Mohon tunggu...
Miftahul Abrori
Miftahul Abrori Mohon Tunggu... Freelancer - Menjadi petani di sawah kalimat

Lahir di Grobogan, bekerja di Solo. Email: miftah2015.jitu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Sesobek Koran, Kartu Lebaran, dan Gairah Menulis

17 Desember 2019   17:16 Diperbarui: 18 Desember 2019   12:46 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi potongan koran untuk kliping. (sumber: pixabay.com/pstiegele)

Bahasa Indonesia di meja pendidikan menjerat langkahku dalam beberapa masa: mengenal, mengeja, memahami, memaklumi, mencintai, dan mengabaikan bahasa.

Pertama kukenal bahasa Indonesia dari guru TK. Bocah lugu beryanyi Balonku Ada Lima, Satu-satu Aku Sayang Ibu, dan Sayonara. Lagu-lagu di sekolahan menggusur bahasa tutur Jawa dari lisanku, jadi bahasa kedua yang sering terucap hingga kini.

Bahasa Indonesia kupahami dari guru SD, masa mengeja bahasa. Mereka mengajari cara mengeja dan menulis. Kelas 5 atau 6 SD, aku mulai suka membaca. 

Buku Paket Bahasa Indonesia menjadi buku favoritku. Hampir semua cerita di buku itu sudah kumamah sebelum guru menyuruh membacanya. 

Beberapa kisah yang teringat; tentang kancil yang mengelabuhi buaya, tentang kisah heroik petinju Ellyas Pical, tentang Budi yang belajar bersama Wati, kakaknya, ditemani laron-laron, dan banyak kisah yang mengendap dan sulit teringat kembali.

Saat membersihkan kantor sekolah, aku menemukan majalah bekas nan lawas. Sebuah majalah yang tak kuingat nama media dan tahun terbitnya. 

Di majalah itu aku membaca cerpen "Bahrun, Pahlawan Malam itu". Sayang, aku  tak mengingat penulisnya. 

Cerpen itu berkisah tentang Bahrun, anak kelas 6 SD. Ia berhasil menggagalkan usaha pencurian. Dikisahkan Badrun  bangun malam untuk salat tahajud. 

Ia menuju tempat wudlu dan tanpa sengaja melihat mobil pickup milik pencuri. Mobil itu terisi barang curian, seperti televisi dan barang berharga lain dari rumah tetangga.

"Ada bahasa yang memberi semangat, bahasa yang memberi ancaman dan bahasa yang memberi peringatan dalam kalimat puitis."

Bahrun mengendap-ngendap memutus kabel aki mobil. Pencuri menyalakan mobil, otomatis mesin tidak berfungsi. Pencuri tak sempat lari dan keburu tertangkap warga.

Tugas mengarang di SD masih tak ingat apa yang kutulis dan sesering apa tugas itu diberikan. Aku ingat saat ujian, selain ada pilihan ganda dan isian, juga ada tugas membuat karangan.

Aku menengok lembar tugas teman-temanku. Mereka begitu mudah menulis hingga beberapa halaman, sedang aku kesulitan menulis kalimat demi kalimat. Sebelum waktu ujian selesai, aku mampu menulis meski tak lebih satu halaman.

Ketertarikanku membaca, membawaku gemar membaca, selain buku Bahasa Indonesia. Aku keranjingan membaca di luar pelajaran sekolah. 

Saat kelas SD menuju SMP, Aku mempunyai tetangga yang saat itu menjabat sebagai Kepala Desa. Ia berlangganan koran Suara Merdeka dan majalah Bobo untuk anak perempuannya yang seusiaku. 

Bahasa Indonesia berwujud kalimat berbeda dengan mata pelajaran. Aku menemukan berita, komik, cerita gambar, puisi, dan cerpen di koran dan majalah.  

Rumahnya yang mirip pendapa tanpa tembok depan dan pintu (saat itu) sering menjadi tempat bermain anak-anak desa, termasuk aku. 

Penulis berfoto bersama Happy Salma. Foto: Miftahul Abrori
Penulis berfoto bersama Happy Salma. Foto: Miftahul Abrori
Sebagian besar teman kecilku menonton televisi. Saat itu masih jarang warga desa yang punya televisi.  Teman yang lain sibuk main kelereng, engklek dan berbagai permainan khas anak kecil.

Aku dan beberapa teman kadang  lebih memilih mengantri membaca koran atau majalah. Kalau koran dan majalah itu masih baru, maka aku dan teman-teman tak berani membaca terlebih dahulu. 

Barulah ketika tuan rumah selesai membaca dengan kondisi majalah sudah agak lusuh dan tergeletak di meja, kami leluasa berebutan segera membacanya.

Aku ingin mengucapkan terima kasih kepada (mantan) Kepala Desa karena tanpa disadari karena bacaan-bacan itu mempengaruhi kehidupanku. Ucapan terima kasih terasa sungkan diucapkan secara langsung.

Masa SMP, masa memahami Bahasa. Orang tuaku tak paham bagaimana cara membimbingku agar mempunyai kebiasaan membaca sejak kecil, selain membaca Al-Quran.

Mereka menyuruhku mengaji Al-Quran di musala. Ketika membaca Al-Quran, justru aku terpukau bahasa Indonesia (terjemahannya). Ada bahasa yang memberi semangat, bahasa yang memberi ancaman dan bahasa yang memberi peringatan dalam kalimat puitis.

Kebiasaan ngrusuhi ibuku memasak di pawon (dapur) mengenalkanku pada dunia bahasa dan cerita. Aku sadar pada satu hal, bahwa ibu, sosok yang tanpa sengaja mengenalkanku pada dunia cerita.

Sembari memasak, beliau akan mengajakku ngobrol. Ibuku seperti mendongeng tentang masa bayiku, tentang pengalamannya waktu sekolah, sekolahan yang juga menjadi sekolahku.
Bercerita tentang guru ini, guru itu, tentang teman-teman sekolahnya yang anaknya menjadi teman SMP-ku.

Lulus SMP, tiga tahun aku nganggur dari dunia pendidikan formal dan menjadi Petani Muda. Karena tak ada bahan bacaan, buku-buku pelajaran adikku semua kubaca. 

Untuk pergi ke rumah Kepala Desa, sudah malu. Barangkali karena sudah tak kanak lagi. Teman sekolahku banyak yang bekerja ke kota dan sedikit yang melanjutkan  SMA.

Ibuku adalah ibu rumah tangga yang petani. Aku, ibu dan bapakku pergi ke sawah bersama. Ibu akan pulang terlebih dulu untuk memasak.

Makan siang belum tersaji. Setiba di rumah aku segera menyusul ibu di dapur. Aku berdiam di depan tungku, sembari memasukkan kayu bakar agar api tetap terjaga dan masakan segera matang.

Kadang aku membantu mencuci sayuran, mengupas bawang dan mengulek bumbu-bumbu.

Bumbu pawon biasanya dibeli dari pasar atau toko di dekat rumah. Rempah-rempah itu terbungkus di sesobek  koran. Sesobek kertas sebagai pembungkus bumbu mengajarkanku kembali agar istikamah membaca. Rasa penasaran karena peristiwa dalam koran yang sesobek itu tak tuntas terpahami.

Di SMA, masa memaklumi dan mencintai bahasa. aku mulai menulis semacam puisi. Itu terinspirasi dari kata-kata indah dalam sebuah kartu lebaran (karleb), saat itu masih tren. 

Awal kelas tiga, puisi remajaku termuat di Solopos. Guru bahasa Indonesiaku sempat mengucapkan selamat dan berpesan 'Tingkatkan Bakatmu."

Kuliah? Masa mengabaikan bahasa. Bahasa Indonesia hanya sebagai pelengkap dan pengetahuan dasar. Bahasa Indonesia hanya mampir di semester awal. Program Studi Pendidikan yang kupilih tak sesuai minatku, tapi mengantarkanku meraih gelar sarjana.

Dulu aku sempat ikut UMPTN  Prodi Sastra Indonesia tapi bertepuk sebelah tangan alias tidak lolos. Aku terpaksa berselingkuh dari sastra dan merasa nyaman-nyaman saja.

Selama kuliah aku menekuni sastra dan jurnalistik. Beberapa puisi dan cerpenku termuat di koran dan buku antologi. Ada pula yang memenangi sayembara.

Aku menekuni jurnalistik sejak 2008 hingga sekarang. Aku mendapat kesempatan jadi kontributor majalah Gradasi, Semarang, magang di Jawa Pos Radar Solo, Koran Jitu, Jitunews.com, dan redaktur Majalah Serambi Al-Muayyad. (Miv)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun