Intervensi sang mertua adalah api kecil, namun bisa berubah api besar yang bakal menghanguskan rumah tangga.
Bukan tanpa alasan Rianto memilih menjadi guru, daripada menjadi pengusaha  batik, suatu pekerjaan turun temurun dari keluarga Nizma, istrinya. Berulangkali sang mertua menawarinya meneruskan bisnis batik. Namun, Rianto kukuh menolak.
Satu jam lebih Rianto duduk di halte bus, sedikit resah menunggu bus jurusan Yogyakarta, kota kelahirannya.Â
Hampir dua tahun ia menjalani profesi sebagai guru honorer di SMA swasta di Jogja. Ia ingin menyumbangkan ilmu menjadi guru, karena ia memang lulusan fakultas keguruan sebuah universitas di Jogja.
Terbersit dalam pikiran, Rianto ingin menerima pekerjaan dari mertuanya, tapi sikap ibu mertua yang otoriter membuat Rianto berpikir seribu kali lipat.Â
Ia merasa pekerjaan itu hanyalah upaya mertua mengekangnya, agar ia bisa diperintah seenaknya.
Akibat menolak keinginan mertua, Rianto dan Nizma harus mencukupi kebutuhan hidup secara mandiri, tanpa harta sedikit pun dari mertua.
Sudah lama ia dilabeli sebagai menantu yang tak bisa apa-apa tanpa mertua. Kalau ia mengambil tawaran itu pasti keangkuhan sang mertua semakin menjadi-jadi.
Rianto memang lebih suka naik bus daripada mengendarai sepeda motor, yang lagi-lagi motor yang ditawarkan oleh ibu mertuanya.Â
Rianto berangkat ke Jogja Selasa sore karena pagi hari  harus mengajar. Empat hari dalam seminggu ia mengajar di SMA PERSADA, pada Rabu hingga Sabtu. Praktis hanya dua hari waktu luang untuk Nizma dan Airin, anaknya yang berusia 1 tahun.
Mungkin benar perkataan orang tuanya, Rianto terlalu muda untuk membina  rumah tangga. Saat itu ia baru saja mendapat gelar sarjana dan belum bekerja.Â