Mohon tunggu...
Miftahul Abrori
Miftahul Abrori Mohon Tunggu... Freelancer - Menjadi petani di sawah kalimat

Lahir di Grobogan, bekerja di Solo. Email: miftah2015.jitu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Sesobek Koran, Kartu Lebaran, dan Gairah Menulis

17 Desember 2019   17:16 Diperbarui: 18 Desember 2019   12:46 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis berfoto bersama Happy Salma. Foto: Miftahul Abrori

Mereka menyuruhku mengaji Al-Quran di musala. Ketika membaca Al-Quran, justru aku terpukau bahasa Indonesia (terjemahannya). Ada bahasa yang memberi semangat, bahasa yang memberi ancaman dan bahasa yang memberi peringatan dalam kalimat puitis.

Kebiasaan ngrusuhi ibuku memasak di pawon (dapur) mengenalkanku pada dunia bahasa dan cerita. Aku sadar pada satu hal, bahwa ibu, sosok yang tanpa sengaja mengenalkanku pada dunia cerita.

Sembari memasak, beliau akan mengajakku ngobrol. Ibuku seperti mendongeng tentang masa bayiku, tentang pengalamannya waktu sekolah, sekolahan yang juga menjadi sekolahku.
Bercerita tentang guru ini, guru itu, tentang teman-teman sekolahnya yang anaknya menjadi teman SMP-ku.

Lulus SMP, tiga tahun aku nganggur dari dunia pendidikan formal dan menjadi Petani Muda. Karena tak ada bahan bacaan, buku-buku pelajaran adikku semua kubaca. 

Untuk pergi ke rumah Kepala Desa, sudah malu. Barangkali karena sudah tak kanak lagi. Teman sekolahku banyak yang bekerja ke kota dan sedikit yang melanjutkan  SMA.

Ibuku adalah ibu rumah tangga yang petani. Aku, ibu dan bapakku pergi ke sawah bersama. Ibu akan pulang terlebih dulu untuk memasak.

Makan siang belum tersaji. Setiba di rumah aku segera menyusul ibu di dapur. Aku berdiam di depan tungku, sembari memasukkan kayu bakar agar api tetap terjaga dan masakan segera matang.

Kadang aku membantu mencuci sayuran, mengupas bawang dan mengulek bumbu-bumbu.

Bumbu pawon biasanya dibeli dari pasar atau toko di dekat rumah. Rempah-rempah itu terbungkus di sesobek  koran. Sesobek kertas sebagai pembungkus bumbu mengajarkanku kembali agar istikamah membaca. Rasa penasaran karena peristiwa dalam koran yang sesobek itu tak tuntas terpahami.

Di SMA, masa memaklumi dan mencintai bahasa. aku mulai menulis semacam puisi. Itu terinspirasi dari kata-kata indah dalam sebuah kartu lebaran (karleb), saat itu masih tren. 

Awal kelas tiga, puisi remajaku termuat di Solopos. Guru bahasa Indonesiaku sempat mengucapkan selamat dan berpesan 'Tingkatkan Bakatmu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun