"Naik tangga saja Astria sudah tak mampu. Kami bergantian menggendongnya hingga lantai tiga," kenang Erma melalui ruang komentar Facebook.
Suatu hari Erma mengatakan kepada Astria agar tidak melanjutkan sekolah. "Kesehatanmu semakin menurun, Astria. Enggak usah sekolah saja.'
 Lalu Astria menjawab, "sebelum aku diambil Allah aku tak mau menyia-yiakan waktu yang diberikan ini." Â
"Aja mesakno aku. Aja nangis neng ngarepku. Engko marai aku nelangsa. Anggapen aku iki wong normal kaya liyane. (Jangan kasihani aku. Jangan menangis di hadapanku. Nanti membuat aku sedih, nelangsa. Anggaplah aku orang normal seperti yang lain). Biar aku tetap kuat dan semangat menjalani semua cita-citaku,"Â kenang Erma mengulangi pembicaraannya dengan Astria.
Astria gadis yang kuat. Ia tak mau kondisi kesehatan yang semakin memburuk menimbulkan rasa iba dan kasihan. Begitu pun ia tak mau para guru memberi dispensasi nilai berdasar rasa iba. Ia tetap mengikuti pelajaran dan ujian praktik sekolah menjelang kelulusan.
Guru Olahraga Isnaini Sri Hidayah menceritakan kenangannya. Saat itu ujian praktik olahraga bertempat di Lapangan Kota Barat, berjarak 1,5 kilometer dari SMA Al-Muayyad.Â
Astria tak pernah mengeluh atas sakitnya. Ia tak pernah merasa sakit. Ia tabah dan sabar meski penyakit itu sewaktu-waktu merenggutnya. Dengan langkah tertatih ia tetap menyusul teman-temannya ke Kota Barat mengikuti ujian praktik. Ia diantar tukang becak menuju lapangan.
Isnaini terenyuh melihat kegigihan Astria. Ia memaklumi kondisi kesehatan Astria. Sehingga memberi dispensasi nilai. Murid itu tak memungkinkan mengikuti praktik olahraga. Dengan mata berkaca Isnaini meminta Astria pulang. Ia melihat becak yang dinaiki Astria dengan hati berkecamuk dan air mata yang meleleh.
Di tengah kondisi yang semakin memburuk, Astria terus semangat belajar. Apalagi menjelang Ujian Nasional (UN). Ia berhasil mengerjakan karya tulis berupa penelitian tentang  pengaruh kehadiran guru mengaji terhadap kerajinan santri. Faridah menyatakan jika tugas penelitian sebagai syarat wajib bagi siswa mengikuti UN.
Guru Bahasa Indonesia Soimatun ikut mengenang kegigihan Astria. Gadis itu selalu menjadi inspirasi bagi orang-orang di dekatnya. Bahkan, bagi orang yang hanya mendengar kisahnya, meski tidak mengenal secara langsung.
Suatu hari Astria menemui Soimatun di kantor sekolah. Ia menanyakan mengapa tidak ada guru penguji yang mengoreksi hasil penelitian atau karya tulisnya.