Isnaini Sri Hidayah menceritakan kenangannya. Saat itu ujian praktik olahraga bertempat di Lapangan Kota Barat, berjarak 1,5 kilometer dari SMA Al-Muayyad. 

Astria tak pernah mengeluh atas sakitnya. Ia tak pernah merasa sakit. Ia tabah dan sabar meski penyakit itu sewaktu-waktu merenggutnya. Dengan langkah tertatih ia tetap menyusul teman-temannya ke Kota Barat mengikuti ujian praktik. Ia diantar tukang becak menuju lapangan.

Isnaini terenyuh melihat kegigihan Astria. Ia memaklumi kondisi kesehatan Astria. Sehingga memberi dispensasi nilai. Murid itu tak memungkinkan mengikuti praktik olahraga. Dengan mata berkaca Isnaini meminta Astria pulang. Ia melihat becak yang dinaiki Astria dengan hati berkecamuk dan air mata yang meleleh.

Di tengah kondisi yang semakin memburuk, Astria terus semangat belajar. Apalagi menjelang Ujian Nasional (UN). Ia berhasil mengerjakan karya tulis berupa penelitian tentang  pengaruh kehadiran guru mengaji terhadap kerajinan santri. Faridah menyatakan jika tugas penelitian sebagai syarat wajib bagi siswa mengikuti UN.

Guru Bahasa Indonesia Soimatun ikut mengenang kegigihan Astria. Gadis itu selalu menjadi inspirasi bagi orang-orang di dekatnya. Bahkan, bagi orang yang hanya mendengar kisahnya, meski tidak mengenal secara langsung.

Suatu hari Astria menemui Soimatun di kantor sekolah. Ia menanyakan mengapa tidak ada guru penguji yang mengoreksi hasil penelitian atau karya tulisnya.

"Bu Soim, kenapa saya tidak diberi Penguji untuk ujian Karya tulis saya," tanya Astria

"Nduk Astria, kamu sudah tidak perlu ujian. Kamu sudah luar biasa
bisa menyelesaikan karya tulis kamu," terang Soimatun.

Astria tetap gigih, "Ibu, toloong jangan memberi dispensasi ke saya. Itu sudah tanggungjawab saya untuk menyelesaikan sampai ujian."

Soimatun tak kuasa menahan air matanya. Dengan kalimat lembut ia berkata, "iya, tapi ibu sudah bisa memberi nilai dengan melihat proses yang kamu lakukan."

"Tolong, Bu. Kalau begitu Ibu bisa menguji saya."

Astria meminta gurunya menguji penelitian saat itu juga. Dengan suara parau dan terbatuk-batuk Astria mempresentasikan penelitian. Meski dengan susah payah mengingat judul dan isi karya tulisnya.

"Kalau lupa, sudahlah jangan dipaksakan," kata Soimatun.

"Bentar, Ibu. Biar saya mengingatnya lagi."

Astria berhasil menyebutkan judul penelitian meski judul yang diucapkan tidak sempurna.

"Alhamdulillah. Bagus kamu sudah ingat judulmu. Hebat," puji Soimatun. Pertanyaan ibu cukup itu saja. Saya sudah yakin bahwa kamu pasti juga akan bisa menjawab semuanya."

"Tapi saya ingin cerita isi karya tulis saya." Astria mampu menyampaikan isi karya tulisnya meski hanya beberapa kalimat.

Soimatun tidak bisa konsentrasi mendengar paparan penelitian Astria. Ia tak kuasa menahan haru hingga meneteskan air mata.

Dalam unggahan di Facebook, Faridah Budiastuti menyatakan jika para guru di SMA Al-Muayyad kerap menceritakan kisah perjuangan hebat Astria melawan kanker kepada murid-murid. Juga perjuangan tanpa lelah bersekolah, penuh semangat menghadapi Ujian Nasional di tengah kondisi fisik serba terbatas.

Namun, usaha keras Astria tidak mendapatkan hasil memuaskan. Ia dinyatakan tidak lulus karena nilai UN di bawah standar nilai kelulusan.

"Segala perjuangannya untuk lulus tak berbalas. UN yang mematok nilai tertentu membuatnya tak berhak mendapatkan selembar ijazah di akhir hidupnya."

"Nilainya kurang sedikit di mapel Matematika, dan ia pulang dengan sedih. Kami gurunya tak berdaya, bahkan untuk memberinya kenang-kenangan selembar kertas yang pasti tak akan dapat ia gunakan," tulis Faridah.

Sekitar sebulan setelah hari pengumuman kelulusan pada tahun 2006 Astria wafat dalam keadaan yang sangat indah, meninggal setelah/ sedang salat zuhur. 

Pada detik-detik terakhir ia masih ingat kewajiban seorang hamba kepada Allah. Dengan sisa-sisa tenaga ia digandeng keluarga menuju kamar mandi untuk berwudlu. Kemudian Astria salat dengan cara berbaring di tempat tidur. Tak selang berapa lama ternyata ia tidur untuk selamanya.

Ia meninggalkan cerita dan semangat yang tak tergantikan. Kini, raganya memang tak bisa dijumpai, namun jiwa pantang menyerahnya tetap abadi dan melekat di hati teman dan gurunya.

"UN memang kejam. Bahkan kami tak bisa memberikan selembar ijazah kepada seorang anak yang berusaha keras belajar, hanya karena  di saat terakhirnya ia tak mampu mencapai nilai UN yang ditetapkan," tutup Faridah di akhir tulisannya. (Miv).

Catatan: Artikel ini berdasarkan kisah nyata yang ditulis Faridah Budiastuti di media sosial Facebook berjudul "Selembar Ijazah yang Tak Dimiliki". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun